Scroll untuk membaca artikel
Rendy Adrikni Sadikin | zahir zahir
Ilustrasi Pesawat Spitfire milik Belanda (nihm-beeldbank.defensie.nl)

Pada masa perang dunia ke-2, berbagai pihak yang terlibat dalam konflik tersebut turut memberikan beragam bantuan guna mendukung kemenangan dari kedua pihak yang bertikai saat itu. Baik pihak militer maupun sipil bahu membahu dalam memberikan bantuan guna memenangkan perang saat itu.

Jalannya peperangan saat itu memang ditentukan dari keberadaan berbagai alat tempur yang diperlukan guna mendukung beragam operasi militer. Selain itu, peran bantuan logistik lainnya juga tidak kalah penting dalam jalannya peperangan.

Namun, permasalahan yang menjadi hal klasik dan selalu menjadi faktor utama jalannya perang adalah masalah pendanaan dan biaya perang. Tidak jarang pembiayaan dalam perang dapat menjadi faktor utama dalam meraih kemenangan. Untuk mengurangi permasalahan tersebut, pihak barat mencetuskan sebuah ide semacam donasi yang dikenal dengan nama “Spitfire Funds”.

Melansir dari kanal berita BBC, pada tahun 1940 dicetuskanlah sebuah ide donasi yang berasal dari masyarakat sipil di Inggris. Ide tersebut kemudian didukung oleh Lord Beaverbrook yang pada saat itu menjabat Menteri Produksi Pesawat Terbang (Ministry of Aircraft Production).

Uniknya penggalangan dana tersebut tidak terbatas dilakukan di Inggris, namun juga dilakukan di negara-negara yang terafiliasi dengan pihak sekutu seperti Belanda dan Hindia-Belanda.

Masyarakat Hindia-Belanda menyumbang Uang Hingga Bahan Mentah

Ilustrasi Kampanye "Spitfire Funds" di sebuah koran lokal Hindia-Belanda (aviahistoria.com)

Melansir dari situs aviahistoria.com, ketika negeri Belanda dikuasai oleh Jerman pada tahun 1940 membuat pemerintahan Belanda saat itu berada dipengungsian di Inggris.

Di kawasan koloni seperti Hindia-Belanda setelah mendengar jatuhnya negara Belanda memutuskan untuk turut serta dalam program donasi “Spitfire Funds” tersebut guna membantu angkatan perang sekutu dalam berperang melawan Jerman.

Uniknya, penggalangan dana untuk pembelian pesawat militer tersebut tidak hanya dilakukan dalam berupa uang, namun juga menggunakan barang-barang mentah seperti kaleng alumunium atau semacamnya.

Masyarakat Hindia-Belanda diketahui menyumbang mulai dari kaleng bekas, peralatan masak yang terbuat dari alumunium maupun lempengan alumunium mentah.

Hal ini dilakukan agar setiap warga di negara koloni Hindia-Belanda dapat turut serta dalam program donasi tersebut. Barang-barang bekas tersebut kemudian dikumpulkan di pelabuhan Tanjoeng Priok sebelum dibawa menggunakan kapal ke Inggris. 

Menghasilkan 7 Unit Pesawat Supermarine Spitfire

Ilustrasi Pesawat Hasil Sumbangan "Spitfire Funds" (nihm-beeldbank.defensie.nl)

Melansir dari sumber yang sama, hasil donasi dari masyarakat Hindia-Belanda dalam program “Spitfire Funds” tersebut sukses menghasilkan 7 unit pesawat Supermarine Spitfire yang akan digunakan dalam pertempuran “Battle of Britain”.

Saat itu diketahui harga sebuah pesawat Spitfire sekitar 5.000 poundsterling. Dengan kata lain, sumbangan dari masyarakat Hindia-Belanda saat itu mendapatkan pemasukan sekitar 35.000 poundsterling. Tentunya jumlah tersebut cukup besar di masa itu.

Sejatinya sumbangan dari donasi “Spitfire Funds” tidak hanya ditujukan untuk pesawat jenis Spitfire saja yang merupakan pesawat tempur andalan Inggris di perang dunia ke-2, akan tetapi juga dibelikan untuk berbagai pesawat lain seperti pesawat intai, pesawat pengebom dan pesawat angkut militer.

Setelah berakhirnya pertempuran “Battle of Britain”, penggalangan dana program “Spitfire Funds” dilakukan kembali. Namun, kali ini dalam perang di kawasan Pasifik melawan Jepang. Pihak Hindia-Belanda melakukan penggalangan dana guna mendukung komando ABDA (American-British-Dutch-Australia) yang akan bersiap menghadapi Jepang. Bahkan, promosi dari penggalangan dana tersebut juga sempat dimuat di beberapa surat kabar lokal.

Sayangnya sedikit publikasi yang dapat diketahui dari keberadaan pesawat-pesawat hasil donasi dari program tersebut. Kemungkinan pesawat-pesawat tersebut terlebih dahulu hancur saat menghadapi pihak Jepang dan Jerman.

Di kawasan Pasifik sendiri memang Jepang pada tahun 1941-1943 menjadi kekuatan yang tidak bisa dihadapi oleh pasukan sekutu. Hal inilah yang membuat Hindia-Belanda pada tahun 1942 harus jatuh ke tangan Jepang dan pemerintahannya menungsi ke Australia. 

zahir zahir