Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Rie Kusuma
Ilustrasi buku 23 Episentrum (Instagram/@rikubuku)

Epi.sen.trum/épisentrum/n titik pada permukaan bumi yang terletak tegak lurus di atas pusat gempa yang ada di dalam bumi.

Sejatinya, setiap manusia memiliki titik episentrum di dalam dirinya. Namun, tidak semua orang akan dengan mudah menemukannya. Mereka menjalani kehidupan mereka, hari demi hari, tanpa benar-benar yakin bahwa memang itulah yang mereka inginkan.

Begitu banyak orang yang terjebak dalam sebuah situasi, yang memaksa mereka untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya tak mereka inginkan.

Mereka melakukannya karena keharusan, kewajiban, tuntutan, atau karena hanya itulah peluang yang ada di depan mata. Lalu bisa dipastikan, semua yang dilakukan atas dasar keterpaksaan tadi, tak akan mendatangkan kebahagiaan.

Ada sebuah kisah yang sangat menarik dalam novel 23 Episentrum karya dari Edinita, terbitan Grasindo (2012), tentang orang-orang yang berusaha mencari titik episentrum mereka. Bagaimana mereka berusaha keluar dari tekanan dan mulai mengejar apa yang menjadi impian dan cita-cita.

Mereka berjuang untuk meraih kebahagiaan, dengan melewati perjalanan demi perjalanan, yang kelak mengantarkan mereka ke titik episentrum masing-masing.

Awan Angkasa. Keinginan terbesarnya adalah menjadi 'tukang cerita'. Sayangnya, sang ibu menghendaki Awan untuk menjadi seorang bankir, mengikuti jejak dari almarhum sang ayah.

Dalam kungkungan pekerjaan yang bukan menjadi passion-nya, Awan ingin sekali terbebas. Keluar dari pekerjaan tersebut dan mengejar kebahagiaannya.

Namun, apakah ia berani menyampaikan maksud hatinya itu pada sang ibu? Bukankah ia merupakan harapan satu-satunya, untuk membantu membiayai pendidikan adiknya?

Matari Anas. Ia berhasil menjadi sarjana dan langsung bekerja di dunia jurnalistik sebagai seorang reporter, meskipun sejak lama ia mendambakan menjadi seorang News Anchor. Namun, keinginannya tersebut masih harus menempuh jalan panjang.

Fokus Tari saat ini adalah bekerja keras agar dapat melunasi utangnya kepada sejumlah orang teman. Pinjaman ringan yang dulu terpaksa ia lakukan, agar dapat melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah.

Utang yang membuat Tari tertekan, karena ternyata membutuhkan waktu belasan tahun untuk melunasinya. Ia pun harus menunda keinginan untuk meraih impian yang lebih besar, sampai bisa terbebas dari seluruh utangnya.

Prama Putra Sastrosubroto. Seorang sarjana Tehnik Perminyakan. Lulus tepat waktu, bekerja di perusahaan minyak internasional, dan disekolahkan S2 oleh perusahaannya di France Institute of Petroleum. Semua sesuai dengan target yang dulu dibuatnya. Lajang, mapan, dan lebih dari berkecukupan.

Namun, ketika semua target tercapai, ia tak lagi bahagia. Tak ada lagi tantangan, tak ada yang perlu ia kejar. Ada kekosongan dalam dirinya yang lalu membuat Prama memutuskan melakukan 'perjalanan hati'.

Kisah di dalam novel ini begitu menyentuh, bahkan cerita-cerita pendampingnya tak kalah istimewa. Saya akan mengakhiri ulasan ini, dengan sebuah kutipan menarik yang saya ambil dari bagian novel ini.

"Keyakinan kecil yang baru aja lo sebut itu seperti nyala sebuah lilin dalam gelap, Tar. Mungkin memang nggak bisa melihat semua, tapi setidaknya lilin itu yang akan menuntun lo mencari jalan keluar. Pegang aja nyala keyakinan yang ada itu dalam hati dan pikiran lo. Semoga itu yang akan membuat banyak hal leleh dengan api keyakinan yang lo punya."

Rie Kusuma