CERPEN: Perjalanan ke Kota Terakhir

Bimo Aria Fundrika | Gita Fetty Utami
CERPEN: Perjalanan ke Kota Terakhir
Ilustrasi Perjalanan ke Kota Terakhir (Nano Banana/Gemini AI)

Badai pasir!”

Teriakan Arroyo memecah udara. Aku, Roan, Pine, dan Gusta serempak menoleh ke utara.

Awan hitam berputar liar, menggulung tanah dan langit sekaligus, melaju cepat ke arah kami.

Tenda masih lima ratus meter di barat, terlalu jauh untuk dikejar, terlalu dekat untuk diabaikan.

“Berkumpul! Jongkok rapat!” suara Pine tegas, nyaris menenggelamkan deru angin.

Kami terseret panik, melingkar, merendahkan tubuh. Lengan terangkat, menutup wajah.

Dunia seketika menyempit. Hanya desau pasir dan napas kami sendiri.

“Roan, kacamatamu!” teriakku.

Bocah kurus di sisiku itu sudah seperti adik selama perjalanan ini.

Ia tersentak. Tangan gemetar merogoh saku jaket. Detik berikutnya, kacamata ski menempel di wajahnya, dan badai menerjang.

Pasir dan debu menghantam, menusuk mata, memenuhi paru-paru. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.

Semoga anggota rombongan lain sudah berlindung. Semoga Noel, si kecil itu, tertidur lelap di dalam tenda. Dan semoga kami cukup kuat untuk bertahan.

Di tengah amukan alam, yang tersisa hanyalah satu naluri paling purba: bertahan hidup.

Perang maha dahsyat itu tak sekadar meruntuhkan kota. Ia memusnahkan peradaban. Tak ada negara yang tersisa, tak ada bendera yang masih berkibar. Dunia runtuh bersamaan dengan harapan manusia.

Kami yang selamat, termasuk aku, mewarisi penyakit, kelaparan, dan ketakutan yang tak pernah tidur.

Hidup bergantung pada sisa-sisa. Bangkai manusia tergeletak di jalan, membusuk tanpa nama. Banyak yang memilih mengakhiri hidup, menyerah sebelum lapar membunuh mereka.

Kini aku mengerti, yang paling mematikan bukan perang itu sendiri, melainkan ketergantungan kami.

Sebelum semuanya runtuh, dunia hidup nyaman dalam pelukan teknologi. Segalanya instan. Segalanya mudah. Dan ketika Perang Besar meletus, para pemimpin mengerahkan seluruh kecanggihan itu, sampai tak ada yang tersisa selain puing dan abu. Kami yang membayar harganya.

Di tengah reruntuhan, kabar itu menyebar seperti bisikan terlarang. Ada sebuah kota jauh, sangat jauh, yang konon bertahan. Kota tanpa kelaparan. Kota tanpa ketakutan.

Aku percaya. Atau setidaknya, aku memilih percaya. Aku ingin hidup lebih lama. Bekerja lagi. Berkeluarga. Menjadi tua di tempat yang layak, lalu mati dengan tenang. Aku harus ke sana.

Aku bergabung dengan mereka yang memiliki mimpi serupa. Kami meninggalkan tanah asal tanpa menoleh. Tak ada lagi yang bisa ditinggalkan.

Dunia kembali ke zaman purba. Tanpa mesin. Tanpa listrik. Laut kami seberangi dengan layar rapuh. Ribuan kilometer kami tempuh dengan kaki yang melepuh. Setiap langkah adalah taruhan hidup.

Keputusasaan menyelinap perlahan. Penyakit menjalar. Tak ada rumah sakit. Tak ada dokter. Hanya ramuan seadanya dan doa yang putus asa. Lima orang mati di perjalanan. Kami menguburnya di tanah asing, tanpa nisan.

Lapar membuat kami buas. Kata-kata berubah jadi senjata. Pertengkaran meledak. Rombongan pecah. Tujuh orang pergi, atau melarikan diri. Kami tersisa sembilan.

Kini kami menembus gurun. Hamparan pasir tak berujung. Matahari membakar siang, malam membekukan tulang. Kata orang, gurun adalah gerbang menuju kota terakhir.

Tapi gurun juga tempat di mana manusia hilang tanpa jejak.

“Arimbi! Tahan tubuh Gusta!”

Suara Pine mengiris lamunanku. Aku tersentak, refleks menangkap tubuh Gusta yang nyaris roboh. Di depan kami, pasir bergetar, angin mulai menderu.

Pasir masih menggulung di sekeliling kami, menderu seperti makhluk hidup, lalu perlahan menjauh, mencari mangsa lain. Gusta ambruk.

Napasnya terpotong-potong. Dadanya naik turun tak beraturan. Kami saling berpandangan, tak satu pun berani bicara.

“Jangan-jangan asmanya kumat…” suara Arroyo nyaris hilang tertelan angin.

“Gusta! Gusta!” Pine berlutut, memanggil-manggil dengan suara pecah.

Keteguhan yang biasa ia miliki runtuh seketika. Di hadapannya tergeletak orang yang paling ia cintai.

Roan dan aku bergerak tanpa aba-aba. Roan memangku kepala Gusta yang berat dan lemas. Aku membuka masker, menuang sisa air dari kantong kulitku, membasuh wajahnya.

Air itu terlalu berharga untuk disia-siakan, dan mungkin inilah taruhannya.

Detik berlalu seperti siksaan.

Lalu dada Gusta terangkat lebih dalam. Batuk keras meledak dari mulutnya. Matanya terbuka setengah.

Pine terisak, buru-buru menyeka air mata. Kami semua menghembuskan napas yang bahkan tak kami sadari sejak kapan tertahan.

Kami bertahan sebentar, memastikan badai benar-benar menjauh. Langit kembali pucat. Sunyi yang tersisa justru lebih mengerikan.

“Kita kembali ke kemah,” kata Arroyo akhirnya. Suaranya lelah. Terlalu lelah.

“Oase?” Roan bertanya lirih, seolah berharap masih ada kabar baik hari ini.

“Nanti,” jawab Arroyo singkat. “Yang penting Gusta selamat. Kita cek yang lain.”

Kami berjalan tertatih. Setiap langkah terasa berat, seakan pasir menahan kaki kami agar tak maju.

Lalu kami melihatnya.

Kemah kami lenyap. Rata dengan pasir. Tiang-tiang patah. Batu-batu berserakan, seolah dilemparkan dari langit.

Jantungku berhenti berdetak.

“Tidak! Noel! Bintu! Bian! Arul!” Pine menjerit, berlari mendahului kami.

Aku membeku. Arroyo dan Roan mengamuk, menarik terpal yang menutup gundukan-gundukan tak bernama.

Aku berlutut di hadapan tubuh kecil Noel. Di sampingnya, Bintu, ibunya, terbaring kaku. Bian dan Arul saling memeluk, tak terpisahkan bahkan oleh kematian.

Pasir masih menempel di wajah mereka. Dingin. Tak bernapas.

Kami berlima jatuh dalam tangis yang sunyi. Tak ada kata-kata. Tak ada doa yang cukup.

Di tengah gurun yang tak berujung, kehilangan ini terasa seperti hukuman terakhir.

Dan harapan itu, apakah masih ada? Atau telah terkubur bersama mereka?

Cilacap, 241225

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak