Jika dahulu kau tidak berusaha kabur dari kesepakatan yang telah dibuat oleh kelompok-kelompok marga di Bakkara, tidak mungkin kau harus menghadapi penderitaan sepedih ini. Anakmu telah mati, tubuhnya terbelah menjadi dua. Semua itu terjadi karena kau berurusan dengan Sodungdangon. Kau tidak dapat menyelamatkannya. Kau berada dalam penguasaan prajurit Barus.
Penderitaan ini bermula dari tindakanmu pada malam itu. Di Bakkara terdapat enam marga, salah satunya adalah margamu. Keenam marga tersebut telah sepakat menyelenggarakan pesta memukul gendang secara bergiliran. Margamu, Simamora, tidak mampu menyelenggarakan pesta memukul gendang sebagai wujud permohonan agar diberikan kesuburan dan kemakmuran oleh Dewata. Ketidakmampuan itu dilandasi kemiskinan yang melanda beberapa minggu terakhir. Sebagai orang yang dituakan, kau merasa malu jika harus mengaku blak-blakan di hadapan marga lain.
Kau bersama anak-anakmu, Sametua, Babiat Maingol, dan Marbulang, memutuskan untuk kabur dari Bakkara. Sebenarnya masih ada satu lagi anakmu, yaitu Sibontar Mudar. Namun, ia tidak mau pergi. Ia rela menanggung malu atas keadaan yang sudah pasti akan menimpa, menjadi bahan olok-olokan karena tidak mampu menyelenggarakan pesta memukul gendang.
Hujan deras menghiasi malam itu. Jalanan yang becek sedikit menghambat perjalanan. Kau bersama ketiga anakmu mencari jalan yang sekiranya aman dari jangkauan penduduk Bakkara. Hingga tibalah kalian di ujung jalan keluar masuk Bakkara. Sodungdangon, yang dijuluki manusia setan, tiba-tiba muncul.
Kau sempat terkejut.
“Benar apa yang dikatakan orang. Langkah kakinya tidak terdengar, wajar kalau dijuluki manusia setan,” batinmu.
Dalam narasi yang beredar di Bakkara, Sodungdangon konon mempunyai ilmu sakti. Ia bisa terbang dan membuat orang menjadi kaya. Sebagian penduduk mempercayainya. Narasi itu tidak dianggap sebagai omong kosong belaka.
“Mau ke mana kalian?” kata Sodungdangon.
“Mau pergi.”
“Pergi ke mana?” Pertanyaan Sodungdangon kali ini membuatmu merasa terintimidasi.
“Pindah.”
“Pindah ke mana?”
Kau menatap ketiga anakmu secara bergantian. Ketiganya tampak ketakutan. Kau tidak tahu pasti karena apa, tetapi dugaanmu tertuju pada tampang Sodungdangon yang terkesan menyeramkan. Tatapanmu itu seolah meminta persetujuan untuk memberikan jawaban yang sebenarnya. Entah mengapa, keinginan untuk berbohong tidak terlintas di benakmu.
“Jadi, kami sedang berusaha kabur dari kenyataan, dari kesepakatan para marga. Kami mendapat giliran menyelenggarakan pesta memukul gendang. Kami tidak mampu karena kami tidak memiliki persembahan seperti kerbau dan beras,” jelasmu dengan penuh kehati-hatian.
“Kau egois, Sunggu Marpasang. Kau tidak memikirkan nasib orang-orang yang semarga denganmu. Bagaimana nasib mereka? Bagaimana mereka menjelaskan kepergianmu kepada kelompok marga yang lain?” kata Sodungdangon.
“Saya tidak punya solusi.”
“Solusinya, sekarang pulanglah. Sesampainya di rumah, tengoklah dapurmu.”
Kau pun kembali. Kepulanganmu bukan karena kau percaya pada Sodungdangon, melainkan karena kau sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Kau tidak sanggup mengelak dari kata-katanya. Benakmu dikuasai bayangan marga-marga lain yang mencaci maki margamu karena tidak mampu menyelenggarakan pesta yang menjadi jatah kalian.
“Ayah, mengapa kita malah kembali?” tanya Sametua.
“Iya, Ayah, mengapa Ayah menuruti Sodungdangon?” kata Marbulang.
“Betul, Ayah. Kenapa?” sahut Babiat Maingol.
“Ayah ingin membuktikan ucapan Sodungdangon.”
Kini kau berubah. Kau mulai memiliki sedikit keyakinan bahwa ucapan Sodungdangon benar. Sepanjang perjalanan, kau terus berpikir. Raut wajah Sodungdangon tampak serius. Selain itu, kau teringat narasi-narasi yang beredar di Bakkara tentang kemampuannya membuat seseorang menjadi kaya.
Sesampainya di rumahmu yang didominasi kayu, kau terkejut. Seekor kerbau terdiam di dapur, dan beberapa karung beras tersusun di sana, lengkap dengan peralatan memasak serta bahan-bahan lainnya. Jumlahnya begitu banyak. Seketika kau merasa seperti ingin terbang.
Kau pun tidak jadi kabur. Kepulanganmu benar-benar menjadi solusi atas masalah yang kau hadapi. Margamu bisa menyelenggarakan pesta memukul gendang. Meski demikian, pesta yang kau adakan berlangsung apa adanya. Hal itu dilakukan untuk mencegah kecurigaan orang-orang tertentu dan menghindari pertanyaan, “Dari mana kau memperoleh semua ini?”
Sisa barang-barang tersebut kau bagikan kepada anggota margamu. Setelah pesta memukul gendang selesai dilaksanakan, Sodungdangon muncul kembali. Kau tidak lupa mengucapkan terima kasih kepadanya. Sejak saat itu, kau benar-benar percaya bahwa ia sakti. Kau pun bergabung dengan orang-orang yang meyakini bahwa Sodungdangon memiliki kelebihan istimewa.
Kau terlibat perbincangan panjang dengan Sodungdangon. Pada akhirnya, ia menceritakan kegelisahan hatinya karena ingin menikah. Tanpa pikir panjang, kau menawarkan anakmu, Sibontar Mudar, untuk dijadikan istrinya. Tawaran itu dilandasi perasaan berutang budi.
“Tentu saya juga tidak bisa memaksa, Pak.”
“Saya bisa memahami,” kata Sodungdangon sebelum meninggalkan halaman rumahmu.
Keinginanmu menikahkan Sibontar Mudar mendapat pertentangan dari Marbulang. Ia satu-satunya anggota keluargamu yang tidak setuju. Namun, karena Sibontar Mudar bersedia dinikahi Sodungdangon, prosesi lamaran pun direncanakan. Di matamu, Sodungdangon kini tampak tampan dan berkarisma, berbeda dengan sosoknya saat pertama kali kau temui.
Kau tersenyum-senyum sendiri membayangkan kisah percintaan Sibontar Mudar. Kau merasa seolah berada di dunia dongeng, tempat laki-laki buruk rupa bisa menikahi putri cantik, lalu berubah tampan karena ketulusan sang putri.
Namun, Sodungdangon tidak kunjung menampakkan diri. Kau mencarinya ke sana kemari, dari kampung ke kampung, tetapi tak pernah menemukannya. Bulan berganti bulan, Sodungdangon tetap menghilang. Kau berada di antara marah dan kasihan: marah pada Sodungdangon, kasihan pada anakmu yang larut dalam kesedihan.
Dewata menurunkan penawar luka anakmu tepat dua tahun setelah kepergian Sodungdangon. Seorang laki-laki, putra Raja Barus II, datang menemui anakmu. Kisah itu kau dengar langsung dari Sibontar Mudar, karena kau tidak menyaksikan pertemuan mereka.
Anakmu bercerita bahwa Barus III sedang mencari jodoh. Namun, tidak satu pun perempuan di seantero Barus memikat hatinya. Ia lalu mengumumkan bahwa perempuan yang kejatuhan layang-layang putus yang diterbangkannya akan dijadikan pendamping hidupnya. Sibontar Mudar adalah perempuan yang kejatuhan layang-layang itu.
Sibontar Mudar menceritakan masa lalunya kepada Barus III. Kau sempat memarahinya karena menilai hal itu hanya akan memperkeruh keadaan. Bagimu, Sodungdangon sudah seperti tidak pernah ada.
Sibontar Mudar kemudian dilamar oleh Barus III. Anggota keluargamu merestuinya dengan penuh suka cita. Prosesi lamaran berjalan lancar. Kau tidak menyangka anakmu akan dipersunting putra seorang raja.
Hari ini, sesuai kesepakatan dengan keluarga Barus III, Sibontar Mudar akan diboyong ke istana untuk diperkenalkan kepada keluarga calon suaminya. Beberapa orang dari margamu dan marga lainnya turut mengantar. Saat menyeberangi Sungai Sibundong, musibah terjadi. Sosok yang selama ini kau cari berdiri di hadapanmu. Ia adalah Sodungdangon.
Ia mengatakan bahwa dirinya mengetahui lamaran Barus III kepada Sibontar Mudar. Dengan terang-terangan, ia menyatakan penolakannya.
“Kau sudah tidak waras! Bagaimana mungkin kau masih menganggap anakku calon istrimu, sementara kau pergi entah ke mana!” teriakmu.
“Tidak peduli apa pun, kau sudah berjanji akan menjaga anakmu dari laki-laki lain!”
Sodungdangon menantang Barus III beradu kanuragan. Merasa diremehkan, Barus III menerima tantangan itu. Kau sempat mencegahnya, bukan karena tidak percaya, melainkan karena Sodungdangon telah lama meninggalkan anakmu.
Barus III tetap maju. Ia menyuruh dua prajurit pengawalnya untuk mencekalmu. Pertarungan pun tak terelakkan. Kau berusaha melepaskan diri, tetapi tenaga prajurit itu terlalu kuat.
“Aku akui kau kuat. Pertarungan ini tidak akan selesai. Karena aku tidak terima dengan tindakanmu, maka agar adil, tidak ada yang menikahi Sibontar Mudar,” ucap Sodungdangon.
“Aku tidak mau menuruti kemauanmu!” kata Barus III.
Secepat kilat, Sodungdangon berlari. Pedangnya menghunus tubuh anakmu. Kecepatannya setara kilat, tak memberi kesempatan siapa pun untuk mencegah. Sodungdangon memenggal kepala Sibontar Mudar, lalu terbang menghilang.
Kau bergidik ngeri menyaksikan kepala anakmu terpisah dari tubuhnya. Kau tak pernah membayangkan akan menyaksikan kesaktian Sodungdangon dengan cara seperti ini.
Catatan Penulis: Cerpen ini berangkat dari cerita rakyat asal Sumatra Utara berjudul “Putri Berdarah Putih”.
Baca Juga
-
4 Kekocakan Pengendara Sepeda Motor ketika Berkendara Sendiri, Pernah Mengalami?
-
Selain Malam Minggu, Berikut 4 Opsi Waktu yang Cocok untuk Ngapel!
-
4 Keapesan Anak Sekolah yang Mempunyai Nama dengan Huruf Awalan A, Apa Saja?
-
5 Buah yang Baik Dikonsumsi untuk Penderita Batuk
-
Yuk Kenali 3 Bahaya Mengonsumsi Telur Mentah!
Artikel Terkait
Cerita-fiksi
Terkini
-
Ulasan Novel I Think I Am Ugly: Stop Insecure, Kita Semua Cantik!
-
Self-Love Bukan Egois tapi Cara Bertahan Waras di Tengah Tuntutan Hidup
-
Auto-Glowing! 5 Kebiasaan Skin Minimalism yang Sering Disepelekan
-
Refleksi Diri di Penghujung Tahun: Cara Sederhana Merawat Diri dan Pikiran
-
Miliano Jonathans Sulit Tembus Skuad Utama FC Utrecht, Lebih Baik Hengkang?