Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ruslan Abdul Munir
Buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring (Dok. Pribadi/Ruslan Abdul Munir)

Duka sering kali dipandang sebagai fase yang harus segera dilewati, sesuatu yang ‘mengganggu’ produktivitas dan keceriaan sehari-hari.

Namun dalam buku Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring, dr. Andreas Kurniawan, Sp. KJ menghadirkan narasi yang berbeda, bahwa berduka bukan kelemahan, melainkan bagian utuh dari menjadi manusia.

Buku ini merupakan salah satu pemenang kategori Book of The Year tahun 2024 dari IKAPI Award. Selain itu berhasil mendapatkan predikat mega best seller karena penjualannya yang melejit di pasaran.

Buku ini merupakan refleksi pribadi dr. Andreas ketika harus melewati duka mendalam di hidupnya yang dibalut menjadi sebuah tulisan yang apik.

Di halaman-halaman awalnya, kita disambut dengan pengingat sederhana namun penuh makna: “Menangis ataupun marah, jangan lupa untuk bernapas.

Pernapasan bukan sekadar respons fisik, melainkan cara paling manusiawi untuk menyadari bahwa kita masih hidup, bahkan saat sakit datang menyergap.

Menangis, dalam buku ini juga diartikan bukan sebagai tanda kelemahan, tapi bagian dari proses alami. Sama halnya seperti tertawa saat bahagia, menangis adalah ekspresi valid dari rasa kehilangan. Ia bukan hal yang harus ditahan, tapi justru diizinkan, karena di dalamnya ada energi untuk pulih dan menerima.

dr. Andreas mengajarkan bahwa rasa sedih tidak kalah wajar dibandingkan rasa senang. Hanya saja, rasa senang lebih sering dipuja, sementara kesedihan sering kali disembunyikan karena dianggap mengganggu.

Melalui analogi yang lembut dan penuh dengan makna, dr. Andreas menyandingkan cinta dan duka sebagai dua sisi dari koin yang sama. Semakin besar cinta, semakin dalam pula duka saat cinta itu kehilangan bentuk nyatanya.

Duka, dalam hal ini, bukan kebalikan dari cinta, tapi justru kelanjutannya. Ia menjadi bukti bahwa sesuatu yang indah pernah hadir dan memberi makna.

Hal yang menjadi menarik dalam buku ini adalah penganalogian melwati duka sama halnya dengan proses mencuci piring. Tidak ada orang yang mau berduka, begitupun tidak semua orang suka mencuci piring kotor. Tapi pada akhirnya kedua hal itu akan terjadi dan harus dilakukan.

dr. Andreas menganalogikan setiap langkah dalam mencuci piring dengan proses melewati kedukaan dengan baik dan mudah untuk dipahami. Bahasanya yang cenderung ringan dan banyak istilah dalam psikologis yang dapat menjadi wawasan baru.

Selain itu, keheningan juga mendapat tempat dalam pembahasa di buku ini. Di tengah kebisingan dan tuntutan untuk selalu ‘terhubung’, dr. Andreas menyoroti pentingnya waktu sendiri, sunyi yang tidak kosong, tapi justru menyembuhkan.

Sepi dan ramai adalah dua kutub yang perlu ditemukan titik seimbangnya dalam hidup. Sama seperti mencuci piring, di mana kita harus menyisihkan sisa-sisa sebelumnya agar bisa digunakan kembali, hati yang luka pun harus dibersihkan bukan dilupakan, melainkan dirawat dengan pelan-pelan.

Buku ini tidak menawarkan resep instan untuk sembuh dari duka, melainkan mengajak kita duduk sejenak, memegang perasaan itu, dan mengizinkan diri untuk mengalaminya.

Seperti mencuci piring, pekerjaan sederhana namun reflektif. Kita diajak memahami bahwa membersihkan sisa rasa pun butuh kesadaran, kesabaran, dan kelembutan. Karena duka, jika dijalani dengan utuh, bisa menjadi jalan pulang paling manusiawi untuk kembali hidup.

Bagi kamu yang pernah mengalami kedukaan dalam hidup, buku ini mungkin akan sangat cocok dan bisa menjadi teman jika sampai saat ini piring kotor mu masih belum bersih. Jangan biarkan duka itu terus menumpuk seperti halnya piring kotor yang tidak segera dicuci, maka dari itu, cucilah segera!

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ruslan Abdul Munir