M. Reza Sulaiman | Habibah Husain
Ilustrasi Arah: Cinta yang Menuntunku Tanpa Pernah Bertemu (Gemini AI/tw864rt)
Habibah Husain

Orang bilang, jatuh cinta pertama itu bisa datang dari mana saja—dari pandangan pertama, pertemuan tak sengaja, atau bahkan percakapan yang dimulai tanpa niat khusus. Aku merasakannya dalam sebuah percakapan yang tak terduga.

Awalnya, aku hanya membutuhkan bantuan untuk tugas penelitian. Aku sudah berputar-putar mencari bahan hingga akhirnya kehabisan cara. Aku pun meminta bantuan teman dekatku.

“Maaf, aku lagi sibuk banget. Tidak bisa bantu,” jawabnya.

Kecewa, aku menghela napas. Lalu, dia memberiku kontak orang lain yang mungkin bisa membantuku. Namanya Arah. "Coba tanya Arah, dia pintar sekali dalam hal ini."

Aku menghubunginya dengan niat semata-mata untuk tugas. Penasaran, aku membuka jendela obrolan dan mengetikkan pesan yang terkesan lebih seperti basa-basi.

"Hai, Arah, ya? Namamu kok 'Arah' sih? Arah kanan, arah pelaminan, atau arah apa, nih?"

Tak lama, balasan datang, begitu ringan dan penuh canda:

“Haha, kalau begitu aku lebih suka 'arah pelaminan' saja, biar lebih romantis.”

Ada sesuatu dalam jawabannya yang membuatku merasa sedikit lebih lega. Suasana percakapan yang tiba-tiba terasa tidak seserius yang kubayangkan, seolah membuka celah yang sebelumnya tidak ada. Percakapan itu mengalir dengan mudah dan aku merasa sedikit lebih dekat. Rasanya aneh, mengingat kami baru pertama kali berbicara.

Seiring berjalannya waktu, percakapan kami mulai berkembang. Awalnya tentang tugas, lalu semakin banyak hal yang kami bicarakan—film, musik, impian yang kami sembunyikan, dan bagaimana masing-masing dari kami merespons dunia di luar sana. Kami bercerita tentang banyak hal yang bahkan belum pernah kuutarakan pada teman-teman dekatku.

Aku merasa semakin nyaman dengannya, meskipun kami tak pernah bertemu. Setiap kali aku menulis, aku merasa seolah Arah benar-benar mendengarkan, memahami, dan memberi ruang bagi kata-kataku untuk tumbuh.

Namun, ada satu hal yang mulai menggangguku. Setiap kali aku merenung, aku merasa ada sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Kami tak pernah bertemu. Kami hanya bertukar pesan, tetapi kenapa perasaan ini semakin kuat? Setiap obrolan terasa lebih bermakna dari yang sebelumnya. Setiap kata Arah semakin memengaruhi hariku. Aku mulai merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan biasa, meskipun tidak pernah ada janji untuk bertemu.

Terkadang aku bertanya pada diriku sendiri, apakah ini hanya perasaan sesaat? Mengingat betapa mudahnya aku merasa dekat dengan Arah, meskipun kami belum pernah melihat wajah masing-masing. Namun, aku mulai merasakan ada yang lebih, sesuatu yang berkembang dalam diam, seperti kebiasaan untuk menunggu pesannya setiap pagi.

Aku mencoba menenangkan diri, berpikir mungkin ini hanya perasaan sementara. "Ah, mungkin ini cuma rasa nyaman karena sering mengobrol," kataku dalam hati, berusaha meyakinkan diri sendiri.

Namun, semakin aku berusaha mengabaikan perasaan itu, semakin aku merasa rindu yang tak bisa kutahan. Rindu yang hadir tanpa aku memintanya, hadir di antara baris-baris pesan yang kami kirimkan.

Rindu itu datang dengan cara yang tidak pernah kuduga. Ia tidak peduli pada jarak atau waktu. Rindu itu menuntunku ke dalam sebuah kedekatan yang tidak pernah ada dalam rencana, seolah-olah cinta ini datang begitu saja—dalam bentuk yang tak perlu alasan dan tanpa pertemuan nyata.

Mungkin ini bukan tentang bertemu. Mungkin ini hanya tentang kehadiran yang terasa, meskipun tanpa perlu tatap muka, tanpa perlu suara yang terdengar jelas, hanya melalui kata-kata yang saling mengalir.

Aku tahu, aku tak akan tahu pasti apakah ini cinta atau hanya perasaan yang tumbuh di antara kesendirian. Aku masih bertanya-tanya. Namun, ada satu hal yang kusadari dengan sangat jelas: jarak itu tidak selalu menghalangi kedekatan, dan terkadang, kita bisa merasakan sesuatu yang lebih besar hanya dengan saling berbicara.

Arah mengajarkanku bahwa terkadang cinta itu tidak datang dengan cara yang kita rencanakan. Cinta bisa hadir melalui percakapan yang sederhana, melalui kata-kata yang kita kirimkan pada waktu yang tepat. Ia bisa tumbuh begitu saja, tanpa pertemuan, tanpa janji, hanya melalui pesan-pesan yang mengisi ruang-ruang kosong dalam hidup kita.

Mungkin aku tak akan pernah benar-benar tahu apakah ini cinta atau hanya sebuah perjalanan panjang yang membawaku pada pemahaman baru tentang diri sendiri. Namun, satu hal yang pasti—aku tak ingin kehilangan percakapan ini. Karena dalam setiap kata yang ditulis, aku merasa Arah ada di sini, dekat, meski tanpa harus bertemu.