Jam istirahat tiba. Roni, Dion, dan Jay segera menghambur ke bangku di depan kantin. Itu tempat favorit mereka bertiga.
"Mana mobilmu, Ron?" tagih Jay. Badannya kecil, tetapi suaranya paling keras di antara kawannya.
Roni merogoh saku celana merahnya. Sebentuk miniatur mobil sedan berwarna biru tua muncul dari telapaknya yang membuka. Dion dan Jay cepat-cepat mengambil, lalu meneliti mainan itu.
"Hmmm, M-a-t-t-e-l," eja Dion. Anak berambut tipis kemerahan, mirip karat besi, itu mengagumi desain mobil yang begitu mirip sedan di jalan raya.
Jay mengangguk puas. "Ya, ini asli. Kata kakakku gitu cirinya."
"Mana mainanmu, Jay?" Gantian Roni menagih. Ia merasa di atas angin melihat reaksi dua temannya.
Jay mengeluarkan mainan andalannya dari saku di dada. Giliran Roni dan Dion sibuk mengagumi miliknya. Tanpa mereka sadari, seseorang telah berdiri begitu dekat, mengamati penuh minat.
"Bagus bener mainanmu, Jay. Eh, ngapain kamu lihat-lihat?" Dion mendelik ke arah sosok penonton itu.
Jay dan Roni turut menoleh. Air muka mereka langsung keruh. Roni yang paling besar di antara mereka segera maju dengan tangan terkepal.
"Sana jauh-jauh! Kita nggak main sama anak Negro!"
"Iya, nih! Dasar anak pindahan aneh. Sana, hus!" Jay ikut-ikutan mendorong dada anak yang disapa Negro itu.
"Namaku Beni, bukan Negro," anak itu bersuara pelan. Matanya yang bulat dan bermanik cokelat menatap Roni, Jay, dan Dion dengan berani.
"Ya terserah kita, dong, manggil kamu apa," balas Jay.
Suara mereka yang keras rupanya memancing perhatian anak-anak lain yang sedang jajan di kantin. Beberapa anak mulai mendekat. Anak-anak perempuan berbisik-bisik, lalu ada yang berlari ke arah kantor guru. Dion mulai tak nyaman. Ia segera menggamit Roni dan Jay.
"Sst, Ron, Jay, udah, yuk! Ntar bisa-bisa kita disamperin Bu Guru," katanya mengingatkan.
Roni dan Jay saling bertukar pandang. Lalu dengan enggan mereka berbalik hendak pergi.
"Aku cuma ingin ikut main bareng kalian," celetuk Beni.
Dion melirik sebal, tetapi tak menggubris. Ia tetap bergegas, begitu pun Roni. Namun, Jay berhenti melangkah. Ia berbalik dan menyeringai.
"Emangnya kamu punya apa buat dipamerin ke kita? Mainanmu lebih bagus dari punya Roni, baru kamu deketin kita lagi. Negro!" Setelah itu Jay berlari menyusul dua temannya.
Beni berpikir sebentar. "Balon! Besok aku bawain balon yang bagus!" serunya.
Tanpa ia duga beberapa anak yang masih menonton keributan kecil barusan tertawa terpingkal-pingkal. Refleks Beni menoleh.
"Balon katanya, woi! Dikira kita masih anak TK kalik?"
"Woi, kamu anak pindahan itu, kan? Udahlah nggak usah maksa main sama kita-kita. Kamu bagusnya mbantuin Pak Mul tukang bersih-bersih sekolah aja, tuh!"
"Hahaha! Iyaa, cocok!"
Beni menghentakkan kaki, menahan amarah. Ia cepat-cepat pergi dari situ. Gelak tawa masih mengikutinya hingga bel masuk kembali berbunyi.
***
Fisiknya memang mencolok. Bertubuh bongsor, berambut ikal, dan kulitnya gelap, membuat Beni menjadi pusat perhatian warga sekolah sejak pertama kali ia masuk ke kelas tiga SD Persahabatan selaku murid pindahan dari Kota K. Murid-murid santer menyebutnya anak Negro.
Awalnya, Beni berusaha menerima sebutan itu dengan lapang dada. Namun, tak disangka, bukan hanya olok-olok 'anak Negro' saja, dirinya pun dikucilkan murid-murid tersebut. Padahal ia ingin sekali berbaur dan berteman seperti biasa. Entah siapa yang memulai desas-desus, mereka bilang Beni anak bos preman. Anak-anak itu ngeri, membayangkan jadi sasaran penculikan oleh komplotan preman. Kengerian tak berdasar itu berubah menjadi kebencian. Akibatnya, Beni tak punya teman. Dan ia kesepian.
"Kamu nggak ngumpul sama teman-temanmu di lapangan, Beni?" tegur Pak Fahmi, guru bahasa Inggris. Guru tersebut hendak ke kantor kepala sekolah. Namun, ia mendapati Beni tengah berdiri melamun, bersandar pada tiang di selasar depan kelas.
Beni menggeleng. "Nggak ada yang mau main sama saya, Pak," sahutnya lirih.
Pak Fahmi tersentak. Ia putuskan menunda urusannya sejenak. Kini ia mengamati anak laki-laki di hadapannya. Menurut informasi yang didapat, anak ini pindah karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Sebenarnya ia termasuk cepat menyesuaikan diri, kata rekan-rekan guru. Apakah karena secara fisik ia berbeda sehingga anak-anak sebayanya enggan mengajak bermain? Ck, perilaku anak zaman sekarang tak bisa dibiarkan. Mungkin ia perlu mendiskusikan gejala perundungan semacam ini dengan wali kelas tiga.
"Hmm, Beni, mau ikut Pak Guru ke perpustakaan? Ada beberapa buku cerita di sana yang bisa kamu baca sampai bel masuk nanti," ajak Pak Fahmi ramah.
Beni mengangguk. Ia mengikuti langkah guru muda tersebut menuju ruang pustaka milik sekolah. Pikirannya tak mau diam.
"Pak, saya punya banyak balon di rumah. Misal balon-balon itu saya tunjukkan ke Dion, Jay, sama Roni, mereka mau jadi teman saya nggak, ya?" cetus Beni sesampainya mereka di depan ruang pustaka.
Alis Pak Fahmi mengernyit heran. "Balon? Hmm, Pak Guru nggak bisa jawab secara pasti, Beni. Tapi coba saja, ya?" Dalam hatinya terbersit tanya, balon apa yang dimaksud anak ini?
Air muka Beni berubah cerah. "Baik, Pak. Terima kasih. Saya mau coba bawakan balon itu besok!"
Guru muda itu tersenyum dan menepuk pundak Beni. Ia lega melihat semangat anak itu, berharap pengucilan yang dialami Beni segera berakhir agar bebannya sebagai guru bisa sedikit terangkat.
***
Papa Beni seorang pebisnis. Pria berperawakan tinggi besar itu kerap berpindah-pindah kota demi mengembangkan bisnisnya. Sungguh itu bukan situasi yang mudah untuk Beni, putra tunggalnya. Sebab semakin bertambah umur, Beni kian merasakan kebutuhan memiliki teman sebaya.
Beni ingin sekali bisa mengutarakan keinginannya. Sayang, Papa selalu sibuk. Ada saja urusan yang dikerjakannya, entah di rumah maupun di luaran sana. Sekalinya mereka punya kesempatan bicara, maka percakapan mereka terasa kering.
"Jagoan Papa, gimana di sekolah baru? Kamu bisa ngikutin pelajaran, kan? Kalau susah nanti Papa panggilkan guru les privat," tanya Papa di meja makan.
"Ngg, iya, Pa. Beni bisa ngikutin, sih," jawab Beni.
"Bagus. Jangan kecewain Papa, ya. Ayo, makan yang banyak!"
"Pa, sebenarnya ...." Ia ingin sekali ini saja, mengadu kepada Papa tentang ejekan yang ia terima di sekolah.
Belum sempat bicara, asisten Papa masuk lalu membisikkan sesuatu di telinga Papa. Air muka Papa terlihat berubah. Ia lalu meletakkan sendok dan garpu di atas piring.
"Beni, Papa harus pergi sebentar. Ada urusan penting. Kamu selesaikan makan, ya?" Papa mengacak-acak rambut Beni, memberi kode kepada Bibi. Kemudian, Papa beranjak pergi diikuti asistennya.
Beni menelan rasa kecewa. Hilang sudah selera makannya. Tanpa memedulikan bujukan sang pengasuh, anak ini ikut pergi dari meja makan. Langkahnya kini pasti, menuju ruang kerja Papa di lantai dua. Ia akan mengambil balon yang telah dijanjikannya kepada Dion, Jay, dan Roni. Dan balon-balon itu ada di salah satu laci meja kerja Papa.
Anak ini masih ingat setahun lalu sebelum mereka pindah dari Kota K, ia pernah merengek minta bermain dengan Papa. Kala itu Papa sedang menerima seorang tamu perempuan di ruang kerjanya. Tentu saja Papa menolak bermain, ia sibuk. Lalu Beni mulai menangis. Papa yang gusar keluar dari ruangan dengan tujuan memanggil Bibi pengasuh agar mengurus Beni dengan benar.
Saat ditinggal berdua itulah sang tamu mengambilkan sebuah kotak dari laci meja kerja Papa. Kata perempuan itu, di dalam kotak ada balon-balon istimewa yang bisa Beni mainkan sepuasnya. Beni tercengang, tangisnya reda. Ia menatap perempuan tersebut yang tersenyum meyakinkannya.
Ternyata benar. Balon di dalam kotak itu memang berbeda dengan yang biasanya. Ada aroma dan rasa buah pada kulitnya. Beni amat suka meniupnya. Kala itu Bibi pengasuh terkejut melihat balon-balon tersebut. Tetapi, sang pengasuh langsung terdiam setelah Beni mengatakan asal muasal benda itu.
Sejak itu Beni tahu, Papa menyimpan banyak persediaan balon tersebut di dalam meja kerjanya. Apalagi meja kerja itu selalu ada meskipun mereka pindah rumah. Entah apa alasan Papa, ia tak ingin bertanya. Ia takut dilarang bermain dengan balon-balon istimewa itu.
Kini setelah menyelinap ke ruang kerja Papa, Beni cepat-cepat mendekati meja besar di sudut ruangan. Meja kayu berukir ini punya banyak laci. Namun, Beni hapal benda yang ia cari selalu berada di laci ketiga. Kali ini ia beruntung laci itu tak dikunci. Walaupun ia tahu pula di mana Papa biasa menyembunyikan kuncinya. Beni mengambil tiga kotak dari situ.
Besok, akan ia pamerkan balon-balon ini.