Pernahkah kalian merasa cemas? Pikiran berputar-putar. Perasaan gelisah tak kunjung reda. Bahkan aktivitas sehari-hari pun terasa terganggu. Jika pernah mengalami hal itu, saya punya satu kata yang mungkin bisa membantu: meditasi.
Meditasi bukan sekadar duduk diam dan memejamkan mata. Ia adalah latihan kesadaran, pengendalian diri, dan kedamaian batin. Nah, kali ini saya akan mengulas sebuah buku yang berbicara tentang meditasi, tapi bukan meditasi biasa. Buku ini ditulis oleh seorang kaisar Romawi, yang sekaligus seorang filsuf stoikisme. Penasaran? Mari kita selami bersama.
Buku yang saya maksud adalah Meditations, karya Marcus Aurelius. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, buku ini diberi judul Perenungan. Karya ini termasuk klasik. Diperkirakan ditulis pada tahun 161–180 Masehi, ketika Marcus menjabat sebagai Kaisar Romawi.
Menariknya, versi terjemahan oleh Noura Books (2021) memuat 332 halaman yang menggabungkan 12 jilid asli. Awalnya, jilid-jilid itu terpisah, seperti potongan jurnal pribadi yang kemudian dirangkai menjadi satu kesatuan utuh.
Apa yang ada di dalamnya? Pada bagian awal, Marcus Aurelius menuliskan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada keluarga, kerabat, dan guru-gurunya. Dia mengakui bahwa mereka telah memberi pengaruh moral, etika, dan spiritual yang membentuk dirinya. Dari sini saja, kita bisa melihat sifat rendah hati seorang pemimpin besar.
Memasuki bagian pertengahan hingga akhir, isi buku semakin padat. Marcus banyak berbicara soal pengendalian diri. Ia mengingatkan untuk berpikir positif, bekerja keras, berbuat baik, dan bersikap adil.
Ia juga mendorong pembacanya untuk melatih persepsi, tidak terjebak pada penilaian orang lain, dan tidak membuang energi pada hal-hal yang berada di luar kendali kita. Baginya, kehidupan yang baik adalah kehidupan yang selaras dengan akal sehat dan kebajikan.
Filosofi ini selaras dengan ajaran stoikisme. Bagi yang belum tahu, stoikisme adalah aliran filsafat Yunani Kuno yang muncul pada abad ke-3 Sebelum Masehi.
Itu artinya, ajaran ini sudah berumur lebih dari 450 tahun ketika Marcus menulis Meditations. Marcus Aurelius sendiri dikenal sebagai kaisar terakhir yang juga menjadi filsuf besar stoik. Setelahnya, tidak ada lagi tokoh sekelasnya yang menuliskan prinsip stoikisme dengan kedalaman serupa.
Buku ini punya kelebihan yang menonjol. Pertama, isinya tidak hanya teoretis, tetapi juga praktis. Marcus menulis dari pengalaman hidup nyata, bukan dari menara gading.
Kedua, gaya bahasanya personal. Wajar saja, karena awalnya ini hanyalah catatan harian pribadinya. Kita seperti sedang mengintip pikiran terdalam seorang kaisar, seorang manusia biasa yang kebetulan memegang kekuasaan luar biasa.
Meditations cocok dibaca oleh siapa saja yang ingin mengembangkan diri. Ia menawarkan panduan hidup yang sederhana namun mendalam. Tidak ada janji-janji muluk. Tidak ada jargon rumit. Hanya ajakan untuk hidup dengan fokus pada hal-hal yang bisa kita kendalikan, dan menerima dengan lapang dada hal-hal yang di luar kuasa kita.
Bagi saya, membaca buku ini seperti bercakap dengan seorang sahabat bijak dari masa lalu. Setiap halaman mengingatkan bahwa kedamaian batin bukan datang dari dunia luar, melainkan dari cara kita memandang dunia itu sendiri.
Itulah ulasan saya tentang Meditations karya Marcus Aurelius. Sebuah buku yang melintasi waktu, dari abad ke-2 Masehi hingga kini, tetap relevan dan menginspirasi. Bagaimana dengan kalian? Siapkah kalian mendengarkan suara bijak dari seorang kaisar?