Imbas Ulah Lembaga Sensor, Kenikmatan Nonton Film The Red Envelope Jadi Hilang

Ayu Nabila | Athar Farha
Imbas Ulah Lembaga Sensor, Kenikmatan Nonton Film The Red Envelope Jadi Hilang
Poster Film The Red Envelope (IMDb)

Gimana rasanya kalau tiba-tiba kamu harus menikah sama hantu? Bukan cuma itu, hantunya adalah cowok, dan kamu bukan gay. Premisnya saja sudah bikin dahi berkerut sekaligus penasaran. Nah, itulah yang jadi benang merah dari Film The Red Envelope, film fantasi-komedi asal Thailand yang sebenarnya punya niat baik, tapi eksekusinya berbeda.

Film ini disutradarai Chayanop Boonprakob, merupakan adaptasi dari film Taiwan: ‘Marry My Dead Body’, yang sempat mewakili Taiwan di Oscar 2024. Namun, versi Thailand-nya jelas punya warna dan kejenakaan tersendiri.

Tayang sejak 14 Mei 2025 di bioskop Indonesia secara terbatas, setelah kontroversi penundaan tayang akibat proses sensor dari Lembaga Sensor Indonesia, yang berusaha menjadikannya layak ditonton untuk usia 17+. 

Tokoh utama kita, Menn (diperankan Putthipong Assaratanakul alias Billkin), mantan kriminal yang jadi informan polisi, tapi nggak terlalu kompeten. Fokus hidupnya cuma satu, yakni bisa dekat sama petugas wanita idamannya, Goi (Arachaporn Pokinpakorn). 

Suatu hari hidupnya berubah total waktu dia menemukan amplop merah, yang menurut kepercayaan setempat adalah simbol pernikahan dengan arwah.

Amplop itu ternyata milik Titi (Krit Amnuaydechkorn, alias PP), pria gay yang meninggal dalam kecelakaan sebelum sempat menikah. Neneknya (Piyamas Monyakul) bertekad mewujudkan impian cucunya dengan ritual pernikahan gaib. Nah, calon mempelai hidup yang kebetulan memungut amplop itu, ya si Menn tadi. Ups. Otomatis, mau nggak mau, dia harus menikahi arwah Titi.

Konflik makin rumit karena keluarga Titi, terutama sang ayah (Teravat Anuvatudom), nggak pernah merestui orientasi seksual anaknya. Sementara itu, Menn belum bisa berdamai dengan kenyataan kalau dirinya terikat pernikahan arwah dengan laki-laki yang sudah meninggal. 

Seru banget, kan? Sini kepoin pengalaman nontonku!

Impresi Selepas Nonton Film The Red Envelope

Jujur saja, awal-awal film ini cukup menghibur. Chemistry antara Billkin dan PP menyenangkan buat ditonton, bahkan ketika mereka saling adu urat. Ada momen-momen yang berhasil bikin aku ketawa ngakak, terutama waktu Titi mulai ‘menghantui’ Menn dengan cara yang super drama.

Sayangnya memang, setelah satu jam pertama, aku mulai merasa ada yang kurang. Film ini berdurasi 125 menit, tapi entah kenapa, ceritanya seperti lari ke mana-mana. Setelah eksplorasi lucu-lucuan tentang hubungan mereka, tiba-tiba plot berubah jadi semacam investigasi kriminal yang melibatkan bandar narkoba. Aku sih nggak masalah sama genre yang fleksibel, tapi di sini transisinya terasa terlalu mendadak dan nggak matang. Fokus cerita jadi kabur, dan aku mulai sulit peduli pada konflik yang ada.

Padahal, menurutku, film ini punya peluang besar buat ngulik lebih dalam soal penerimaan diri, keluarga, dan bagaimana cinta nggak selalu harus berwujud romantis. Sayangnya, tema pernikahan sesama jenis yang sudah legal di Thailand sejak awal 2025 justru terasa cuma jadi hiasan. Banyak momen yang berpotensi emosional, malah ditutup pakai humor slapstick atau candaan seksual yang basi. Salah satu contohnya? Ada adegan ‘mengocok minuman’ yang diulang. Capek nggak sih?

Walaupun ceritanya nggak selalu fokus, aku nggak bisa mengabaikan performa aktor-aktornya. Billkin dan PP benar-benar punya dinamika yang kuat. Mereka bisa pindah dari kocak ke haru dalam waktu singkat, dan kelihatan nyaman memainkan dua karakter yang saling bertolak belakang. Bahkan ketika naskahnya mulai kurang rapi, akting mereka tetap menyelamatkan banyak adegan.

Begitu juga dengan pemain pendukung, terutama nenek Titi yang bikin haru setiap kali muncul. Satu-satunya yang bikin aku geregetan justru bukan karakter film, tapi sensor LSF (Lembaga Sensor Film) di Indonesia yang dengan semena-mena memotong beberapa adegan penting, termasuk battle dance yang nggak ada unsur seksualnya sama sekali. Bahkan terjemahannya pun diobrak-abrik supaya terasa ‘nggak terlalu gay’. Misalnya, ‘nikah’ diganti jadi ‘bersama’, masih ada lagi deh! Ironis, ya? 

Film yang niatnya mendobrak batas, malah dibonsai sebelum sampai ke penonton. Padahal jelas-jelas rating aslinya 21+, dan penonton juga paham mau nonton cerita apa, eh malah dibikin 17+. 

Kalau Sobat Yoursay nonton tanpa ekspektasi tinggi dan cuma mau ketawa, film ini masih bisa dinikmati. Namun, kalau berharap drama LGBTQ yang menyentuh seperti Film The Paradise of Thorns (juga dari GDH), mungkin kamu bakal kecewa. 

Meski begitu, di tengah sensor yang ketat dan kurangnya representasi yang adil, film ini layak ditonton. Selamat nonton ya. 

Skor: 3,5/5

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak