Aku Sudah Tenang di Sini

Hernawan | Funcrev
Aku Sudah Tenang di Sini
Ilustrasi cerita. [Unsplash/Volkan Olmez]

"Kalau ada kembaliannya, jangan dibelanjakan!," teriak pria gembrot dari dalam rumah.

Kalau saja ada nominasi orang paling pelit di dunia, mungkin si botak ini bisa menjadi salah satu pemenangnya. Pria gendut itu sudah hampir seminggu ada di rumah kecil ku.

Tepat sepuluh hari setelah ayah meninggal, ibuku menikah lagi dengan si botak tua itu. Secepat itu, iya, secepat itu, dua-duanya mungkin sudah janjian sebelumnya, entahlah aku hanya numpang di rumah ini.

Hari ini jalanan Jakarta begitu padat, tidak kaget jika klakson di sana sini saling bersahutan ingin menjadi yang terdepan. Terik panas matahari begitu menyengat, tapi tidak ada sedikitpun warna biru di langit. Warnanya suram, hanya gumpalan-gumpalan hasil ego manusia yang tertumpuk menggantung menghiasinya.

Pintu rumah terbuka lebar, entah dimana orang-orang itu. Rasa kesal diperjalanan tadi ku lampiaskan dengan membanting tas kosong di atas kasur, cuma ada class meeting lalu pulang.

"Belikan rokok cepat, udah pait ini mulut," teriak pria bongsor dari celah pintu sambil menggedor-gedor.

Orang baru di rumah ini, benar-benar menyebalkan. Jika saja aku segede gaban, sudah ku remas pala botaknya itu. Sudah menjadi makanan sehari-hari selama tujuh hari terakhir dia disini. Jangankan menghidupi dengan layak, untuk membeli keperluan pembakaran asapnya itu pun selalu menggunakan uang jajan yang selama ini ku tabung saat ayah masih ada.

"Pakai uang kamu dulu, nanti ku ganti, cepat," bualnya sambil membentak.

Pernah satu waktu Ia membelinya dengan uangnya sendiri, saat hari pertama di rumah ini.

Sudah menjadi kebiasaan ku, menghabiskan uang sisa pembelian untuk membeli jajanan atau sekadar permen loli. Ku akui hal itu memang buruk, namun hukuman yang ku terima dari si botak itu benar-benar sudah tidak masuk akal. 

Uang seribu hasil kembalian membeli rokok itu berhasil membuat tanda spesial di kepalaku. Tanpa rasa bersalah sedikitpun Ia masih berusaha membela diri, di depan Ibu dan menjelaskan hal-hal yang sama sekali tidak pernah ku lakukan sebelumnya, membentur meja. Hingga sekarang aku masih bingung, kenapa ibu mau dinikahi oleh pria botak itu. 

Hari keempat belas sudah terlewati, siang hari adalah kesempatan terbaik untuknya berbuat seenaknya di saat ibu sedang sibuk bekerja. Tak seperti biasanya yang selalu menggedor pintu minta dibelikan rokok, hari ini Ia tampak lebih lembut. 

Tidak menggedor pintu, Ia justru membukanya dengan perlahan dan tersenyum kepada ku. Siang itu menjadi momen yang tidak akan pernah ku lupakan seumur hidupku.

Sudah hampir tiga bulan, si botak itu ada di rumah. Kasur kamarku yang biasanya selalu mendapat lemparan tas, kini terlihat ramai dikelilingi oleh penyelidik. Terlihat si botak itu berdiri di pojok kamar, entah sedang bersedih atau ketakutan akan terungkap kebusukannya selama ini. 

Aku meninggal bersama janin dalam perut ku, si botak itu tiba-tiba mengelus calon anaknya dengan sebuah pisau. Pisau itu ada di dalam kotak pensil yang ada di tasku, terlihat sekali Ia sedang panik dan kebingungan harus menyembunyikannya dimana. Andai aku bisa memberi tahu hal itu kepada penyidik di kamarku, tapi setidaknya aku telah menyelamatkan ibuku dari si botak itu untuk beberapa waktu. Ibuku tidak tahu, tapi aku sudah tenang disini.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak