Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Ratna Nisrina Puspitasari
Ilustrasi siswa SD mengenakan masker (dok istimewa)

Kehidupan di tengah pandemi menyadarkan semua pihak tentang pentinya peran sekolah dalam membentuk karakter siswa. Selama dua tahun, siswa di Indonesia terkukung di rumah. Terpaksa menghabiskan waktu belajarnya melalui sistem daring alias online. Siswa dipaksa belajar secara mandiri tanpa didampingi guru secara langsung. Namun, ada satu hal yan tidak dapat diajarkan lewat daring yaitu pendidikan karakter siswa.

Sulit rasanya membayangkan metode apa yang akan dipakai untuk mendidik karakter siswa. Barangkali mungkin ada, tetapi tidak seefektif dan seideal jika dididik langsung. Tentunya dengan bimbingan langsung dari guru atau teman sebayanya.

Jangankan guru, sudah barang tentu siswa di Indonesia akan canggung jika bertemu teman sekelasnya. Maklum, sekian lama hanya bertemu dan berteman secara virtual sehingga ada rasa canggung saat bertemu langsung.

Tidak jauh berbeda dengan guru. Hanya bertemu siswa secara virtual selama kurang lebih dua tahun. Artinya, akan ada penyesuaian kembali. Mengapa demikian? Karakteristik siswa sulit dikenali jika hanya karena selama ini hanya bertatap secara virtual. Ada aspek-aspek siswa yang perlu digali dan ditemukenali oleh guru. Semua itu demi terlaksananya pemetaan karakteristik siswa yang berkeadilan dan menyeluruh bagi siswa. 

Guru tidak bisa serta merta menanamkan pendidikan karakter tanpa mengenali karakter setiap siswa. Seperti kata pepatah “Tak kenal maka tak sayang” yang artinya tidak mungkin dapat memahami kebutuhan siswa tanpa mengenalnya terlebih dahulu. Memang bukan tugas yang mudah, apalagi sekian lama tidak berinteraksi dengan siswa secara langsung. Tentu ini adalah tantangan yang akan dihadapi semua guru di Indonesia. 

Belum cukup sampai di situ, antusiasme siswa saat pembelajaran tatap muka tentu berbeda dengan kondisi sebelum pandemi. Sekian lama tidak bersekolah secara tatap muka pasti berpengaruh terhadap psikologis siswa. Ada rasa kekhawatiran yang mungkin menjadi pemikiran guru pada umumnya.

Kekhawatiran terhadap antusiasme siswa perlu dijadikan perhatian. Terbiasa “bebas” di rumah selama pembelajaran daring tentu menimbulkan permasalahan tersendiri. “Kebebasan” ini harus dihilangkan karena sistem pembelajaran secara tatap muka di sekolah tentu berbeda. Perlu ditanamkan pemahaman kepada siswa bahwa di sekolah karakter mereka ikut dididik.

Siswa tidak boleh membiarkan diri terlarut dalam kebebasan dan ini akan menjadi tugas yang tidak ringan bagi guru. Perlu diingat, pembelajaran di sekolah berbeda dengan pembelajaran daring. Inilah yang hilang, karakter tidak dapat diinternalisasi dengan ideal.

Tidak semua siswa mendapatkan pendidikan karakter yang mumpuni di lingkungan keluarga dan tempat tinggalnya. Apalagi dengan kesibukan kerja dari orang tua, sudah pasti pendidikan karakter sulit terwujud karena kurangnya bimbingan kepada siswa.

Benar, tantangan terbesar yang akan dihadapi guru selama pembelajaran tatap muka adalah menanamkan pendidikan karakter kepada siswa. Guru dituntut untuk memberikan bimbingan dan panduan yang lebih intensif. Sasaran utama di awal adalah membiaskan siswa untuk menghadapi lingkungan sekolah. Perkanalan terhadap lingkungan dan warga sekolah adalah langkah paling masuk akal di awal pembelajaran tatap muka.

Saat siswa mulai mengenal lingkungan, akan tercipta rasa nyaman. Suasana yang sudah terbangun tersebut diharapkan memacu motivasi dan semangat siswa dalam belajar apapun di sekolah. Saat kondisi dan suasana kondusif, maka proses internalisasi pendidikan karakter diharapkan akan berjalan lebih efektif.

Pendidikan karakter yang pertama kali perlu diinternalisasikan kepada siswa adalah karakter yang melekat dalam diri siswa. Contoh karakter yang dimaksud adalah tanggung jawab dan kejujuran. Tanpa mengesampingkan keenam belas karakter yang lain, kedua karakter yang disebutkan di awal merupakan karakter yang perlu untuk diinternalisasikan pertama kali. Alasannya sederhana, karena keduanya sangat dekat dengan keseharian siswa. Perlahan dan pasti, baru kemudian karakter-karakter lain mengikuti.

Tentu saja tantangan di atas bukan hal yang mudah. Mengingat keberlangsungan pembelajaran selama pandemi kurang berjalan maksimal. Utamanya dalam menginternalisasikan pendidikan karakter.

Namun, tanpa mengurangi rasa hormat, mengejar pendidikan karakter dirasa lebih penting dibandingkan mengejar ketertinggalan materi pembelajaran yang lain. Mengutip pendapat Marthin Luther King, bahwa kecerdasan karakter adalah tujuan akhir dari sebuah pendidikan yang sebenarnya. Artinya, karakter harus lebih diutamakan dari ilmu-ilmu yang lain karena karakter berisi nilai, normal, dan moral yang merupakan pondasi dari sebuah peradaban bangsa.

Ratna Nisrina Puspitasari