Dalam beberapa pelatihan menulis, baik online atau offline, pemateri kerap memotivasi para peserta—yang begitu menggebu ingin belajar menulis—dengan kalimat-kalimat motivasi sebagai cambuk semangat, seperti “Menulis itu gampang” atau “Menulis itu mudah”. Bahkan, beberapa waktu lalu di media sosial viral info kursus menulis dengan bahasa iklan yang cukup menyita perhatian warganet: “Sukses Menulis Buku dalam 24 Jam”.
Menulis bukan hal mudah. Bukan perkara yang secara bim slabim langsung jadi. Menulis butuh proses. Untuk mendapatkan ide, seorang penulis harus banyak membaca dari berbagai literatur seperti buku, koran, majalah, dan lainnya. Bahkan, tak jarang yang harus riset berbulan-bulan untuk satu tema tulisan yang akan digarap. Lalu, kenapa ada orang yang begitu sesumbar mengatakan kalau menulis itu mudah dan bisa dilakukan dalam waktu yang sangat singkat?
Dalam buku Melihat Pengarang Tidak Bekerja, Mahfud Ikhwan memaparkan banyak hal berkaitan dengan proses kreatif dan perjuangan pengarang atau penulis dalam melahirkan karya. Mahfud yang telah menulis sejumlah novel—di antaranya memenangkan lomba bergengsi yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) beberapa tahun lalu—menyatakan, menulis itu perbuatan baik. Sebagaimana perbuatan baik lainnya, ia akan menghadapi godaan yang mencoba menggagalkannya setiap ia ingin ditunaikan.
Menulis juga berat dan tidak segampang yang dibayangkan. Menulis butuh mood atau suasana hati dan pikiran yang nyaman. Jangan harap seorang penulis bisa melahirkan tulisan bagus, jika suasana pikirannya sedang kacau. Yang sering juga dialami penulis adalah saat idenya mentok atau buntu. Ide-ide yang sebelumnya berseliweran di dalam pikiran, tiba-tiba berhamburan dan melahirkan kemalasan-kemalasan yang membuat pikiran stagnan (halaman 36).
Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menulis? Perlukah waktu-waktu khusus untuk menulis sehingga, bisa melahirkan tulisan bagus dan berkualitas? Dalam bab “Pulang, Pola, dan Mood”, Mahfud Ikhwan membongkar berbagai problematika yang kerap dirasakan oleh para pengarang, termasuk dirinya yang selama ini telah fokus menulis setelah keluar dari pekerjaan utamanya. Sebelum menjadi penulis penuh waktu, Mahfud adalah karyawan di sebuah penerbit buku-buku mata pelajaran. Saat menjadi pegawai kantoran, Mahfud mengaku menulis di saat malam hari atau di luar jam kerja dan rutinitasnya.
Dalam kumpulan esainya ini, penulis coba menyadarkan calon penulis agar tidak mudah terpengaruh dengan “godaan iklan” bahwa menulis itu pekerjaan ringan dan gampang. Proses yang dilakukan secara kontinyu adalah salah satu cara yang tepat untuk menjadi penulis. Tidak sekadar bermimpi menjadi penulis dengan instan, calon penulis juga harus berjuang dan berupaya untuk terus berproses sehingga, kelak bisa menghasilkan tulisan-tulisan bermutu seperti karya para pengarang yang selama ini diidolakan.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
-
Ulasan Novel Perempuan di Titik Nol: Membongkar Dunia Patriarki bagi Wanita
-
6 Rekomendasi Novel Karya Mia Manansala, Misteri Kehidupan Lila Macapagal
-
Ulasan Novel Three Days to Remember: Tentang Hati yang Mau Menerima Kembali
-
Ulasan Novel 'Art of Curse', Petualangan Membasmi Kutukan Berbahaya
Ulasan
-
Mengikuti Jejak Ajaib Howls Moving Castle
-
Review Series The Queen Gambit: Perjalanan Anak Jenius di Atas Papan Catur
-
Review Film Sweet 20: Keajaiban yang Bikin Nenek Jadi Gadis Muda Lagi
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
-
'Di Udara' Efek Rumah Kaca: Seruan Perjuangan yang Tidak Akan Pernah Mati
Terkini
-
4 Padu Padan Keren ala Ryujin ITZY, Simpel Tapi Bikin OOTD Makin Standout!
-
Bojan Hodak Sebut Bali United Kerap Repotkan Persib, Rekor H2H Jadi Bukti
-
Film Sore - Istri dari Masa Depan: Romansa Lintas Waktu Versi Sinematik
-
Pengamat Malaysia Sebut Jay Idzes Cocok Jadi Kapten ASEAN All Stars, Apa Untungnya?
-
Ngopi Sekarang Bukan Lagi Soal Rasa, Tapi Gaya?