Kucing merupakan hewan yang lucu. Tidak heran jika banyak yang menggunakannya sebagai tema sebuah novel. Terlebih dalam sastra Jepang, yang sering kali menghadirkan cerita-cerita sederhana bertema kehidupan dengan kucing sebagai benang merahnya.
The Blanket Cats karya Kiyoshi Shigematsu hadir membawa premis yang, di atas kertas, terdengar sangat menarik dan menjanjikan.
Sinopsis The Blanket Cats
Berlatar di sebuah toko hewan peliharaan unik di Tokyo, toko ini menawarkan sesuatu yang tak biasa, yaitu tujuh ekor kucing istimewa yang bisa dipinjam siapa saja untuk dibawa pulang selama tiga hari.
Pelanggan yang meminjam kucing lucu ini berharap bisa menemukan keberuntungan dan kebahagiaannya. Padahal, sebenarnya mereka tidak akan mendapatkan apa pun dari kucing ini. Mereka bukanlah kucing dengan kekuatan super.
Tapi tentu saja, ada aturannya. Kucing-kucing itu hanya boleh makan makanan dari pemiliknya, harus selalu bepergian bersama selimut kesayangan mereka, dan ini yang unik, selimut tersebut tak boleh dicuci.
Ulasan Novel The Blanket Cats
Dari premis ini, seharusnya The Blanket Cats bisa menjadi kisah yang menyentuh, menghadirkan filosofi kecil tentang kehangatan, kenyamanan, serta pengaruh seekor hewan dalam kehidupan manusia.
Rasanya novel ini seperti mencoba mengajak pembaca dengan sederhana merenungi peliknya kehidupan.
Sayangnya, novel ini tak benar-benar mampu memenuhi harapan tersebut.
Buku ini terbagi dalam beberapa bab, masing-masing terhubung dengan kehadiran kucing dan selimut-selimutnya.
Setiap cerita memperkenalkan karakter baru, dengan masalah pribadi yang berbeda-beda, mulai dari persoalan pekerjaan, hubungan, hingga konflik keluarga.
Namun, alih-alih menyentuh atau menyajikan kisah yang menggugah, cerita-cerita ini justru terasa datar dan kurang berkesan.
Konflik yang diangkat sebagian besar adalah persoalan sepele atau masalah yang sebenarnya diciptakan sendiri oleh karakter-karakternya.
Alih-alih membuat pembaca peduli, beberapa tokohnya justru tampil menyebalkan, keras kepala, atau terlalu pasrah tanpa perkembangan yang berarti.
Gaya penulisannya pun cenderung mekanis. Suasana yang terbangun terasa kurang emosiaonal. Padahal jika dilihat, narasinya sudah sederhana.
Dibandingkan novel genre serupa, membangun kisah emosional tentu menjadi kekuatan utamanya. Sebaliknya, novel ini terasa kurang di bagian itu.
Momen-momen yang seharusnya menyentuh hati justru terasa hambar. Bahkan kehadiran para kucing yang biasanya menjadi pusat pesona dalam cerita-cerita seperti ini pun tak mampu menyelamatkan atmosfer novel secara keseluruhan.
Satu hal yang cukup disayangkan, semua cerita berakhir dengan menggantung. Bukannya memberikan alur cerita yang pas, pembaca justru dibiarkan menebak-nebak sendiri bagaimana nasib tokoh ini berakhir.
Memang semua kisah novel tidak harus berakhir indah. Tapi setidaknya cerita setiap tokoh mengalami perkembangan dan menunjukkan akhir cerita yang berarti, sehingga tidak menggantung.
Meski begitu, bagi pembaca yang sekadar ingin menikmati kisah ringan tentang manusia dan kucing tanpa ekspektasi terlalu tinggi, The Blanket Cats mungkin tetap bisa jadi teman minum teh sore hari.
Ada beberapa momen kecil yang manis, dan ide tentang kucing dengan selimut kesayangan yang tak boleh dicuci memang cukup menggemaskan untuk dibayangkan.
Namun secara keseluruhan, novel ini masih jauh dari potensi premisnya dan terasa kurang greget.
Sebenarnya jika diolah dengan premis yang lebih menarik, mungkin ceritanya akan lebih masuk ke sebagian orang. Dengan menambah beberapa bagian yang mengulik lebih dalam tentang kesendirian dan kehangatan. Tapi sayangnya tidak benar-benar eksekusi.
Kalian pencinta novel bertema kucing lucu masih bisa kok membaca buku ini. Meskipun banyak genre sejenis yang menawarkan kisah lebih menarik.