Sebuah kabar mengejutkan berhembus di tengah-tengah kompetisi Liga 1 Indonesia. Setelah beberapa waktu lalu melakukan proses licensing klub, pihak AFC akhirnya merilis jumlah klub yang lolos lisensi di bawah naungan federasi mereka. Salah satunya tentu saja kawasan Asia Tenggara, yang terdiri dari 11 negara anggota di bawah federasi AFF.
Namun sayangnya, dalam proses licensing yang dilakukan oleh induk sepak bola Asia tersebut, Indonesia mendapatkan hasil yang kurang memuaskan. Bagaimana tidak, dari klub-klub Indonesia yang telah diverifikasi, ternyata hanya 6 klub yang benar-benar memenuhi standar dari AFC.
Sekadar informasi, dalam proses licensing ini, AFC memverifikasi klub-klub yang berada di bawah naungan mereka untuk dua event. Yang pertama adalah kelayakan mereka menjadi kontestan di Liga Champions Asia yang merupakan kompetisi antar klub tertinggi di Asia, dan yang kedua adalah kelayakan untuk menjadi kontestan di ajang AFC Cup, kompetisi antar klub kasta kedua di benua Kuning.
Hasilnya, untuk kawasan Asean Indonesia hanya mampu meloloskan enam klub yang layak menggelar Liga Champions Asia, dan tujuh klub yang layak menggelar Piala AFC. Jumlah ini secara akumulatif memang cukup besar, yakni 13 klub, namun jika dikomparasikan secara kualitas, capaian klub-klub Indonesia ini masih kalah dengan negara-negara lain yang ada di kawasan Asia Tenggara.
Myanmar yang selama ini dipandang memiliki infrastruktur sepak bola tak lebih baik daripada Indonesia, justru secara mengejutkan menjadi negara Asean yang mampu meloloskan klubnya dalam proses licensing AFC dengan 12 klub layak menggelar Liga Champions Asia, disusul Thailand dengan 9 klub, Vietnam dengan 8 klub, Malaysia dengan 7 klub, dan Indonesia di peringkat kelima dengan enam klub saja.
Fakta ini tentu saja begitu miris. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu kekuatan utama persepakbolaan di Asia Tenggara dan memiliki banyak klub yang berkualitas. Namun sayangnya, proses licensing klub yang dilakukan oleh AFC justru membuka kelemahan-kelemahan klub yang ada di Indonesia, di mana mereka lebih menekankan pada pembangunan infrastruktur dan manajemen yang sesuai dengan pandangan masing-masing, tanpa mengindahkan standar yang telah ditetapkan oleh federasi yang menaungi mereka.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.