Sebagai manusia yang terlahir perempuan, kerap kali mereka mendapat pelabelan negatif dan dianggap hanya memiliki "kekuasaan" di ranah domestik. Bahkan terkadang difatwa haram menjadi pemimpin publik.
Berbeda dengan laki-laki yang sejak lahir hampir selalu disanjung dan dianggap lebih memiliki keistimewaan, terutama di ranah publik. Pelabelan negatif yang sering kali disematkan pada perempuan telah lama terjadi sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu, seolah menjadi pembenaran untuk mempersempit peran-peran perempuan.
Bahkan dalam buku The Second Sex, feminis Simone de Beauvoir dengan apik memaparkan kondisi dan dampak perempuan yang dianggap makhluk inferior “kelas kedua” setelah laki-laki.
BACA JUGA: Pengaruh Twitter terhadap Penggunaan Bahasa pada Generasi Muda
Nahasnya perilaku yang mendomestifikasi tersebut justru dilanggengkan dan diamini, bahkan sampai hari ini tidak sedikit yang bersikukuh menganggap jika perempuan hanyalah makhluk pelengkap atau dalam istilah lain sebagai tambahan saja yang menjelma di dalam aturan-aturan. Kuota 30% adalah contoh paling nyata.
Kebijakan yang dinilai merugikan perempuan oleh banyak kalangan atas hak terlibat dalam politik, hemat penulis dapat menjadi penanda jika perempuan memang sedang dipaksa untuk berada di "baraknya", yaitu rumah tangga.
Ada beberapa hal secara kultural yang dapat dilakukan, setidaknya untuk mengurangi pelabelan negatif. Pertama,meningkatkan literasi pengetahuan isu keadilan dan kesetaraan.
Kita memandang bahwa setiap individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi, mengakses, mengontrol dan memperoleh manfaat dalam proses pembangunan. Termasuk di dalamnya keterlibatan dalam politik.
Dalam hal ini hendaknya tidak mengerdilkan arti politik pada partai, namun lebih dari itu sesungguhnya memiliki makna setiap proses pengambilan keputusan terkait hajat hidup orang banyak perlu melibatkan perempuan.
Kedua, secara struktural perlu melakukan advokasi kebijakan agar tidak membatasi peran perempuan pada angka 30 %.
Sudah selayaknya pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membuka "kran" 100 % keterlibatan kaum perempuan.
Dengan begitu, penulis meyakini akan adanya kebijakan yang lebih partisipatif dengan melibatkan kelompok-kelompok rentan. Misalnya kelompok disabilitas, penyintas kekerasan, kelompok penghayat dan kelompok lainnya.
Sebagai catatan penutup saya hanya ingin menegaskan kembali jika perilaku yang memperlakukan perempuan hanya memiliki hak di wilayah rumah tangga saja sama saja dengan mengingkari keberadaannya.
Baca Juga
-
Belajar Membaca Peristiwa Perusakan Makam dengan Jernih
-
Kartini dan Gagasan tentang Perjuangan Emansipasi Perempuan
-
Membongkar Kekerasan Seksual di Kampus oleh Oknum Guru Besar Farmasi UGM
-
Idul Fitri dan Renyahnya Peyek Kacang dalam Tradisi Silaturahmi
-
Antara Pangan Instan dan Kampanye Sehat, Ironi Spanduk di Pasar Tradisional
Artikel Terkait
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Bukan Budaya Patriarki, Wamen PPPA Veronica Tan Minta Setiap Keluarga Ajarkan Kesetaraan Gender
-
Daster Bukan Simbol Kemalasan: Membaca Ulang Makna Pakaian Perempuan
-
Perempuan Diduga Selingkuhan Dijambak Istri Sah di Trotoar Dikira Fuji, Padahal Bukan
-
Antara Keringat dan Ketakutan: Saat Catcalling Membayangi Langkah Perempuan
Kolom
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Tragedi Sunyi Pendidikan Indonesia: Saat Nikel Lebih Viral dari Siswa SMP Tak Bisa Baca
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
Terkini
-
Ulasan Lagu Answer oleh ATEEZ: Pesan Kuat dari Perjalanan Mencari Jati Diri
-
Tragisnya Pemain Keturunan Malaysia, Dinaturalisasi Hanya untuk Bermain di JDT!
-
Dampak Nikel terhadap Ikan Pari dan Penyu: Raja Ampat Sudah Tak Aman
-
Debut 23 Juni, THEBLACKLABEL Perkenalkan Member Grup Co-ed ALLDAY PROJECT
-
Review Film Love and Leashes, Eksperimen Cinta yang Unik di Dunia Kerja