Masih menjadi novel Tere Liye dengan penjualan tertinggi, disusul "Tentang Kamu" di urutan kedua. Novel "Teruslah Bodoh, Jangan Pintar" ini juga pernah direkomendasikan secara pribadi oleh Ernest Prakasa.
Teruslah Bodoh Jangan Pintar karya Tere Liye mungkin memang bukanlah novel romansa atau angst. Tapi ia menyusup ke jantung keresahan sosial-politik negeri ini dengan gaya penceritaan yang lugas, tegas, dan kadang—menyesakkan.
Sejak halaman pertama, pembaca sudah dilempar ke ruang sidang sempit 3x6 meter, tempat sekelompok aktivis lingkungan menggugat korporasi raksasa tambang, PT Semesta Minerals & Mining, yang telah menghancurkan lingkungan dan kehidupan masyarakat kecil.
Identitas Buku
- Judul: Teruslah Bodoh Jangan Pintar
- Pengarang: Tere Liye
- Penerbit: Penerbit Sabak Grip
- Tahun Terbit: 2024
- Jumlah Halaman: 371 halaman
Tere Liye berhasil menyulap isu kompleks seperti oligarki, pembajakan kekuasaan, dan kerusakan lingkungan menjadi kisah yang bisa dicerna dengan rasa. Ia tidak sekadar menulis fiksi—ia meramu fakta-fakta sosial yang selama ini mengendap di kepala masyarakat menjadi kisah yang memukul batin. Seperti dalam kutipannya:
“Kelak, jika aku mati, dan ditanya apa kontribusiku melawan kezaliman di sekitarku, sekarang aku bisa menjawabnya lebih baik.”
Ini bukan hanya kalimat tokoh. Ini pernyataan sikap.
Oligarki dan Keadilan yang Dibeli
Di balik konflik fiktif novel ini, ada cermin besar yang memantulkan realitas Indonesia. Laporan Environmental Justice Atlas (2023) menunjukkan bahwa Indonesia menempati salah satu peringkat tertinggi dalam konflik sumber daya alam di Asia Tenggara. Banyak kasus menunjukkan bagaimana korporasi besar bisa dengan mudah “membeli” hukum dan pengaruh pejabat publik untuk memuluskan proyek yang merusak.
Salah satu tokoh novel ini berkata,
“Dia tahu persis, Menteri Bacok memiliki saham di proyek itu. Dia tahu persis, oligarki mengangkangi seluruh negeri.”
Fiksi? Mungkin. Tapi terlalu akrab dengan kenyataan.
Siapa yang Akan Melawan?
Narasi bergerak dengan alur maju-mundur, memperlihatkan bagaimana kehidupan para saksi berubah sejak kehadiran tambang. Dari nelayan yang kehilangan laut, petani yang tanahnya digerus, hingga anak-anak yang tumbuh di udara beracun. Setiap kesaksian membawa perasaan getir. Sayangnya, sebagian tokoh saksi hanya hadir singkat dan menghilang setelah bersuara, mencerminkan bagaimana masyarakat seringkali hanya jadi alat dalam skenario hukum formalitas.
Di sisi lain, para aktivis berjuang dalam sunyi. Mereka tahu, bukan hanya korporasi yang harus mereka lawan, tapi sistem yang telah lama rusak dari akar.
“Saat seluruh negeri dikangkangi orang-orang jualan sok sederhana tapi sejatinya serakah.”
Kritik tajam seperti ini membuat novel terasa seperti proklamasi gerilya.
Gaya Cerita yang Menyentak
Dibungkus dengan narasi puitis nan pedas, novel ini mengajak pembaca tidak hanya menikmati alur, tapi juga merenung. Seperti kisah nyata yang disamarkan, buku ini mengandung sindiran keras tapi disampaikan lewat lensa kemanusiaan. Meski fiksi, tapi “terasa nyata.” Dan itu, justru yang paling mengganggu.
Mengapa Harus Dibaca?
Teruslah Bodoh Jangan Pintar sedang ramai dibicarakan—dari kolom komentar media sosial hingga unggahan influencer seperti Ernest Prakasa. Bukan karena sensasional, tapi karena ia jujur. Buku ini adalah tamparan bagi siapapun yang merasa nyaman dalam ketidakpedulian.
Membaca buku ini mungkin tidak membuatmu langsung turun ke jalan. Tapi mungkin akan membuatmu berpikir ulang saat melihat hutan ditebang, sungai menghitam, atau berita proyek tambang "legal" merampas tanah adat.
Dan jika kamu bertanya, mengapa judulnya seperti itu?
Karena dalam dunia yang dikendalikan oleh kepintaran yang licik dan kekuasaan yang busuk, mungkin menjadi “bodoh” adalah satu-satunya jalan untuk tetap jujur.
Dengan ciri khas Tere Liye yang berani dan terang-terangan dalam menyuarakan sesuatu, novel ini bisa dibilang sangat mewakili kondisi negara Indonesia saat ini. Bahkan mendekati kemerdekaan, rakyat banyak yang mulai menyuarakan dengan mengibarkan bendera one piece sebagai lambang kesakitan.