Scroll untuk membaca artikel
Munirah | Taufan Rizka Purnawan
Ilustrasi Perlawanan. (pixabay.com)

Detak perlawanan kepada sang tirani yang terus-menerus melancarkan hantaman penindasan kepada para jelata. Seakan jelata tak tahan akan tingkah bengis sang tirani. Sang tirani yang bertingkah bebal nan laknat. Sebuah negeri yang penuh kekacauan kala dicengkeram oleh sang tirani. Dengan tangan besinya yang siap melumat habis musuh-musuh yang dianggap membahayakan dirinya.

Para jelata yang merasakan sesal setelah menggadaikan suara dengan tampang lugunya. Hanya demi memilih sang tirani yang bertampang seolah memihak pada rakyat. Terbuai para jelata dengan segala apa yang dia janjikan. Hanyalah omong kosong yang terlontar dari mulut sang tirani kala itu hendak mencalonkan sebagai pemimpin merakyat.

Dibelilah suara rakyat dari para jelata. Bahagialah para jelata setelah memilih sang tirani. Sungguh rendah suara mereka digadaikan demi melempangkan jalan kekuasaan tuk melahirkan sang tirani. Apalah daya para jelata yang tak tahu apa-apa tentang demokrasi. Demokrasi sebagai inang dari penindasan.

Sang tirani menindas para jelata dengan menjerumuskan para jelata dalam lehidupan penuh melarat. Yang membiarkan rakyat mati bergelimpangan dalam kelaparan. Yang menjerumuskan anak-anak ke dalam jurang kebodohan yang menyelimuti mereka. Rasa muak para jelata semakin tak tertahankan.

Berserulah pekikan kata perlawanan akan penindasan. Pekikan perlawanan yang menggema seantero negeri kian mengguncang telinga sang tirani. Dibuat pusing sang tirani kala mendengar pekikan perlawanan semakin lama semakin kencang berdendang. Hingga waktu yang bicara kapan sang tirani menemui ujung tanduk kekuasaannya.

Taufan Rizka Purnawan