Siapa yang tak kenal dengan sosok yang bernama Friedrich Wilhelm Nietzsche? Ya, beberapa orang menyebutnya sebagai filsuf yang kondang, filsuf yang revolusioner, dan tak sedikit dari beberapa orang menyebutnya filsuf yang menyesatkan karena berbagai argumennya yang kontroversial.
Namun, di tengah kemewahan intelektual sosok Nietzsche, ternyata ia juga seorang manusia, yang juga merasakan patah hati. Begitulah poin inti dari sebuah film yang berjudul “When Nietzsche Wept.” Sebuah film dengan durasi 1 jam 45 menit yang mengisahkan bagaimana patah hatinya seorang filsuf hingga membuatnya gila dan nekat bunuh diri.
Film yang digarap oleh Pinchas Perry ini diawali oleh sebuah kuliah Nietzsche (yang diperankan oleh Armand Assante lengkap dengan atribut khas kumis tebal) dihadapan para mahasiswanya. Salah satu yang dilontarkan dalam kuliah itu adalah argumennya yang sampai saat ini masih terngiang oleh banyak orang, yakni “Tuhan sudah mati, dan kita semua yang membunuhnya!”.
Di tengah kuliah berlangsung, ada seorang pendeta yang menentang argumen itu, dan tiba-tiba keluar forum dengan membanting pintu. Namun, berkebalikan dengan pendeta tersebut, seorang perempuan justru terkesima dengan argumen yang diluncurkan oleh Nietzsche. Perempuan cerdas itu bernama Lou Andreas-Salome (yang diperankan oleh Katheryn Winnick).
Singkat cerita mereka saling memiliki rasa, antara seorang filsuf yang paling berpengaruh dan seorang perempuan cerdas. Namun, kisah asmara mereka tidak berjalan semulus kain sutra. Ketika Nietzsche hendak melamar Salome, filsuf asal Jerman itu justru mengalami penolakan.
Di saat patah hati itulah, film yang dirilis pada 2007 ini mengeksplorasi banyak kehidupan Nietzsche. Saat itu si filsuf mulai menulis surat-surat yang bernada sinis, caci maki, kebencian dan amarah Nietzsche kepada Salome. Nietzsche sebenarnya sangat mencintai Salome, namun karena patah hati itu, ia hendak mengubur pikiran-pikiran tentang Salome untuk bersikap bebas.
Saking depresinya, Nietzsche sempat mengalami migran berat, halusinasi yang luar biasa, bahkan upaya bunuh diri. Salome tentu merasa bersalah, akhirnya ia meminta pertolongan tanpa sepengetahuan Nietzsche, pada seorang psikolog Dr. Josef Breuer (yang diperankan Ben Cross) yang merupakan guru dari Sigmund Freud (yang dipernakan oleh Jamie Elman).
Namun, dalam setiap sesi pertemuan, Nietzsche selalu mengelak bahwa apa yang terjadi padanya bukanlah karena patah hatinya pada Salome. Keras kepalanya Nietzsche memaksa Breuer untuk menceritakan kisah privasinya sendiri ke Nietzsche dengan harapan pasiennya juga terbuka pada dirinya.
Bukannya malah mengobati pasien, Breuer justru menjadi pasien Nietzsche karena patah hatinya juga pada mantan kekasihnya Bertha (diperankan Michal Yannai). Dengan berbagai dalih filsafatnya, Nietzsche membantu kekhawatiran, ketakutan, dan kecemasan yang dialami Breuer. Bahkan Nietzsche sempat membantu proyek yang dikerjakan Bertha bersama Freud. Psikolog itu sendiri mengaku terdapat keunikan dari pasiennya, yang memaksanya membaca berbagai buku-buku Nietzsche.
Singkat cerita, berdasarkan diskusi panjang antar intelektual, akhirnya Nietzsche mengungkapkan isi kepalanya, tangisan pun pecah, menjadi-jadi dari seorang filsuf kondang. Namun, Nietzsche mengaku bahwa tangisannya bukan karena obsesinya pada Salome, melainkan tangisannya sebagai bentuk bahwa ia telah bebas dari Salome.
Film yang diangkat dari sebuah novel yang ditulis oleh Irvin D. Yalon dengan judul yang sama ini sebenarnya menyimban beberapa bumbu-bumbu pemikiran Nietzsche. Beberapa diantaranya seperti eksistensialisme, cinta, dan kehendak untuk bebas. Meskipun dibalut dengan patah hati, namun apa yang dialami oleh Nietzsche adalah apa yang dituliskannya dalam berbagai karya-karyanya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Ranking Sekolah, Segregasi Ruang Kuliah, dan Stigma yang Menyertai
-
7 Salah Kaprah Masyarakat dalam Memahami Karl Marx
-
Demonstrasi: Mementingkan Beberapa Pihak, Merugikan Banyak Pihak
-
Kekerasan Seksual di Pesantren: dari Legitimasi Kuasa dan Moral Budak Santri
-
Meretas atau Diretas: Masa Depan Algoritma di Kehidupan Manusia
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Ulasan Novel Quatre Karya Venita Beauty: Memilih Antara Mimpi Atau Realita
-
Ulasan Buku Ikan Selais dan Kuah Batu: Kisah Persahabatan Manusia dan Ikan
-
Menjadi Pemuda yang Semangat Bekerja Keras dalam Buku Kakap Merah Ajaib
-
Ulasan Buku Al-Farabi, Sang Maestro Filsafat yang Tak Lekang oleh Waktu
Ulasan
-
Ulasan Buku Sabar, Syukur, dan Ikhlas: Kunci Sukses Bahagia Dunia Akhirat
-
Ulasan Novel Quatre Karya Venita Beauty: Memilih Antara Mimpi Atau Realita
-
Selalu Best Seller, 3 Buku Ini Gak Pernah Nangkring di Event Cuci Gudang
-
Ulasan Buku Susah Payah Mati di Malam Hari Susah Payah Hidup di Siang Hari, Tolak Romantisasi Hujan dan Senja
-
Doyoung NCT 'The Story': Ceria Hidup Layaknya Healing dan Pelukan Hangat
Terkini
-
Spoiler! Hunter X Hunter Chapter 403: Balsamilco vs Pangeran Halkenburg
-
Hazelight Studios Umumkan Game Baru, Siap Hadirkan Inovasi Co-Op Unik!
-
Rencana Timnas Indonesia Panggil 3 Bintangnya Buat Vietnam Ketakutan
-
Meski Akui Kualitas Persija, Paul Munster Tak Beri Motivasi untuk Persebaya
-
Shin Ye Eun dan Rowoon Bintangi Drama Saeguk Disney, 'The Murky Stream'