Tanah lumpur yang mulai dipadati oleh beton-beton. Suara burung yang tak lagi ramai didengar. Rindang pohon beralih menjulangnya bangunan. Semua itu berubah kala fokus pembangunan di desa berubah. Urbanisasi besar-besaran meralakan tanah bercocok tanam digantikan dengan pabrik-pabrik besar. Kondisi kota yang tak lagi bersahabat mencuat kasus bunuh diri dan tekanan di seluk-beluk kehidupannya.
Pembangunan harus digalakan untuk menuju penciptaan produk berskala ekspor, begitulah negeri ini agar bisa unjuk gigi dengan negara-negar besar di dunia. Andi mendengarkan seminar di kampusnya kala seorang ekonom menyampaikan gagasannya untuk negerinya agar tak selalu ditunjuk sebagai negara “berkembang.”
Rindang hijau nan permai suatu saat hanya jadi mimpi dan cerita cantik di novel-novel, pikir Andi. Pohon jati menjulang tinggi hanya sebatas cerita di negeri yang katanya kaya akan pohon dan oksigen. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apakah kita terbawa ilusi negara-negara kaya agar bisa diserap sumber dayanya melaui alasan-alasan tertentu?
Kondisi ruangan pepat rasa ingin tahu mahasiswa atas situasi ekonomi baru-baru ini. Ekonomi jadi dasar atas kehidupan manusia. Pikir Andi tak bisa diganggu gugat dan mengelah. Beberapa mahasiswa bertanya dengan begitu semangat sampai-sampai terlihat urat leher dan matanya menunjukan rasa ingin tahu.
Indonesia banyak sekali orang cerdas. Tapi mengapa selalu dikatakan tertinggal. Mungkin saja, ilmu hanya ditujukan untuk ilmu jadi kadang paradoks dan tak solutif ketika dibenturkan dengan kondisi kompleks hari ini. Andi mengamati perdebatan yang sedang terjadi seminar pagi itu.
Didengarnya lamat-lamat, “Pembangunan yang seperti apa? Instruksi investasi sebesar-besarnya kah? Padahal negeri ini sudah cukup untuk masalah investasi. Namun kebobrokan sistemlah yang membuat negeri ini sering haus dan penuh nafsu investasi.” Detik jam yang menunjukan pukul sembilan pagi situasi hangat dan khalayak penuh dengan antusias.
Pemateri ingin sekali menjawab pertanyaan, tetapi moderator unjuk gigi dan menimpali sedikit sebagai pengantar sebelum pembicara berbicara. “Investasi penting bagi negeri kita, untuk mendorong tingkat pembangunan seperti infrastrukstur fisik dan sosial. Tanpa itu semua kita tidak bisa mengolah dan mendapatkan laba bagi kemakmuran negara.” Belasan teori disampaikan oleh pembicara agar penanya berpikir ulang atas pertanyaan yang disampaikan sebelumnya.
Samping kanan dan kiri Andi begitu menarik pasalnya coretan kertasnya penuh dijejali kata-kata hasil perdebatan antara pembicara dan penannya. Pikirnya dengan menulis dan membaca kembali bisa mengingatkan lemahnya daya ingat, bisa jadi sumber pengatahun baru.
Kaya akan sumber daya alam, juga tak malu bisa ditanyai kekayaan budaya jadi alasan utama negeri ini bukan negeri abal-abal. Ibarat seorang yang cantik dan gagah, negari ini banyak sekali mata mengincar untuk mendapatkannya. Tanah subur nan gembur, ditanami apapun bisa tumbuh buah manis, negeri ini seperti gulali manis, banyak semut yang mendekat.
Mulut Andi terasa kecut, rasanya ingin sekali menghisap sebatang rokok. Andi mengajak temannya untuk menaminya keluar ruangan, tetapi temannya menolak karena masih fokus dan rasa penasaran yang belum terbayar. Dijulurkan tangannya kebawah dan membungkukan punggungnya yang sedikit bengkok ke kiri itu untuk pertanda kesopanan untuk keluar ruangan. Diambilah sebungkus rokok dan pemantik api di genggamnya.
Dilihatnya pemandangan seperti miniatur kota, karena lokasi seminar berada di lantai tiga belas. Angin semilir yang segar menyentuh leher Andi. Diamatinya sekeliling kota penuh dengan tanda tanya di pikirannya. Suara klakson mobil yang tak sabar karena tak kuat di kepung ribuan mobil memadati jalan menggerakan lehernya melongok ke bawah.
“Bodoh!” makian keras terlihat dari mimik muka dan gerak bibir supir kala spionnya pecah di tabrak pesepeda yang bergerak begitu cepat. Sungguh pelik, panas dan padat kondisi kota siang itu. Segumpal asap keluar dari mulut Andi, merangsang otaknya dan menenangkan hatinya karena terlalu candu pada rokok.
Pemuda bergaya rambut mullet menghampiri Andi sembari menemaninya merokok. Andi mulai berbincang-bincang dengan pemuda itu, mengapa dia mengikuti seminar sampai arah matahari hampir tepat diatas kepala. Rasa ingin tahu. Begitulah Andi menjawab. Pemuda itu mengeluarkan sebatang rokok agar cair suasana siang itu.
“Perbincangan tadi lebih pada teoritisnya saja, kadang lupa kondisi hari ini, bagaiman cukong dan rente gemuk karena hasil nilai lebih dari setiap proyek pembangunan yang ada.” Pemuda itu menggerutu dan membuka perbincangan kecil. Andi nampak penasaran dan juga melontarkan pendapat.
“Bisa jadi seperti itu, korupsi salah satu masalahnya.” Celetuk Andi dengan melirik gadis yang keluar dari toilet dan nampak sedikit bercak basah di rok yang ia kenakan. Kebetulan Andi masih fokus pada pelemahaman KPK yang baru kemarin pagi ia berdemo di depan kantor perwakilan rakyat.
“KPK hari ini dilemahkan, lembaga penumpas korupsi sudah ompong giginya. Harapan pada penumpasan korupsi sirna.” Sambil mengedip-ngedipkan kelompak mata pemuda yang lebar sebelah itu. Andi melihat wajahnya, dengan bentukan persegi panjang dan sedikit kumis dan jangkut berbincang dengan terbata-bata.
Korupsi di negerinya sudah mengakar hingga mampu mempengaruhi regulasi-regulasi strategis di tubuh pemerintahan. Wibawa pemerintah sudah luntur kala menegakan hukum sering tebang pilih. Masyarakat kudisan dan kadang susah untuk hidup sering jadi korban dibanding mereka yang selalu naik berat badannya padahal diberikan mandat kepercayaan pada rakyat.
KPK sudah lemah ketika diketuk peraturan baru sehingga posisi KPK berada di bawah negara dan menjadi bagian dari sipil negara. Independensi tidak lagi gagah. Aksi besar-besaran mahasiswa sudah tak lagi segencar dengan demonstrasi pada era sebelumnya. Andi melontarkan pertanyaan kepada pemuda terkait problem tersebut.
Berpikir lumayan keras, pemuda itu mencoba mengambil kosa kata agar dapat dipahami Andi dengan baik. “Sebenarnya problema hari ini lebih kepada fungsi civil society yang lemah.” Bila saja masyarakat mau bergabung dan menyuarakan tuntutan secara serentak, maka bisa jadi memiliki pengaruh yang lumayan kuat. Tapi nampaknya masyarakat sudah terkukungkung untuk masalah individunya masing-masing, sehingga belum mau terlibat.”
Kondisi sekitar luar ruangan mulai terasa panas. Keringat mulai membasahi dahi dan punggung Andi, sehingga nampak bercak basah pada baju biru yang ia kenakan. Berbincang masalah bangsa memang tak akan pernah ada habisnya. Dikarenakan nalar untuk kritis masih tetap terjaga. Bila saja sudah tiada, berarti apatisme dalam diri sudah muncul dan riskan membuat penguasa semakin tersenyum lebar. Andi dan pemuda itu, kembali masuk ruangan agar merasakan AC yang membuat tubuhnya menjadi segar kembali.