Bencana Sumatra: Alarm Keras untuk Kebijakan Lingkungan yang Gagal

M. Reza Sulaiman | Harsa Permata
Bencana Sumatra: Alarm Keras untuk Kebijakan Lingkungan yang Gagal
Ilustrasi bencana alam, banjir, dan longsor akibat deforestasi. (Gemini AI/Nano Banana)

Musik sering kali lebih jujur daripada pidato resmi. Lagu Killing in the Name dari Rage Against The Machine, misalnya, lahir dari kemarahan terhadap kekuasaan yang menyimpang dari mandat moralnya. Meskipun ditulis dalam konteks Amerika, pesan lagu ini terasa relevan ketika kita menyaksikan rangkaian bencana ekologis yang melanda Sumatra hari ini.

Banjir dan longsor di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat kerap disebut sebagai musibah alam. Namun, jika peristiwa serupa terus berulang di lokasi yang sama, pertanyaan penting perlu diajukan: benarkah ini semata-mata bencana alam, atau ada persoalan struktural yang selama ini diabaikan?

Bencana yang Tidak Datang Tiba-Tiba

Perubahan bentang alam Sumatra dalam beberapa dekade terakhir berlangsung sangat cepat. Hutan dibuka untuk perkebunan dan pertambangan, kawasan resapan air menyempit, dan tata ruang sering kali kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Dalam kondisi seperti ini, hujan lebat tidak lagi sekadar hujan—ia berubah menjadi banjir dan longsor yang mengancam kehidupan warga.

Di sinilah kritik terhadap elite ekonomi-politik menjadi relevan. Izin-izin dikeluarkan, proyek berjalan, dan keuntungan mengalir, tetapi risiko ditanggung oleh masyarakat yang tinggal paling dekat dengan alam. Ketika bencana datang, mereka pula yang kehilangan rumah, lahan, dan sumber penghidupan.

Sumatra di “Titik Nol”

Sastrawan Mesir Nawal El Saadawi menyebut “titik nol” sebagai kondisi ketika penderitaan sudah begitu dalam hingga pilihan hidup terasa semakin sempit. Gambaran ini terasa dekat dengan pengalaman banyak warga Sumatra hari ini. Mereka bukan hanya menghadapi bencana, tetapi juga ketidakpastian masa depan.

Bantuan darurat memang datang. Logistik dibagikan, tenda didirikan, dan kunjungan pejabat dilakukan. Namun, bagi warga di lapangan, pertanyaan yang lebih besar sering kali tidak terjawab: apakah setelah bencana ini, mereka akan kembali menghadapi risiko yang sama?

Tanpa evaluasi serius terhadap kebijakan lingkungan dan aktivitas ekonomi berskala besar, bencana hanya akan menjadi siklus yang berulang.

Kesadaran yang Tumbuh dari Bawah

Menariknya, di tengah keterbatasan itu, kesadaran kritis warga justru mulai tumbuh. Kritik tidak selalu datang dari aktivis atau akademisi, tetapi dari warga biasa yang mulai mempertanyakan kebijakan yang terasa tidak adil dan tidak masuk akal.

Media sosial, surat terbuka, hingga diskusi kecil di komunitas menjadi ruang baru bagi warga untuk bersuara. Kepatuhan yang dulu diterima begitu saja perlahan berubah menjadi sikap kritis: bahwa kebijakan publik tidaklah sakral dan boleh dipertanyakan. Perubahan ini penting karena demokrasi tidak hanya hidup di bilik suara, tetapi juga dalam keberanian warga untuk terlibat dan mengawasi.

Peran Anak Muda dan Solidaritas Sumatra

Dalam situasi krisis, peran anak muda menjadi krusial. Mahasiswa dan generasi muda memiliki energi, jejaring, dan kemampuan komunikasi yang dapat menjembatani suara warga dengan ruang publik yang lebih luas.

Sumatra memiliki modal sosial yang kuat: Aceh dengan tradisi militansi dan solidaritasnya, Sumatra Barat dengan tradisi intelektual dan kritiknya, serta Sumatra Utara dengan semangat kolektivisme warganya. Jika kekuatan ini terhubung, suara Sumatra akan lebih sulit diabaikan.

Langkah Aceh yang menyampaikan kondisi bencana ke Perserikatan Bangsa-Bangsa dapat dibaca sebagai seruan kemanusiaan. Di era global, isu lingkungan dan keselamatan warga memang tidak lagi bisa dilihat sebagai urusan lokal semata.

Saatnya Tidak Sekadar Menonton

Bencana ekologis di Sumatra seharusnya menjadi momen refleksi bersama. Pembangunan yang mengabaikan keseimbangan alam pada akhirnya akan dibayar mahal oleh masyarakat. Karena itu, pengawasan terhadap kekuasaan dan elite ekonomi-politik bukan bentuk permusuhan, melainkan upaya menjaga keselamatan bersama.

Kita dihadapkan pada pilihan: terus menjadi penonton yang hanya bereaksi setiap kali bencana datang, atau mulai terlibat aktif dalam menuntut perubahan kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Sejarah akan mencatat apakah penderitaan ini hanya lewat sebagai berita sesaat atau menjadi titik balik bagi tumbuhnya kesadaran warga Sumatra untuk memperjuangkan ruang hidupnya sendiri.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak