CERPEN: Pohon dan Burung Raksasa

Sekar Anindyah Lamase | Gita Fetty Utami
CERPEN: Pohon dan Burung Raksasa
Ilustrasi Pohon dan Burung Raksasa (Nano Banana/Gemini AI)

Kata Lik Parmi, pohon yang tumbuh di taman SMA Nusa Bangsa itu pohon keramat. 

"Kamu kalo jam istirahat, jangan dekat-dekat pohon yang cabang-cabangnya tumbuh mirip sayap itu, ya!" tegas adik perempuan ayahku itu, dengan mata melotot. 

"Kenapa?"

"Pohon itu bisa bikin kamu masuk ke dunia lain, tahu!" 

"Masa?" 

Lik Parmi langsung menjitak kepalaku. Pokoknya aku harus menuruti perintahnya. Sebab dia sebagai alumni, paham benar kisah mistis almamaternya itu. Sedangkan aku anak kemarin sore yang baru beranjak SMA. Dih! 

Maafkan keponakanmu ini, Lik. Berkat peringatan dini darimu rasa penasaranku malah terpantik. Sebab aku serupa kucing yang punya rasa ingin tahu amat besar. Jadi, sejak hari pertama MOS, aku telah menaruh perhatian khusus akan keberadaan pohon keramat itu. Apa iya, dia bisa bikin kita ke dunia lain?

Kayak di cerita-cerita fantasi, dong! 

"Dek, ngapain kamu dari tadi berdiri di situ? Teman-temanmu ke kantin itu, lho!" Suara Prana, kakak kelasku yang good looking membuyarkan konsentrasiku. 

"Saya sedang mengagumi tumbuhan di taman sekolah ini, Mas," sahutku sewajar mungkin. Eh, cowok itu malah tertawa. 

"Halah, cuman tanaman Asoka, Bougenville, sama Mawar saja, kok. Atau jangan-jangan kamu mengagumi rumput jepangnya?" komentarnya sambil menyeringai. Mengingatkan aku pada seringaian tokoh serigala di cerita Tiga Babi Kecil. Ampun. 

"Bukan, Mas. Tapi itu," tunjukku ke sebuah pohon yang berdiri menyendiri di sisi taman bagian luar, dekat dengan koridor kelas. 

Seringai di mulut cowok itu langsung lenyap. Dia menatapku serius. "Seleramu boleh juga. Tapi kusarankan mending jangan sengaja dekat-dekat, ya," tukasnya.

Aku mengangkat alis. Prana menghela napas, menyadari aku tidak terlihat takut. "Banyak yang pernah kesurupan di dekat pohon itu." 

What? Kesurupan?

"Intan, jangan lupa sore nanti wajib hadir. Kutandai namamu." Prana membelokkan percakapan. Usai mengatakan kalimat terakhir, dengan gaya sok cool dia membalikkan badan lalu berlalu begitu saja. Cowok aneh. 

"Intan, ayo masuk. Tuh, bel udah bunyi!" Suara cempreng Srimulati memutus arus pikiranku. Baiklah, pohon itu bisa menunggu.

 **

Sore harinya aku kembali ke sekolah, bersama puluhan murid baru sepertiku. Kami duduk di lapangan basket. Rangkaian acara orientasi sekolah kali ini adalah, pengenalan sejarah SMA Nusa Bangsa Cilacap. Hal-hal umum seperti: awal mula berdiri, siapa kepala sekolah pertama, dan sebagainya. 

Aku mengangkat tangan.

 "Ya, dek?" tanya salah satu panitia.

"Kalau sejarah pohon di taman itu, bagaimana, Kak?" 

Mereka saling berpandangan. Prana yang berdiri di barisan panitia, terlihat gemas mendengar pertanyaanku. 

"Kata Pak Tarno, pesuruh sekolah ini, pohon itu ditanam dari awal sebagai peneduh, Dek," sahut Mita, kakak kelas berkacamata yang jadi pembawa acara. 

Teman-teman baruku manggut-manggut. Nah, ternyata bukan cuma aku yang penasaran. Sayangnya, tak ada yang mau bertanya selain aku. 

"Tanya lagi, Kak," ujarku kembali mengangkat tangan. "Itu Pak Tarno memang iseng membentuk cabangnya sehingga mirip sayap, atau bagaimana?"

Pak Tarno kebetulan lewat sambil mengangkut dua dus air mineral untuk peserta, ketika mendengar pertanyaanku barusan. Ia meletakkan dus itu dekat panitia, lalu mencari mataku.

"Nggak, Dek. Saya nggak pernah mengutak-atik pohon itu. Asli tumbuh begitu," sangkalnya. 

"Oke, pertanyaannya sudah cukup, ya? Sekarang kita lanjut mengerjakan tugas," tukas Mita. 

Panitia MOS segera melanjutkan acara. Apa hanya prasangkaku saja, ya? Mereka terkesan menghindari sorotan pada pohon tua itu. Aku mengangkat bahu. Terserahlah. 

Kami dibagi menjadi beberapa kelompok. Tugas tiap kelompok adalah membuat sketsa bangunan atau suasana sekolah. Kelompokku terdiri dari Srimulati, Ari Angkara, Ratno Barno, dan Joko Wir. Kami kebagian area green house, hingga taman sekolah. Itu artinya, posisi kami dekat dengan pohon keramat. 

Joko Wir tampak komat-kamit membaca sesuatu, begitu pula Ari Angkara. Ratno Barno cuek saja. Sedangkan Srimulati pilih menghindari pohon. Aku menawarkan diri menggambar detail pohon tersebut dari dekat.

Tak terjadi apa-apa. Ah, berarti hanya mitos lokal saja ini. Lik Parmi terlalu membesar-besarkan tahayul. Oh, kenapa aku tidak berswafoto di depan pohon ini saja? Biar jadi bukti untuk bibiku nanti. 

Aku lalu mengambil pose tepat di tengah pohon, di antara bentuk sayap alaminya. Kemudian mengangkat kamera ponselku, siap jepret.

"Intan! Kamu ngapain?" teriakan teman-temanku terdengar bersamaan dengan kilatan cahaya yang keluar dari pohon. Cahaya itu membungkusku. 

Aku terlampau kaget untuk memekik. Tubuhku seolah ditarik ke lorong gelap yang panjang. Lalu tahu-tahu aku muncul di tempat yang berbeda. 

Di depanku kini terdapat rawa luas. Pohon tempatku berswafoto berubah jadi pohon kepuh. Di rawa tersebut kulihat sejumlah pohon sejenis nipah. Suasana mendung. Aku celingukan. 

"Hei, bocah wadon! Kowe sapa? Minggir sekang kono! Apa kowe gelem dipangan manuk Beri?" (Hei, anak perempuan! Kamu siapa? Pergi dari situ! Apa kamu mau dimakan burung Beri?)

Aku terlongong. Seorang lelaki kurus, memakai ikat kepala, mengacung-acungkan telunjuk padaku. Mengapa dia menyuruh aku menyingkir? Dan, ini di mana? 

Tiba-tiba terdengar suara raungan dari udara. Refleks aku mendongak. Ya Tuhan, apakah itu burung rajawali seperti  di cerita rakyat? Kelihatannya burung itu mau menukik. 

"Hei! Domong minggir!" (Hei! Dibilang menyingkir!). 

Aku lemas, terduduk di tanah. Laki-laki tadi sudah lari meninggalkanku. Hiks, Lik Parmi, maafkan aku yang bandel, ya? Aku menutup mata, enggan menyaksikan peristiwa seram yang bakal menghabisiku.

Lima detik berlalu, aku masih hidup. Malah terdengar seruan lain dari rawa. Aku membuka mata, dan terbelalak. 

Seorang laki-laki asing muncul dari salah satu pohon nipah, dan mengacungkan sebatang kayu ke atas. Itu bukan kayu biasa, ada yang berkilau di ujungnya, dan tepat menusuk dada si burung besar. 

Burung itu batal menukik. Dia berusaha mengepakkan sayap, kembali ke angkasa. Noda merah melebar di dadanya, dan mengucur deras. Tak lama burung itu oleng, lalu jatuh entah di sebelah mana.

"Alhamdulillah, maturnuwun Gusti Allah." Ucapan itu kudengar dari mulut lelaki tersebut.

Tiba-tiba penduduk bermunculan dari sekeliling rawa. Mereka mengelu-elukan si lelaki. 

"Hore! Manuk Beri mati! Saiki aman!"

"Maturnuwun, Den Santri! Maturnuwun!"

Seruan-seruan mereka membuatku berpikir keras, mengingat-ingat sesuatu yang tak asing. Manuk Beri, Den Santri? Bukankah itu nama-nama yang ada di legenda Cilacap zaman dulu? Berarti Lik Parmi benar. Pohon keramat di sekolahku adalah portal dunia lain. Aku kini berada di wilayah Donan. 

Aku menatap lekat-lekat lelaki yang disapa Den Santri itu. Dia menyadari keberadaanku lalu balas memandangku. Keriuhan penduduk turut mereda. Kini semua mata terlempar ke arahku. Mulut-mulut mulai kasak-kusuk.

"Bagaimana caraku pulang lagi ke sekolah? Den Santri, Santri Udik, tolong aku!" raungku panik. 

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak