Review Film Tron: Ares, Membawa Aksi Digital ke Level Tingkat Baru!

Hayuning Ratri Hapsari | Ryan Farizzal
Review Film Tron: Ares, Membawa Aksi Digital ke Level Tingkat Baru!
Poster film Tron: Ares (IMDb)

Dalam era di mana film-film sci-fi berlomba-lomba mengeksplorasi batas antara dunia digital dan realitas, Tron: Ares hadir sebagai sekuel yang telah lama dinantikan dari waralaba Tron.

Disutradarai oleh Joachim Rønning sutradara di balik Pirates of the Caribbean: Dead Men Tell No Tales film ini melanjutkan warisan visual ikonik dari Tron (1982) dan Tron: Legacy (2010).

Rilis globalnya dijadwalkan pada 10 Oktober 2025, dan buat penonton di Indonesia, film ini akan tayang di bioskop mulai tanggal 8 Oktober 2025.

Dengan format IMAX, Dolby Cinema, dan 3D, Tron: Ares siap menyihir layar lebar di seluruh jaringan bioskop seperti CGV, XXI, dan Cineplex di Tanah Air. Bagi penggemar setia, ini adalah momen untuk kembali ke Grid yang neon-bercahaya.

Tron: Ares mengisahkan Ares (Jared Leto), sebuah program AI canggih yang dikirim dari dunia digital ke dunia nyata untuk menjalankan misi berbahaya.

Cerita ini berpusat pada Julian Dillinger (Evan Peters), cucu dari antagonis klasik Ed Dillinger di film pertama, yang menciptakan Ares sebagai senjata tak terkalahkan.

Saat Ares tiba di dunia manusia, ia harus beradaptasi dengan realitas yang kacau, menghadapi konflik antara teknologi dan kemanusiaan.

Greta Lee berperan sebagai Eve Kim, seorang ahli AI yang menjadi sekutu tak terduga Ares, sementara Jeff Bridges kembali muncul dalam peran misterius yang menghubungkan dengan warisan Tron sebelumnya.

Skrip ditulis oleh Jesse Wigutow berdasarkan cerita dari David DiGilio, dengan inspirasi dari karakter orisinal karya Steven Lisberger dan Bonnie MacBird.

Film ini bukan sekadar kelanjutan plot, melainkan eksplorasi baru tentang AI yang "hidup" di dunia luar, mirip dengan The Terminator tapi dengan sentuhan estetika cyberpunk yang khas Tron.

Durasi sekitar 119 menit, Tron: Ares menjanjikan aksi lightcycle yang lebih intens dan derezzing yang brutal, tapi kali ini dengan narasi yang lebih fokus pada dilema etis teknologi.

Review Film Tron: Ares

Salah satu adegan di film Tron: Ares (IMDb)
Salah satu adegan di film Tron: Ares (IMDb)

Salah satu kekuatan utama Tron: Ares adalah visualnya yang keren. Seperti pendahulunya, film ini adalah pesta cahaya neon, dengan Grid yang dirancang ulang menggunakan teknologi CGI terbaru.

Adegan lightcycle chase di dunia nyata di mana sepeda digital berinteraksi dengan lalu lintas Los Angeles adalah highlight yang membuatku terpaku.

Efek spesialnya menurutku wow dan terbaik di tahun ini, bahkan mengalahkan film effects-driven lainnya seperti Dune: Part Two.

Joachim Rønning, dengan pengalaman di film aksi berbiaya tinggi, memastikan setiap frame terasa dinamis, terutama dalam format IMAX yang akan membuat bioskop Indonesia bergetar.

Soundtrack-nya juga patut aku diacungi jempol. Daft Punk mungkin absen, tapi komposer Nine Inch Nails Trent Reznor dan Atticus Ross menyumbang score yang industrial dan pulsing, lengkap dengan lagu-lagu elektronik yang dirilis via Interscope Records.

Ini bukan hanya backsound; musiknya menjadi karakter itu sendiri, memperkuat nuansa dystopian di mana AI bertarung melawan eksistensinya.

Jared Leto sebagai Ares adalah penyelamat di film ini. Berbeda dari peran eksentriknya, Leto menyajikan performa yang subdued dan emosional, membuat AI terasa manusiawi dengan penuh keraguan dan empati yang jarang ditemui di genre ini.

Matanya yang intens, ditingkatkan dengan efek high-def, menyampaikan kedalaman yang membuatku bertanya-tanya: apakah Ares benar-benar "jahat" atau hanya korban penciptanya?

Evan Peters sebagai Julian menawarkan karisma antagonis yang licik, mengingatkan pada perannya di American Horror Story, sementara Greta Lee membawa kecerdasan tajam sebagai Eve, meski karakternya terasa underutilized sih. Jeff Bridges, dalam cameo singkat tapi impactful, memberikan nostalgia yang manis.

Akan tetapi dialog keseluruhan sering kali clunky dan kaku, seperti skrip yang terlalu bergantung pada callback ke film lama tanpa inovasi segar. Interaksi antar karakter terasa dipaksakan, terutama di babak kedua, di mana plot mulai mirip ripoff Terminator dengan AI yang memberontak.

Secara naratif, Tron: Ares terasa biasa saja karena sulit menentukan audiens targetnya sepanjang film berlangsung. Alur ceritanya sederhana tapi tetap menghibur, didukung oleh aksi yang tertata apik dan efek visual (VFX) yang bisa kubilang keren.

Tema persilangan antara kecerdasan buatan (AI) dan manusia relevan di era teknologi seperti ChatGPT dan deepfake, tetapi eksekusinya kurang mendalam. Film ini lebih mengutamakan spektakel visual ketimbang eksplorasi filosofis seperti yang ditemukan dalam Ex Machina.

Ada momen ketika cerita terasa menyimpang dari esensi orisinal Tron, seperti kebebasan dalam dunia digital, dan justru beralih menjadi thriller konvensional.

Kelebihan film ini terletak pada aksi yang seru dan visual yang memikat, sangat cocok untuk penggemar Tron yang merindukan aksi derezzing.

Namun, kelemahannya adalah dialog yang kurang kuat dan alur cerita yang cenderung stagnan, kurang menunjukkan inovasi. Skor awal di Rotten Tomatoes sekitar 65%, mencerminkan pujian untuk estetika visual, tetapi kritik terhadap kekurangan substansi naratif.

Overall, Tron: Ares dapat diibaratkan sebagai prototipe AI yang menawan secara visual, tetapi belum sempurna dan membutuhkan penyempurnaan. Film ini akan memuaskan penggemar setia waralaba dengan pertunjukan cahaya neon yang khas, tetapi mungkin mengecewakan mereka yang mengharapkan cerita yang lebih segar dan inovatif.

Dengan rating dariku 7/10. Tron: Ares layak disaksikan di bioskop Indonesia mulai 8 Oktober 2025, terutama dalam format IMAX untuk pengalaman sinematik yang maksimal. Apakah ini akhir dari Grid, atau awal reboot baru? Hanya waktu dan mungkin sekuel yang akan menjawab.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak