Dalam kancah sinema Tiongkok modern yang kian mendunia, Dongji Rescue hadir sebagai epik perang yang menarik, menggambarkan kisah heroik nyata dari era Perang Dunia II. Disutradarai oleh Guan Hu (The Eight Hundred) dan Fei Zhenxiang, film ini dirilis di China pada 8 Agustus 2025, diikuti penayangan internasional di AS dan Inggris pada 22 Agustus 2025.
Dengan anggaran mencapai US$80 juta, produksi ini menjanjikan skala besar, termasuk syuting menggunakan kamera IMAX dan replika kapal perang sepanjang 80 tahun lalu yang dibangun secara manual. Durasi 134 menitnya dipenuhi aksi laut yang bombastis, tema kemanusiaan lintas budaya, dan performa akting yang intens.
Di Indonesia, Dongji Rescue mulai tayang di bioskop pada 8 Oktober 2025, tersedia di jaringan seperti Cinema 21, XXI, Cinepolis, CGV, Platinum Cineplex, dan NSC di berbagai kota besar seperti Jakarta, Malang, dan Surabaya. Jadwal spesifik bisa dicek di aplikasi TIX ID atau situs jadwalnonton.com, dengan harga tiket standar mulai Rp35.000 hingga Rp100.000 tergantung lokasi dan waktu. Bagi penggemar film sejarah, ini adalah kesempatan emas untuk menyaksikannya di layar lebar, terutama versi IMAX jika tersedia.
Cerita Dongji Rescue terinspirasi dari Insiden Lisbon Maru tahun 1942, salah satu peristiwa terlupakan dalam sejarah Perang Dunia II. Saat itu, kapal kargo Jepang bernama Lisbon Maru yang membawa lebih dari 1.800 tawanan perang Inggris ditorpedokan oleh kapal selam AS di Laut China Timur dekat Zhoushan, Provinsi Zhejiang. Ribuan tawanan terperangkap di kabin bawah kapal yang diblokir oleh tentara Jepang, sementara badai ganas dan arus deras mengancam nyawa mereka.
Di tengah kekacauan itu, sekelompok nelayan sederhana dari Pulau Dongji sebuah desa kecil yang diduduki Jepang memutuskan untuk bertindak. Mereka mempertaruhkan segalanya: nyawa, keluarga, dan kemakmuran, untuk menyelamatkan lebih dari 300 prajurit Inggris yang selamat.
Film ini tidak hanya merekam peristiwa itu, tapi juga mengeksplorasi konflik internal di pulau tersebut, di mana rasa kemanusiaan bertabrakan dengan trauma penjajahan Jepang. Tanpa spoiler, adegan dimulai dari kisah sederhana tentang kebaikan sehari-hari, lalu bertransformasi menjadi saga balas dendam yang brutal dan emosional, mengingatkan pada gaya Mel Gibson dalam film Braveheart atau The Patriot.
Review Film Dongji Rescue

Pemeran utama Zhu Yilong, yang memerankan A'Bi—kakak yang sinis dan tangguh—menampilkan transformasi fisik ekstrem: menurunkan lemak tubuh hingga 9,5% dan melatih napas bawah air hingga 4,5 menit untuk adegan selam bebas tanpa stuntman. Perannya sebagai pemimpin nelayan yang ragu-ragu tapi penuh karisma membuatku terpikat; Zhu membawa kedalaman emosional yang jarang terlihat di blockbuster Cina.
Wu Lei (Adang), adiknya yang idealis dan penuh semangat, melengkapi dinamika saudara dengan energi muda yang meledak-ledak mirip Aquaman dalam ketangguhannya di laut. Ni Ni sebagai Ah Hung, kekasih A'Bi yang memimpin misi penyelamatan klimaks, menambahkan lapisan feminisme halus; karakternya bukan sekadar pendukung, tapi katalisator aksi yang tak tergantikan. Pemeran pendukung, termasuk William Franklyn-Miller sebagai dokter Inggris, memberikan keseimbangan budaya, meski fokus utama tetap pada perspektif Cina. Skrip oleh Chen Shu, Zhang Ji, dan Dong Runnian cerdas dalam membangun ketegangan, meski kadang terasa formulaik pada adegan awal.
Secara visual, Dongji Rescue adalah suguhan memukau yang memanjakan mata. Sinematografi Weizhe Gao menangkap keindahan Pulau Dongji yang tropis—pantai berpasir putih, ombak biru zamrud, dan desa nelayan autentik—dengan shot lebar IMAX yang membuatku merasa tenggelam. Adegan klimaks penyelamatan di tengah badai, dengan air deras dan peluru beterbangan, adalah masterpiece aksi: gelombang raksasa yang direkam secara praktis menciptakan rasa urgensi yang mencekam.
Musik oleh Atli Örvarsson, komposer Islandia yang dikenal dari Hansel & Gretel: Witch Hunters, membangun crescendo emosional dengan orkestra yang menggelegar, terutama saat tema persaudaraan nelayan bergema. Produksi selama enam tahun ini merupakan detail yang oriented: 24 perahu nelayan dibuat ulang menggunakan teknik warisan budaya yang hampir punah, ini semakin menambah autentisitas di setiap adegan.
Tema film ini kaya makna: kepahlawanan kolektif melawan individualisme, di mana orang biasa muncul sebagai pahlawan tanpa jubah super. Ia menekankan solidaritas lintas ras nelayan Cina menyelamatkan musuh Barat di bawah bayang Jepang. Kurasa ini sebagai kritik halus terhadap nasionalisme ekstrem. Namun, ini juga kelemahan utamanya: film cenderung jingoistik, mengagungkan rakyat Tiongkok sebagai yang paling berani dan mulia, sementara Jepang digambarkan sebagai antagonis yang sadis secara karikatural.
Pembalasan yang kejam disertai suara tikaman pisau yang mencekam dapat terasa memuaskan tetapi mengganggu, terutama bagi yang peka terhadap cerita perang. Beberapa adegan malam terlalu suram, mungkin disengaja sebagai metafora kegelapan penjajahan, tetapi mengurangi kejelasan visual.
Dibandingkan The Eight Hundred karya Guan Hu, film ini lebih emosional tetapi kurang segar dalam penyampaian naratif. Secara keseluruhan, Dongji Rescue adalah blockbuster yang layak ditonton untuk penggemar aksi sejarah seperti Dunkirk atau 1917, dengan rating 7/10 dariku. Untuk penonton Indonesia, film ini relevan sebagai pengingat perjuangan anti-kolonial, mirip kisah kita sendiri. di bioskop mulai hari ini dan jangan lewatkan gelombang emosinya!