Scroll untuk membaca artikel
Candra Kartiko | Sam Edy Yuswanto
ilustrasi tetangga (pixabay.com)

Toleransi merupakan hal penting yang seyogianya selalu diperhatikan dalam kehidupan umat manusia. Tanpa membekali diri dengan sikap toleransi, tentu kita akan menjadi pribadi-pribadi egois yang lebih suka mementingkan urusan diri sendiri dan mengenyampingkan urusan dan perasaan orang lain. 

Definisi toleransi secara terminologi sebagaimana pernah dijelaskan Sofia dalam tulisannya (Mediaindonesia.com, 15/10/2021) adalah sikap saling menghargai, menghormati, menyampaikan pendapat, pandangan, kepercayaan kepada antarsesama manusia yang bertentangan dengan diri sendiri. Dengan adanya sikap toleransi, konflik dan perpecahan antarindividu maupun kelompok tidak akan terjadi.

Contoh sikap toleransi secara umum antara lain menghargai pendapat mengenai pemikiran orang lain yang berbeda dengan kita, serta saling tolong-menolong antarsesama manusia tanpa memandang suku, ras, agama, dan antargolongan.

Bila mencermati kehidupan era sekarang, sepertinya sikap toleransi mulai terkikis dalam kehidupan keseharian. Sebagian orang tampaknya lebih suka menonjolkan keakuannya. Atau dengan kata lain, ia lebih suka mementingkan hal-hal yang menjadi kesenangan dirinya sendiri, tanpa merasa peduli dengan tetangga atau orang-orang yang berada di sekitarnya. Ia benar-benar tak peduli bila ada orang lain yang merasa terganggu dengan aktivitasnya. 

Beberapa waktu yang lalu seorang teman menceritakan aktivitas salah satu tetangganya yang memiliki kebiasaan memutar musik dengan volume kencang. Tetangganya itu memang berprofesi sebagai  tukang sound system sehingga tak heran bila kerap melakukan uji coba apakah sound system tersebut sudah berfungsi dengan baik ataukah belum.

Namun rupanya ia melupakan satu hal (atau jangan-jangan ia telah menganggap hal biasa yang tak perlu dipersoalkan?) bahwa kebiasaannya memutar musik dengan volume tinggi itu sangat mengganggu kenyamanan para tetangganya yang rumahnya sangat berdekatan. Mestinya bila ia memiliki sikap toleransi, ia akan berpikir panjang sebelum memutar musik dengan suara keras dalam durasi lama.

Apakah suara musik tersebut menyebabkan orang lain terganggu ataukah tidak? Jangan-jangan salah satu tetangganya ada yang sedang sakit? Atau ada ibu yang memiliki bayi yang mendadak terbangun dan menangis gara-gara mendengar suara musik yang begitu memekakkan telinga?

Saya jadi teringat, ketika suatu hari menyaksikan sebuah video parodi melalui akun TikTok, perihal orang yang merasa terganggu dengan suara orang lain yang sedang bernyanyi dengan suara keras. Video dengan durasi singkat tersebut menayangkan kisah seorang lelaki yang sedang menyanyi lagu India dengan suara keras. Ia tak menyadari bila tak jauh dari keberadaannya, ada seorang ibu yang sedang terbaring karena sakit. Merasa sangat terganggu dengan suara nyanyian si lelaki, ibu tersebut lantas memaksa dirinya bangun dan mengambil alas kaki, lalu melemparkannya ke arah lelaki yang sedang bernyanyi tersebut.

Video parodi tersebut memang berdurasi sangat singkat, tetapi meninggalkan bekas yang mendalam dan hikmah bagi orang yang menontonnya. Hikmah yang menyadarkan kita agar memiliki sikap toleransi terhadap sesama. Jangan sampai kita merasa egois, melakukan kesenangan sesuka hati di tengah penderitaan orang lain. Memang sah-sah saja bila kita ingin melakukan aktivitas atau hobi kita, tentu dengan catatan selama itu positif dan tak mengganggu kenyamanan orang lain.

Karena saya sangat yakin, kita pun akan merasa kesal dan marah bila sampai ada orang yang mengganggu ketenangan hidup kita. Bayangkan saja ketika kita sedang nyenyak tidur tiba-tiba terjaga dadakan gara-gara mendengar suara musik bervolume keras yang bersumber dari tetangga sebelah. Saya yakin kita akan merasa dongkol dan marah. Terlebih bila kita baru beberapa menit tertidur setelah melakukan aktivitas yang padat.  

Penting digarisbawahi di sini bahwa memiliki sikap toleransi bukan berarti kita tidak memiliki sikap atau prinsip hidup. Sama sekali bukan seperti itu. Kita harus bisa membedakan hal ini. Jangan lantas beranggapan bahwa sikap toleransi sama dengan kita mudah terbawa arus pergaulan orang-orang yang kita temui. Prinsip hidup adalah hal penting dalam menjalani kehidupan ini. Dan setiap orang tentu memiliki prinsip hidup yang beragam. Tugas kita adalah berusaha memahami prinsip hidup orang-orang yang beragam tersebut, lalu menghormatinya sebagaimana kita ingin dihormati oleh mereka. 

Dalam buku Love, Peace, and Respect; 30 Teladan Nabi dalam Pergaulan Lalan Takhrudin menulis: cintai dan kasihilah orang lain sebagaimana Anda mencintai dan mengasihi diri Anda sendiri, agar Anda senantiasa berbahagia dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini.

Bukankah menurut agama kita, kita akan senantiasa dicintai dan dikasihi Allah Swt. selama berusaha mencintai dan mengasihi sesama? Rasulullah Saw. dalam sebuah hadist riwayat Al-Bukhari pernah menasihati salah satu sahabatnya, Ali ibn Abi Thalib, “Wahai Ali! Cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”.

Menurut pemahaman saya, mencintai sesama atas dasar ingin meraih ridha-Nya termasuk ke dalam kategori sikap toleransi yang seyogianya selalu kita amalkan. Dengan kata lain, toleransi adalah hal yang “niscaya” dalam menjalani kehidupan bermasyarakat atau bertetangga. Wallahu a’lam bish-shawaab.

***

Sam Edy Yuswanto