Bayang-bayang kepergian yang lekas pudar kian kuharap dari segala waktu yang berpacu dengan cepat. Bayang-bayang kepergian setelah aku berpisah dengan ragaku yang tak lama lagi akan berakhir. Menjadi pertanda bahwa ragaku sudah berada persimpangan kehidupan. Yang menjadi penentu akhir kehidupan selanjutnya.
Aku terkapar tak kuasa dalam kesakitan raga yang kurasakan sangat mendera batin. Bayang-bayang kepergian kian terasa dalam batinku. Bayang-bayang kepergian ruh dari ragaku yang sungguh amat hina tak berguna lagi.
Menjadi isyarat yang dihantarkan oleh Sang Kuasa tuk memanggil namaku menghadap-Nya. Bayang-bayang kepergian yang semakin mendekat dalam imaji. Namun aku pasrah menghadapi panggilan yang diserukan oleh Sang Kuasa. Akupun sudah menghapus bayang-bayang kepergian yang selalu menemaniku.
Biarlah waktu yang berbicara akan berakhirnya seluruh kehidupanku di dunia. Dentuman kematian yang berguncang sangat keras. Begitu berseru namaku tuk menghadap segera kepada Sang Kuasa.
Diutuslah malaikat maut yang datang menyapaku dengan ramah. Aku pun menyapa balik malaikat maut dengan pasrah. Jutaan tangis orang-orang sekitarku mengelilingi kepergianku selamanya. Dengan seluruh badan yang terasa dingin. Dicabutlah nyawaku mulai ujung kaki hingga ujung kepala.
Berpisahlah aku dengan kehidupan dunia. Batas nyawaku sudah berakhir selamanya tak bisa kembali lagi. Hanya kesendirian menuju rumah liang lahat yang terbungkus kain kafan sebagai pakaian terakhir. Dengan kereta jenazah sebagai kendaraan terakhir yang mengantarkan menuju rumah abadi liang lahat.