My Sweet London Pass

Hernawan | Dream
My Sweet London Pass
Ilustrasi London Tower Bridge. (Pixabay/Free-Photos)

Yes... Akhirnya aku akan pergi ke London. Iya betul Saudara. LONDON!

Menurutmu aku norak ya? Mungkin bagi banyak orang pergi ke London adalah hal biasa saja yang tidak perlu diributkan. Tapi bagiku itu adalah hal luar biasa.

Dimulai ketika Sachi, sahabatku dari Taman kanak- kanak harus mengikuti orang tuanya pindah ke London sejak kelas dua SMA. Dan Sejak saat itu sampai lima tahun ini, aku dan Sachi hanya berkomunikasi melalui telepon, video call, email dan sejenisnya.

Setiap kali bertelepon, Sachi acap kali menceritakan tentang tempat-tempat di London. Tidak jarang Sachi mengirim foto juga video. Lambat laun aku pun jatuh hati pada tempat- tempat yang ditunjukkan Sachi. Bahkan saking seringnya aku  mengikuti  virtual tour melalui video call bersama Sachi, Aku bisa menggambarkan situasi di London Tower, Biangala raksasa London Eye, kapal yang melewati sungai Thames, Atraksi seniman di jalanan Piccadilly Circus bahkan pergantian penjaga istana Buckingham. Semuanya kurekam di kepalaku seolah aku pernah ke sana.

Aku  tidak menyangka akan mendapat kesempatan untuk benar-benar mendatangi tanah Ratu Elizabeth itu. Sebuah keberuntungan yang kudapat dari hobi menulis. Aku mengikuti kompetisi menulis bertema ‘Ayo ke London’ yang diadakan oleh sebuah website traveling dengan hadiah tiket pulang pergi London. Dan demi hadiah itu. aku berusaha keras membuat tulisan yang bagus. Kutuliskan segala hal yang kuketahui tentang London dengan sedetail mungkin plus antusiasmeku yang…well mungkin sedikit over dosis.

Ternyata usaha tidak mengkhianati hasil. Singkat kata aku menjadi salah satu pemenang dan berhak atas tiket Jakarta-London pulang pergi, dengan status open date, yang artinya tiket itu bisa kupakai kapan saja.

Ketika kukabarkan berita gembira ini kepada Sachi, ia berjingkrak- jingkrak dan langsung nyerocos panjang lebar tentang berbagai rencana ia akan menjadi tour guide ku.

“Nanti kau mau mulai dari mana Tita?” tanya Sachi kepadaku.

“Tidak masalah dari mana saja Sachi aku ingin melihat sebanyak- banyaknya,” jawabku yang belakangan ternyata sebanyak- banyaknya itu terhalang oleh batasan waktu, sebab cuti kerjaku hanya diizinkan selama enam hari.

Tapi tak mengapa, ku rasa cukup banyak tempat yang bisa ku datangi. Aku memilih untuk berangkat pada Bulan Juni.  Aku juga membeli London Pass, semacam tiket terusan untuk masuk ke beberapa tempat wisata terkenal di London.

 Sampai dua hari menjelang tanggal aku berangkat, Sachi memberiku kabar buruk.

“Maaf Tita, aku sepertinya tidak bisa menemanimu nanti,” ucapnya dengan suara yang terdengar berbeda. “Aku terkena cacar air Tita,” katanya lagi.

Aku terdiam karena masih kaget.

“Kamu jangan marah ya Tita,” ucap Sachi yang membuatku merasa tidak enak.

“Eh, tentu saja aku tidak marah Sachi, kondisimu bagaimana? Kasihan sekali kau,” Kataku benar- benar kasihan membayangkan Sachi tersiksa oleh sakitnya dan harus ditambahi rasa tidak enak hati karena gagal menemaniku nanti.

“Aku baik- baik saja Tita, tapi dokter melarangku ke mana- mana, Lagi pula cacar air ini kan mudah menular, aku tak ingin menjadi penyebar virus, aku kan bukan villain  ha ha” ujarnya mencoba bercanda.

“ Ha ha tidak apa-apa Tita, kau tidak akan pernah jadi penjahat, kau terlalu baik hati,” kataku lagi menghiburnya. Tapi itu benar, Sachi adalah jenis orang terbaik yang bisa kau jadikan sahabat. Ia rendah hati, sabar dan juga setia kawan. Ia bahkan tidak pelit. Kekurangannya hanya satu, Sachi sedikit pelupa.

“Jangan khawatirkan aku Sachi, aku akan baik- baik saja nanti, lagi pula aku bisa sewaktu- waktu menelponmu kalau tiba- tiba tersesat kan?” tambahku lagi berusaha terdengar yakin.

“Jangan konyol Tita, aku tak akan membiarkanmu keluyuran sendirian, aku sudah meminta Bagas  untuk menemanimu nanti,” ujar Sachi lagi.

“Bagas? Bagas itu siapa Sachi? Masa sih aku harus jalan-jalan dengan orang yang tak ku kenal?” tanyaku ragu.

“Bagas itu  anaknya Om Halim, teman baiknya Papa. Umurnya cuma dua tahun lebih tua dari kita, jadi nanti pasti kalian akan bisa akur, akhirnya” kata Sachi.

“Akhirnya? Sachi apa maksudmu? Apa ia aneh?” tanyaku curiga.

“Eh bukan begitu Tita, dia hanya tidak bisa langsung akrab dengan orang baru, tapi percaya deh, dia tidak jahat_ayolah Tita jangan curiga begitu,” kata Sachi.

“Oke-oke,” kataku akhirnya mengalah. Walau aku masih ragu.

Hari masih pagi ketika aku tiba di Heathrow Airport. Meskipun sudah puluhan kali menyaksikan aktivitas di Heathrow melalui YouTube, tetap saja ini terasa berbeda. Ini sangat nyata!

Semula Sachi memaksa agar aku menunggu saja di bandara dan dijemput oleh Bagas, tapi menurutku itu terlalu merepotkan orang lain yang belum pernah kutemui. Aku bersikeras tak mau dijemput di bandara dan sebagai gantinya Bagas akan menjemputku di stasiun Paddington.

Dengan menggunakan Oyster card, aku menaiki Heathrow Connect atau Tlf Rail. Aku memilih menggunakan Tlf Rail ini karena jauh lebih murah daripada jika menggunakan Heathrow Express, namun tidak serepot jika menggunakan kereta London underground. Aku tak ingin membuang banyak tenaga dengan naik turun tangga untuk berpindah- pindah stasiun.

Akhirnya aku sampai di Stasiun Paddington. Perasaanku langsung ceria saat  di Platform satu mataku menangkap patung beruang Paddington yang terbuat dari perunggu. Aku berfoto di situ. Lalu aku melangkah lagi menuju kursi legend.

Dengan tongkat selfie, aku berhasil berswafoto seolah sedang duduk di sebelah Mr.Paddington, lengkap dengan jaket biru dan topi merahnya. Tak bisa berlama-lama sebab aku bukan satu- satunya yang ingin berfoto di sini.

Aku masih berjalan- jalan kecil sambil berfoto, sampai baterai ponselku melemah dan oh tidak! Sekarang benar- benar mati!

Dan baru kusadari kalau Bagas yang katanya akan menjemputku belum menampakkan diri. Aku pun seketika merasa bodoh tak meminta foto  Bagas kepada Sachi. Semula kupikir tak akan sulit mengenali cowok Asia di antara orang-orang Eropa di sini. Ia pasti akan tampak menonjol. Walau di sini cukup banyak orang Asia yang kutemui, tadi tapi tak ada yang terlihat sedang menunggu seseorang.

Malah kalau aku tidak salah, sekitar beberapa menit lalu seorang cowok berambut pirang dengan mata biru kurasa sedang mengamatiku. Wajahnya lumayan tampan, tapi aku  ngeri membayangkan kalau- kalau cowok itu adalah tukang kuntit.

Aku menyesal tak bisa menyembunyikan kelakuanku yang seperti turis. Pasti ini karena aku berfoto- foto dengan berlebihan tadi.

Padahal pakaianku sudah mengikuti saran Sachi untuk berpakaian seperti warga London biasa dan aku juga tak menyeret-nyeret koper seperti pendatang.  Aku melihat ke segala arah mencoba menemukan Bagas. 

Sialan! Ke mana cowok itu. Aku pun tak dapat menghubungi Sachi untuk menanyakan perihal Bagas karena handphoneku masih off. Aku ingin mengisi baterai dan mencari colokan tapi aku kembali melihat cowok pirang tadi memperhatikan aku.

Aduh! Aku jadi agak takut tapi aku juga tak mau salah sangka. Siapa tahu ini hanya perasaanku saja. Kurasa aku harus memastikannya. Jadilah aku pura- pura tak perduli dan masuk ke Paddington Shop, hitung-hitung cuci mata sambil menunggu Bagas.

Wah berbagai pernak- pernik ada di situ. Mulai dari boneka lembut, cangkir enamel berlogo topi Paddington, sampai kotak uang berbentuk miniatur bus merah Paddington. semuanya menggemaskan dan lucu, sayang harganya tak lucu untuk dompetku. Jadi aku hanya melihat-lihat.

Aku melirik kaca toko. Sial! Cowok pirang  itu masih di situ mengamatiku. Astaga ke mana sih Bagas sialan itu? mengapa lama sekali?

Aku tak mungkin seterusnya di toko ini. Aku terpaksa keluar dan berjalan cepat menuju toilet. Tidak mungkin kan cowok itu akan megikuti aku ke toilet?

Aku melewatinya dan berjalan makin cepat. Entah bagaimana aku merasa dia masih melihatku. Punggungku terasa merinding seperti kalau ada yang mengawasi dari belakang.

Akhirnya aku selamat sampai di toilet. Aku berkaca dan kulihat tampangku berantakan.  Astaga ini benar- benar tak seperti bayanganku. Jalan-jalan yang kuimpikan bukan begini. Masa iya hari pertama sudah harus main petak umpet dengan cowok bule yang mungkin saja seorang psikopat. Sering kan ada cerita psikopat yang mengincar korban dari ras tertentu? Dari Asia misalnya.

Aku menepuk pipiku. Korban? Apa yang kupikirkan? Astaga benar-benar payah. Aku seperti paranoid. Kutarik napas pelan. Aku membuka ranselku dan menemukan powerbank miniku. Cepat-cepat kupasang kabel .

Kucoba menyisir rambut dan menepukkan spon bedak ke pipiku. Ajaib, perasaanku sedikit lebih baik.

Kurasa lima belas menit sudah cukup lama. Aku pun keluar perlahan sambil berusaha menelpon Sachi dan tetap melihat- lihat kalau-kalau Bagas  sudah datang.  Dan... Ya ampun cowok pirang tadi masih ada dan sekarang memandangiku dengan kesal.

Astaga sekarang dia berjalan ke arahku !

Aku pun panik dan secara refleks berbalik arah  berjalan setengah berlari. Aku berhenti ketika kupikir sudah cukup jauh. Napasku terengah- engah. Aku memegangi perutku yang terasa sakit akibat berjalan cepat. Kurasakan handphoneku bergetar di kantong. Aku melihat layar handphone dan langsung lega.

Sachi!

“Sachi..Di mana,” Aku baru saja akan mengomel ketika Sachi memotong kata- kataku.

“Tita, Bagas menelponku, dia menunggumu dari tadi,” Katanya terdengar sedikit marah.

“Apa? Bagas? Aku bahkan belum melihat temanmu itu,” kataku ikut jengkel. Bisa- bisanya cowok sialan itu mengarang cerita.

“Sepertinya lebih baik aku jalan- jalan sendiri daripada ditemani orang yang tidak menepati janji_dan berbohong,” kataku lagi dengan marah.

“Tita! Apa-apaan kau ini. Bagas tak mungkin berbohong, dia sudah di Paddington dari tadi, dia bahkan yakin sudah melihatmu,” tambah Sachi.

“Apa? Melihatku? Sachi tak satupun cowok bertampang Indonesia atau Asia yang terlihat mencariku,” teriakku nyaris frustasi. Kupikir Sachi akan marah. Tapi ternyata kudengar dia tertawa terbahak- bahak.

“Oh astaga Tita, maafkan aku, ha ha..ini salahku,” Katanya tanpa kumengerti maksudnya.

“Aku lupa bilang kalau  Papanya Bagas itu menikah dengan wanita asli London dan Bagas itu sama sekali tidak punya Indonesian Look. Dia bertampang sangat Inggris seperti mamanya .” tambah Sachi lagi.

"Apa? Jadi? Astaga... Jangan- jangan... Sachi, maksudmu Bagas ini? Apakah dia berambut pirang dan bermata biru?” tanyaku dengan perasaan tidak enak.

“Iya betul, itu aku,” itu bukan suara Sachi di telepon. Tapi…..

Aku berbalik pelan-pelan. Dan cowok pirang bernama Bagas ini tepat di depanku, menatap ke mataku dengan mata birunya. Tapi kali ini tidak membuatku takut. Karena tentu saja aku sudah tahu kalau dia adalah Bagas teman baik Sachi.

Walau aku masih merasa aneh melihat cowok yang tampak sangat Inggris tetapi berbahasa dan berlogat sebagaimana aku yang asli Indonesia. Ia tersenyum.

Dan Sumpah, senyum itu sungguh membuatku berdebar. Ya ampun ini pertama kalinya aku merasa sanggup menatap senyum seperti itu seharian. Aneh, beberapa menit lalu aku mencurigainya sebagai penguntit, psikopat dan penjahat. Astaga kalau kupikir- pikir itu cukup memalukan. Tapi syukurlah kurasa dia tidak tahu.

“ Jadi... mau pergi sekarang?” tanyanya mengejutkan aku.

“Eh iya, oke” kataku gugup. Aku kembali berbicara dengan Sachi sebentar di telepon untuk menutup pembicaraan, lalu kembali menatap Bagas.

“Jangan khawatir_aku bukan penjahat,” katanya dengan bibir yang seperti menahan senyum.

“Bagaimana kau tahu aku orang yang kau cari?” tanyaku.

“Sachi sudah memberiku fotomu,” jawabnya pendek yang langsung membuatku merasa bodoh.

Ya , tentu saja. Bagaimana lagi memangnya.

“Tapi tanpa foto itu pun akan mudah menemukanmu,” tambahnya.

“Aku tinggal mencari gadis Indonesia berambut lurus yang tampak kebingungan,” katanya lalu tertawa.

Sialan. Eh tapi aku tidak marah. Sejujurnya aku malah jadi menyukainya. Tampaknya ia punya selera humor .

“Sachi sudah memberi tahu aku semua rencana kalian, aku akan berusaha mengikuti rencana itu. Sachi juga sudah memesan London pass untukku,” katanya lagi. Aku tak tahu harus berkata apa. Hanya hatiku yang semakin berdebar- debar membayangkan akan berkeliling London dengan cowok tampan ini.

Oh My God ini seperti mendapat  tambahan bonus! Kalian ingin tahu kami kemana saja?

Tentu saja aku menggunakan London Pass ku untuk mendatangi tempat- tempat ikonik. Bigben, Wesminster Abbey, London Zoo dan lainnya.

Bagas mengajakku naik  City Cruises River Days yang membawa kami berkeliling dari Tower Bridge ke London Eye. Mengunjungi Kensington sampai Buckingham.

Kami menyempatkan diri menyaksikan kota London dari Shard, gedung tertinggi di Rropa yang berbentuk  seperti pecahan kaca.

Kami bahkan sempat sarapan di restoran yang ada di Sky Garden lantai tiga puluh lima Walkie Talkie Buidiing. Dari dinding kacanya yang tinggi, kau bisa melihat pemandangan luar biasa.

Bagas mengajakku naik turun gedung Royal Festival Hall hanya untuk mendengar suara nyanyian singing lift, dengan nada yang semakin tinggi saat naik dan sebaliknya. Kami berhenti ketika telingaku rasanya mulai berdenging dan juga karena beberapa pengunjung memandang kami seolah kami orang aneh. Sejujurnya itu memang aneh tapi membuat kami terpingkal- pingkal.

Aku takjub dengan banyaknya aneka makanan yang dijual di Borough Market. Tapi, Bagas lebih menakjubkan, apalagi saat ia dengan sabar membantuku memilih souvenir di Camden Market. Ah, sikapnya sungguh manis.

Perjalanan masih berlanjut, dan  aku tak ingin ini cepat selesai. Kurasa aku jatuh cinta pada London  dan mulai menyukai Bagas. Sachi benar, Bagas memang baik dan  jangan- jangan aku jatuh cinta padanya?

TAMAT

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak