Sudah nyaris 76 tahun Negara kita merdeka, ibarat manusia, sudah sepuh dan banyak makan asam-garam. Tentunya, begitu banyak yang dilalui oleh bangsa ini. Lebih jauh, sudah banyak pula ‘penderitaan’ kita sebagai rakyat. Bicara tentang rakyat, maka hakekatnya siapa pun dia asalkan menghirup udara Indonesia dan lahir serta besar dan hidup di nusantara, maka rakyatlah ia, tak peduli profesi dan nasibnya apa dan bagaimana.
Tulisan ini cuma secuil refleksi dari pengalaman, setelah bertemu dan berinteraksi dengan sesama rakyat. Beberapa waktu lalu saya begitu rindu menumpang kendaraan umum angkutan kota (angkot) jurusan pusat kota-Lubuk Buaya, di kota Padang. Akhirnya kerinduan itu terobati juga, dan sebagaimana ‘ritual’ saya naik angkot di mana-mana, selalu saya cari angkot yang kosong bangku depannya, agar bisa berbincang-bincang dan sekadar mendengar celotehan si sopir tentang satu atau lain hal.
Sepulang dari gedung kantor harian Singgalang, sesiang itu, angkot yang saya tumpangi melaju pelan menyusuri jalan Veteran. Memang beda, biasanya sopir angkot kota Padang terkenal suka ngebut dan ugal-ugalan dan jarang mau mengindahkan nasib penumpang. Tak lama baru saya sadar, siang itu penumpang sepi, sang sopir,melambatkan laju kendaraannya sembari mengintai calon penumpang di sisi kiri jalan.
Spontan saya lontarkan ‘cukilan’ pertama saya begitu menampak wajah sumringah para calon gubernur yang akan berlaga dalam Pilkada Desember nanti di baliho yang menjulang di sudut sebuah perempatan. Saya tagih pendapatnya mengenai kisruh politik di tanah air, penggerusan KPK yang tiada habis-habisnya, polemik pengiriman peserta ibadah haji, program vaksinasi yang masih di bawah target, dan lain sebagainya. Spontan ia menjawab bahwa kisruh politik apa pun dan bagaimanapun ujungnya tak akan punya pengaruh terhadap nasib dirinya dan rekan-rekannya sesama sopir.
Tersebab penasaran, saya gali lebih jauh, apa maksudnya ia ngomong begitu. Pria yang perkiraan saya sekitar 50 tahun itu kemudian menjawab bahwa kebanyakan pemimpin bangsa ini lebih banyak gila kuasa saja, tidak mementingkan bagaimana nasib rakyatnya. Dalam bahasa khasnya, mereka mementingkan isi perut dan kantong pribadinya saja, tidak memikirkan bagaimana perut rakyatnya bisa makan tiap hari dengan tenang.
Terkesima oleh tuturannya, saya giring ‘diskusi’ itu ke konteks nasional. Saya tanya pendapatnya tentang Jokowi. Lantas responnya juga tak kurang membuat saya terkesima. Katanya, negara ini bagaikan angkot yang terombang-ambing di jalanan disebabkan terlalu banyak yang menjadi sopir. Atau, bisa juga dikatakan, bagaikan angkot yang tidak pernah bisa jalan akibat semua orang ingin jadi sopir.
“Coba adik bayangkan, angkot ini dua stirnya, apa bisa jalan dengan benar? Sekarang Jokowi memang Presiden, dik, tokoh-tokoh lain di seputarnya juga ‘Presiden’, belum lagi pengusaha dan mafia-mafia. Bahkan kadang mantan Presiden pun ikutan pula ikut campur, kena tuduh pula dia sebagai provokator. Kini, cukup kita konsen saja dengan apa yang bisa kita lakukan, dik, tak usah mengharapkan pemimpin bertindak nyata menjalankan janji-janjinya, banyak gombalnya.” Demikian di antara kalimat uda itu yang paling saya ingat. Saya pun manggut-manggut. Saya pikir, inilah pikiran orisinil dan jujur dari seorang sopir angkot. Saya merasa beruntung bisa mendengarnya secara langsung.
Di sisi lain, terbit juga iri saya, kenapa orang seperti uda itu (meskipun cenderung apatis) mampu menganalogikan keadaan negeri kita saat ini secara proporsional dan mengena. Diam-diam saya berspekulasi, jangan-jangan kekurangberuntungan sajalah yang mendamparkannya menjadi sopir angkot. Atau, jangan-jangan ia hanya menyamar, mungkin pekerjaan utamanya bukanlah sopir, bisa jadi ia aslinya pebisnis kelas menengah yang mempekerjakan banyak pegawai. Siapa tahu?
Saat saya sudah di tujuan, saya berdoa dalam hati, semoga setiap pemimpin mau sesekali (tulus) menyamar dan berkomunikasi konteks rendah dengan rakyat jelata, kemudian (lewat otoritasnya) segera memperbaiki kinerja dan kepemimpinannya. Bukan hanya sibuk saling berretorika, saling tuduh dan sindir. Entah sampai kapan, mungkin sampai lebaran kuda. Saya mendambakan, suara-suara yang berasal dari nurani rakyat diterima secara positif oleh Presiden, Gubernur, Mentri, Bupati dan Walikota sebagai masukan demi instrospeksi dan peningkatan kinerja. Rakyat sudah bosan dengan manuver politik. Masalah bangsa ini bukan hanya soal rebutan kekuasaan dan pengaruh.
Cuma, hal itu memang butuh keberanian dan empati, dan kalau berhasil dilakukan, janganlah disebabkan karena ada udang di balik batu, hanya dalam rangka kampanye atau pencitraan belaka, seperti yang sudah-sudah.[*]
MOHAMMAD ISA GAUTAMA, Kolumnis dan pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Padang. Buku kumpulan kolomnya Politik tanpa Dialog (2020) dan Modernisme tanpa Pengaman (2020).