Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Thomas Utomo
Cover Keluarga Lego (DocPribadi/thomasutomo)

Novel Keluarga Lego menceritakan kehidupan nenek cerewet bernama Yohana. Dia bersama perempuan-perempuan lansia lainnya tinggal di satu panti jompo swasta eksklusif bernama Rumah Peristirahatan Termulia. Di panti jompo ini, Yohana punya teman sekamar, namanya Naomi. Naomi tidak betah tinggal di Rumah Peristirahatan Termulia. Naomi menganggap panti jompo ini seperti penjara baginya.

Suatu hari, Yohana menemukan iklan lowongan adopsi keluarga di sebuah surat kabar. Orang yang membuka lowongan adopsi keluarga ini, namanya Victor Yuda, seorang pengusaha muda lajang yang mencari orang untuk diadopsi menjadi kakak, adik, dan orang tua.

Diam-diam, Yohana mendaftarkan Naomi dan mengurus semua dokumen persyaratan. Siapa sangka, Naomi lolos seleksi dan diterima sebagai nenek Victor Yuda.

Kepergian Naomi membuat hari-hari Yohana terasa kosong. Bukan karena Naomi adalah teman baik Yohana. Sebaliknya, Yohana melihat Naomi yang pelupa, suka marah-marah tidak jelas itu seperti hiburan. Ada kepuasan atau kebahagiaan tersendiri buat Yohana melihat kehidupan Naomi yang lebih mengenaskan darinya.

Hidup Yohana semakin terasa hampa, ketika satu-satunya keluarga, yaitu menantu perempuannya yang kadang-kadang menengoknya, memutuskan nggak akan menengok Yohana lagi, karena dia pergi untuk menikah kembali.

Bagi Yohana sendiri, menantu perempuannya bukanlah keluarga kesayangan. Yohana bahkan tidak menyukai dia. Setiap kali dia datang, Yohana mengomeli dan memakinya. Namun, Yohana menganggap menantu perempuannya itu tetap ada gunanya. Setiap kali dia datang menengok, Yohana jadi tidak malu dengan perempuan-perempuan lansia lainnya. Yohana jadi bisa berbangga dan menyombongkan diri, kalau dia masih punya keluarga yang tidak mengabaikannya. Walaupun sesungguhnya, hubungan Yohana dengan menantunya itu buruk sekali.

Suatu hari, dalam perjalanan naik bus, Yohana ketemu perempuan seumuran dengannya yang memakai bros berbentuk pohon di dada. Bros kecil itu terbuat dari susunan lego yang menyala. Perempuan itu mengaku kalau dirinya bukan manusia. Dia adalah robot yang dipekerjakan perusahaan jasa sewa-menyewa anggota keluarga bernama Keluarga Lego. Robot-robot ini, bisa dipesan lewat aplikasi di ponsel android.

Yohana tertarik untuk menyewa seorang anak. Lewat robot anak sewaan ini, Yohana kemudian justru tidak mendapatkan kebahagiaan seperti yang dia harapkan.

Ketika akhirnya Yohana keluar dari panti Rumah Peristirahatan Terindah untuk tinggal di kamar yang sengaja disewakan Naomi, dia semakin jauh dari bahagia. Di tempat tinggal baru, Yohana malah harus berhadapan dengan masa lalunya yang kelam, yang ternyata berhubungan dengan Victor Yuda. Belakangan,Yohana menyadari, kalau Naomi dimanfaatkan pihak tertentu untuk membalaskan dendam masala lalu.

Keluarga Lego punya ketebalan 288 halaman. Di dalamnya ada lima bab: Bab 1 Rumah Peristirahatan Termulia, bab 2 Ninabobo oh Ninabobo, bab 3 Miki si Tikus, bab 4 Kota Mati, bab 5 Domba Hitam.

Sebetulnya, selain Yohana, setidaknya, ada dua tokoh sentral lain dalam novel ini, yaitu Nina dan Miki. Nina perempuan muda yang teralienasi dalam keluarganya. Dia terasing dan sengaja diasingkan oleh keluarga. Nina kemudian menjaadi pengunjung rutin Rumah Peritirahatan Termulia. Di panti jompo ini, setidaknya, Nina bisa mendapatkan atmosfer kekeluargaan yang tidak pernah dia dapatkan dengan cara mengobrol dan melayani perempuan-perempuan tua penghuni panti, termasuk si cerewet Yohana. Tokoh berikutnya, Miki, robot anak yang disewa Yohana untuk menggantikan anaknya yang hilang atau tepatnya sengaja dihilangkan.

Bab 1, 4, dan 5 novel ini menceritakan kehidupan Yohana dari point of view Yohana. Sedangkan bab 2 menceritakan kehidupan Nina dari point of view Nina. Lalu bab 4 menceritakan kehidupan Miki dari point of view Miki sendiri. Dari bab 1 sampai 5, satu sama lain, membangun gambaran keluarga yang jauh dari ideal dan justru jadi sumber malapetaka.

Dari novel ini, kita jadi punya gambaran pikiran orang yang serba terbalik. Maksudnya adalah pikiran Yohana. Dia menganggap dirinya malang, karena perlakuan keluarga kepadanya. Tapi sesungguhnya, dialah sumber dan penyebab kemalangan bagi keluarganya. Dia mengabaikan anaknya, dia meninggalkan anaknya, tapi dia malah meyakini dirinya ditelantarkan. Jadi Yohana playing victim. Dia pelaku pengabaian keluarga, tapi bersikap seolah-olah dirinya adalah korban.

Sedangkan Nina, dia merasa menjadi alien yang terasing, terisolir, dan terkucilkan di lingkungan keluarga kandungnya sendiri. Ironisnya, Nina sendiri kemudian bergerak dari korban menjadi pelaku. Tepatnya, dia menjadi pelaku perusak rumah tangga orang. Kehausan akan kasih sayang keluarga, membuat Nina memacari laki-laki beristri. Bukan kebahagiaan yang dia dapat, malah kehampaan berikutnya yang dia peroleh. Memang, dalam perselingkuhan ini, tidak bisa 100 % kesalahannya dibebankan pada Nina, sebab it always takes two to tango. Nina salah, pacarnya juga salah, bahkan lebih salah lagi.

Dari novel Keluarga Lego, pembaca diyakinkan, bukan cuma cinta yang membuat orang bisa bertahan hidup, tapi dendam pun bisa. Bedanya, cinta menyuburkan kebahagiaan, sedangkan dendam makin memerosokkan dalam kemudaratan.

Dari cerita ini, pembaca dapat berkaca, jika keluarga sebagai pranata sosial paling kecil tidak bisa menjalankan fungsi sebagaimana idealnya, maka daya rusak dan akibat kerusakannya, justru jauh lebih besar, tidak terbatas di lingkungan keluarga, tapi mencakup masyarakat yang lebih luas.

Keluarga Lego merupakan kritik untuk mereka yang menganggap keluarga sedarah adalah segalanya. Lewat tokoh-tokoh ceritanya, pengarang seperti ingin menunjukkan kalau keluarga, bukan hanya mereka yang terikat pertalian darah. Tapi lebih dari itu, keluarga adalah ia atau mereka yang hadir ketika kita dalam situasi sulit atau menggembirakan. Keluarga adalah support system yang penting kehadiran dan perannnya dalam kondisi apapun.

Kritik untuk novel ini, di awal-awal, bagian cerita antara Yohana dan Naomi, pengarang menggunakan bahasa yang kocak tapi ironis, lucu tapi menyindir. Semuanya, dibangun dengan bahasa, alur, dan jalan cerita yang padat, dan solid. Satu sama lain, saling mendukung. Sayangnya, begitu masuk bab 2, 3, 4, alur dan jalan ceritanya seperti nggrambyang dalam bahasa Jawa atau ngayawara. Kesannya, pengarang seperti kurang fokus, karena cerita jadi ke sana kemari.

Kritik berikutnya atau lebih tepatnya, pertanyaan. Kenapa pengarang tidak memberi suara bagi anak Yohana untuk bercerita dari point of view dia? Tentang bagaimana perasaan, pikiran, pendapat dia soal perlakuan Yohana? Saya kira, ini akan adil, karena pengarang memberi kesempatan untuk dua pihak yang berseberangan, saling bercerita dari sudut pandang masing-masing. Ini akan memberikan pemahaman yang lebih integral dan komprehensif buat pembaca.

Thomas Utomo