Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rie Kusuma
Suatu Hari Ketika Bintang-Bintang Terjatuh (Doc. Pribadi/Rie Kusuma)

Ajeng Maharani, penulis asal Sidoarjo, Jawa Timur, ini telah melahirkan sejumlah novel dan kumpulan cerpen di antaranya, Animus: Seven Days, Hujan Tidak Turun dari Langit, Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan, Faith: My Second Marriage, dan lain sebagainya.

Kali ini saya akan mencoba mengulas buku kumpulan cerita pendek milik penulis yang berjudul Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang Terjatuh. Buku ini diterbitkan oleh LovRinz Publishing di tahun 2017 dan menariknya, sebagian dari cerpen-cerpen di dalamnya bergenre surealisme.

Seperti yang kita ketahui bersama, cerpen surealisme merupakan cerpen yang menggambarkan realita yang jungkir balik dan melawan logika. Salah satu contohnya bisa pembaca dapati di buku ini dalam cerpen berjudul Pohon Itu Telah Mengawini Bapakku.

Cerpen ini menggunakan sudut pandang seorang perempuan bernama Selma, yang mengisahkan cerita sedih tentang bapaknya yang didengarnya dari orang-orang.

Seto, bapak dari Selma, suatu kali berniat bunuh diri karena dipecat dari pekerjaan setelah difitnah melakukan pelecehan pada seorang karyawan. Ketika melilitkan tali tambang ke sebuah pohon asam, sebuah keanehan terjadi. Tiba-tiba pohon itu berbicara dan membujuk Seto agar tak meneruskan niatnya.

Dari yang semula ketakutan, Seto kemudian malah terlibat adu mulut dengan si pohon asam, yang bagi sang pohon justru menarik, apalagi Seto juga tak kabur saat mengetahui dirinya bisa berbicara.

Pohon asam lantas mengatakan ingin mengawini Seto dan berjanji akan memberikan kejayaan pada Seto. Lelaki itu akhirnya bersedia dan setiap malam bulan pucat, ia akan naik ke bukit untuk bercinta dengan istrinya yang berupa pohon asam.

Kisah berakhir tragis kala warga desa yang menganggap Seto sesat lalu berusaha mengusirnya dari kampung. Seto berlari ke puncak bukit. Orang-orang yang memburu Seto lalu mendengar pohon asam berbicara, untuk mencegah mereka menyakiti Seto. Namun, mereka malah semakin kalap dan membakar pohon asam itu.

Plot twist yang diberikan penulis si akhir cerita benar-benar mengejutkan saya. Sebuah imajinasi liar yang memberikan sensasi ledakan bagi pembacanya.

Cerpen selanjutnya, yang juga merupakan cerpen surealis dan menjadi judul buku ini, adalah cerpen Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang Terjatuh.

Cerpen ini berkisah ketika suatu malam, Marquez, sang tokoh utama, ingin bunuh diri karena merindukan istrinya, Liliana, yang sudah lama pergi meninggalkan dirinya dengan membawa anak mereka.

Lalu di malam itu, seorang perempuan telanjang dengan tubuh bercahaya keperakan, tertelungkup begitu saja di halaman rumah Marquez, bertepatan dengan sekumpulan bintang yang jatuh dari langit.

Perempuan itu ternyata sebuah ‘bintang’ yang datang untuk menjemput Marquez karena lelaki itu hendak bunuh diri.

“Menjemputku?”

“Tentu saja, Tuan. Siapa lagi yang akan menjemputmu? Malaikat kematian tidak akan mau. Tuhan telah melarang mereka mengambil roh manusia yang bunuh diri. Manusia yang bunuh diri takkan diterima di neraka ataupun di surga, Tuan. Satu-satunya tempat adalah di langit. Menjadi debu-debu dan kami akan memakan kalian.” (hlm 105)

Kisah berakhir dengan kedatangan Liliana yang tak terduga dan melakukan sesuatu pada Marquez yang membuat sang bintang kecewa.

Saya selalu menyukai gaya bahasa dari Mbak Ajeng Maharani. Pilihan diksi-diksinya begitu berbeda dan menghidupkan jalan cerita. Kisah-kisah para tokohnya di setiap cerpen sarat akan kepedihan, penuh dengan luka, dan selalu ada sisi gelap manusia yang sengaja diangkat ke permukaan.

Beberapa cerpen dari 13 cerpen di dalam buku ini pernah tersiar di surat kabar, di antaranya, cerpen Jamuan Makan Malam Tuan Berg, Wajah-Wajah yang Menghilang, Suatu Malam Ketika Bintang-Bintang terjatuh, dan Labu Kuning di Sudut Dapur.

Buku ini juga salah satu bacaan yang page turner, karena alur ceritanya banyak yang menarik dan menyuguhkan sesuatu yang serba suram. Bagi pembaca yang menyukai kumpulan cerpen, saya sangat merekomendasikan buku ini untuk kalian miliki.

Rie Kusuma