Review The Four Seasons: Penuh Bintang tapi Rasanya Kosong

Hayuning Ratri Hapsari | Athar Farha
Review The Four Seasons: Penuh Bintang tapi Rasanya Kosong
Poster film The Four Seasons (Netflix)

Netflix mencoba menghidupkan kembali drama komedi klasik lewat Series The Four Seasons, yang diadaptasi secara bebas dari film tahun 1981 buatan Alan Alda.

Kali ini, versi seriesnya digarap sama trio kreatif: Tina Fey, Lang Fisher, dan Tracey Wigfield. Tina Fey juga ikut tampil di dalam layar lho. 

Selain Tina Fey, series ini juga dibintangi banyak nama beken, di antaranya:

  • Will Forte
  • Steve Carell
  • Kerri Kenney-Silver
  • Colman Domingo
  • Marco Calvani
  • Erika Henningsen
  • Dan masih banyak bintang pendukung lainnya

Mengambil format delapan episode berdurasi sekitar ±30 menitan, ‘The Four Seasons’ dibagi jadi empat babak besar; musim semi, panas, gugur, dan dingin.

Masing-masing musim ditampilkan dalam dua episode dan jadi latar liburan tiga pasangan sahabat ke berbagai tempat eksotis—termasuk resort mewah di Pulau Palomino, Puerto Rico, dan pedesaan tenang di Hudson Valley.

Memangnya semenarik apa sih? Sini kepoin!

Sekilas Kisah Sekaligus Impresi Selepas Nonton Series The Four Seasons

Cerita bermula dari tiga pasangan sahabat yang sudah kenal sejak puluhan tahun lalu:

  • Kate (Tina Fey) dan Jack (Will Forte), pasangan yang tampak kompak, tapi sebetulnya Jack terlalu menggantungkan hidupnya pada Kate.
  • Nick (Steve Carell) dan Anne (Kerri Kenney-Silver), pasutri yang rumah tangganya retak—Nick bahkan terang-terangan bilang ingin cerai.
  • Danny (Colman Domingo) dan Claude (Marco Calvani), pasangan harmonis yang mulai cemas dengan kesehatan Danny yang memburuk.

Muncul juga sosok Ginny (Erika Henningsen), pacar muda Nick yang tiba-tiba ikut ke liburan mereka, yang semakin memperkeruh suasana.

Impresi Selepas Nonton Series The Four Seasons 

Awalnya, aku berekspektasi tinggi karena narasinya menjanjikan eksplorasi konflik batin para tokoh. Ditambah lagi ada Colman Domingo, yang selalu bisa mencuri perhatian bahkan di momen paling hening.

Sayangnya memang, semakin ditonton, semakin terasa kalau karakternya cuma seperti ide-ide abstrak. Konfliknya datang dan pergi secepat angin musim. Belum sempat kita menyelami perasaan mereka, ceritanya sudah meloncat lagi ke twist berikutnya.

Bahkan anehnya, series ini kebanyakan memasukkan momen slapstick khas sitcom yang terasa kurang pas. Nuansa dramatis yang tadinya mau dibangun malah jadi buyar.

Padahal aku bisa paham kok, ‘The Four Seasons’ berusaha menyentuh isu mid-life crisis, tentang bagaimana usia dewasa nggak otomatis membuat semua masalah hidup selesai.

Sayangnya, tajuk ini disajikan melalui plot-plot klise: Misal pasangan lagi bosan, sahabat iri, dan orang kaya yang mengeluh soal liburan. Nggak salah sih, tapi susah banget buat aku peduli.

Hal yang paling mengganggu justru bagaimana series ini, kayak nggak sadar akan privilege karakternya. Gini lho, para karakter berlibur ke tempat mahal, makan fancy, dan tetap mengeluh soal hidup yang “berat”.

Kalau dibandingkan sama The White Lotus—yang secara tajam menyorot kemunafikan dan kekosongan kelas jetset—The Four Seasons terasa kurang, bahkan cenderung tone-deaf.

Meski begitu, penampilan Colman Domingo dan Kerri Kenney-Silver masih cukup menyelamatkan. Sayangnya, keseluruhan experience nonton series ini buatku ingin skip-skip sana-sini. 

Pada akhirnya, yang aku rasakan cuma lelah dan sedikit jengkel. Jujur, aku nggak bisa jatuh hati sama series ini. Bahkan buat memaafkan detail yang mengganggu pun rasanya belum mampu. Ibaratnya, aku sudah terlanjur naik pesawat dan nggak bisa turun sampai mendarat.

Eits, bila masih penasaran, Sobat Yoursay, silakan coba tonton sendiri. Rasakan sensasinya. Siapa tahu kamu bakal mendapat pengalaman nonton yang beda dan menemukan keindahan dari sudut pandang lainnya.

Skor: 1/5

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak