'The Comfort Book' adalah judul buku ketiga dari karya penulis Matt Haig yang saya baca. Setelah sebelumnya dibikin gagal move on dengan novel The Midnight Library dan buku self help Reason to Stay Alive, buku yang satu ini kembali membuat saya merenung cukup lama tentang kehidupan.
Sebagaimana judulnya, The Comfort Book benar-benar buku yang vibes-nya bikin nyaman. Buku self help seperti ini sebenarnya menjadi semacam antitesis dari buku self improvement Barat yang kebanyakan berisi anjuran tentang improve skill, belajar hal baru, atau ngejar passion.
Alih-alih menasihati buat jadi manusia yang ambis banget tentang kehidupan, Matt Haig justru memberikan penghiburan yang rasanya amat menenangkan.
Bahwa nggak apa-apa kok kalau sesekali kita memilih buat menjalani slow living karena merasa lagi nggak baik-baik aja. Tapi bukan berarti mager dan pasif, ya.
Hal ini lebih mirip pendekatan tentang bagaimana menerapkan mindfulness dalam hidup yang kita jalani. Belajar menerapkan sikap stoik terhadap sesuatu yang tidak bisa kita kendalikan.
Selain itu, ada banyak penekanan tentang sikap menghargai kehidupan dan dunia nyata yang saat ini tengah kita jalani. Bukan mengkhawatirkan hari esok, atau menyesali hari kemarin.
Saat membaca novel The Midnight Library beberapa tahun silam, jujur saja, novel itu adalah salah satu novel yang banyak mengubah cara pandang diri saya pribadi tentang memaknai takdir.
Lalu lewat buku ini, seperti diingatkan kembali tentang apa yang terjadi dibalik layar dari suksesnya novel The Midnight Library itu.
Bahwa karya terbaik Matthaig tersebut tercipta karena dia sendiri pernah berjuang melawan badai depresi. Hal itu beberapa kali ia tegaskan dalam narasi-narasi pendek di buku ini. Sebagaimana yang diungkap Matt Haig dalam kutipan berikut.
"Saya tidak menyadari ketika itu bahwa ada sesuatu yang lebih besar ketimbang depresi itu, dan itu adalah waktu. Waktu membongkar dusta-dusta yang diceritakan oleh depresi. Waktu menunjukkan kepada saya berbagai hal yang dibayang-bayangkan oleh depresi hanyalah semu, dan bukan nubuat". (Halaman 39)
Selain tentang depresi, kutipan lain yang saya garisbawahi adalah kutipan tulisan berjudul 'Nyeri Masa Pertumbuhan' berikut.
"Ketika segala sesuatu berjalan baik, kita cenderung tidak bertumbuh. Karena untuk bertumbuh kita membutuhkan perubahan, karena pertumbuhan adalah perubahan." (Halaman 241)
Kutipan di atas seolah menjadi pengingat bahwa ketika kita berhadapan dengan masalah yang terasa berat, sejatinya itu adalah momen untuk bertumbuh. Segala hal yang bertumbuh tentu tak bisa lepas dari rasa sakit dan beban yang mesti ditanggung. Lalu kata Matt Haig, "mustahil kita tumbuh di dunia ini tanpa perjuangan".
Secara umum, buku ini benar-benar sesuai dengan judulnya. Tipikal buku yang akan membuat pembacanya merasa nyaman. Apalagi jika dibaca saat kita sedang cemas, butuh dukungan, merasa terpuruk karena penyesalan, atau khawatir tentang masa depan.
Minusnya cuma ada di masalah terjemahan yang nggak totalitas. Di beberapa bagian, saya menemukan dialog-dialog yang santai dan tidak baku. Penggunaan kalimatnya terasa pas, bahasanya mengalir, seperti ditulis oleh penulis lokal. Namun di beberapa bagian lain, justru terbaca sangat kaku khas buku terjemahan yang luput dari proses penyuntingan.
Namun, terlepas dari hal tersebut, buku ini cukup menarik. Cocok untuk dijadikan koleksi pribadi sebagai pengingat harian, atau dijadikan hadiah yang berkesan untuk orang-orang terdekat.
Jadi, bagi kamu yang saat ini tertarik untuk membaca buku self-help yang bisa menenangkan kegelisahan tentang banyak hal, 'The Comfort Book' karya Matt Haig ini wajib banget buat masuk list bacaan berikutnya. Selamat membaca!
Baca Juga
-
Ironi Kasus Keracunan Massal: Ketika Petinggi Badan Gizi Nasional Bukan Ahlinya
-
Harga Buku Mahal, Literasi Kian Tertinggal: Alasan Pajak Buku Perlu Subsidi
-
Public Speaking yang Gagal, Blunder yang Fatal: Menyoal Lidah Para Pejabat
-
Headline, Hoaks, dan Pengalihan Isu: Potret Demokrasi tanpa Literasi
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Artikel Terkait
-
Ulasan Buku Ada tapi Tak Dianggap, Sebuah Pelukan untuk Jiwa yang Terluka
-
Persaingan Seru Zenitendo vs. Tatarimedo di Novel Toko Jajanan Ajaib Zenitendo 7
-
This Is Me Letting You Go: Buku Mengajarkan Cara Melepaskan dengan Tenang
-
Reading Slump: Saat Buku Favorit Tak Lagi Menggugah Selera Baca
-
Cara Bijak Mengatasi Rasa Iri dan Cemas Lewat Buku The Art of Stoicism
Ulasan
-
Ulasan Novel Oregades: Pilihan Pembunuh Bayaran, Bertarung atau Mati
-
Dari Utas viral, Film Dia Bukan Ibu Buktikan Horor Nggak Lagi Murahan
-
Review The Long Walk: Film Distopia yang Brutal, Suram, dan Emosional
-
Menyikapi Gambaran Orientasi Seksualitas di Ruang Religius dalam Film Wahyu
-
Review Film Janji Senja: Perjuangan Gadis Desa Jadi Prajurit TNI!
Terkini
-
CRSL Day 2 Pecah! Ribuan Penonton Padati Lapangan Kenari Sejak Siang
-
Aborsi Jadi Faktor Pemberat, Vonis 9 Tahun Dijatuhkan pada Vadel Badjideh
-
Bukan Kali Pertama: Kilang Minyak Dumai Kembali Terbakar
-
Ronde Keempat Kualifikasi dan Waktunya Pembuktian Secara Nyata bagi "Tim Kepelatihan Terbaik"
-
Wajah Babak Belur Sepulang Ospek Pecinta Alam, Orang Tua Murka