Ibu Se-Indonesia: Pahlawan Sejati Masa Pandemi

Munirah | Mohammad Isa Ga
Ibu Se-Indonesia: Pahlawan Sejati Masa Pandemi
Ilustrasi ibu. (pexels.com/Ketut Subiyanto)

Dalam alam sejarah Indonesia, tersebutlah banyak pahlawan. Di antaranya, pahlawan proklamasi, pahlawan revolusi, pahlawan perjuangan pergerakan, pahlawan pembangunan, sampai pahlawan reformasi. Kita semua salut dan bangga dengan mereka. Apa yang dipampang terutama di dinding kelas sekolah-sekolah rata-rata dipenuhi oleh mereka, lengkap dengan gelar dan pakaian kebesarannya.

Sesuai “takdir” etimologinya, terkandung kosa kata ‘pahala’ di dalam kata ‘Pahlawan’, selain tentunya ‘wan’ yang merujuk ke manusianya. Orang yang berpahala, demikian makna etimologisnya. Kamus Umum Bahasa Indonesia (20016) menuliskan asal katanya, ‘phala-wan’ yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas (bagi bangsa, bangsa, negara, dan agama), orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani.

Orang yang berpahala, tentunya predikat itu dicapai setelah si subjek melakukan perbuatan yang baik, adiluhung, suci. Berpahala bisa kepada siapa dan apa saja; negara, bangsa, kampung, keluarga, suku, atau bahkan hanya kepada satu-dua orang. Yang pasti ia sudah melakukan sebuah perbuatan yang memberi dampak positif dan bermakna kepada apa pun entitas yang kepadanya ia sumbangkan buah perbuatannya.

Pandemi dan Risiko Learning Loss

Dikontekstualisasikan ke era terkini, saat pandemi Covid-10 mendera dunia dan khususnya bangsa kita, hadirnya pahlawan tetap mengemuka, tentunya sesuai dengan tuntutan problematika zaman. Ya, kini terjadi fenomena yang mau tidak mau harus kita terima yaitu bencana pandemi yang semua orang setuju menghantam nyaris seluruh aspek, termasuk Pendidikan.

Permasalahan paling mengemuka adalah yang disebabkan oleh tutupnya mayoritas sekolah akibat PKKM di berbagai tempat dan pelosok negeri, proses pembelajaran akhirnya diselenggarakan secara daring.

Pembelajaran Jarak Jauh, demikian istilah resminya, memberikan dampak yang tidak terprediksi sebelumnya. Hal tragis yang menonjol, semakin minim dan sempitnya peluang pendidik (baca: guru) dalam mengoptimalkan perannya. Padahal, kualitas pembelajaran bertumpu dan bermula dari kecakapan dan profesionalisme para guru.

Pada kenyataannya, yang terjadi di banyak tempat, guru-guru, yang seharusnya kreatif dan inovatif dalam mengkreasi media pembelajaran yang dapat mewakili dan membantu porsi dan tanggung jawabnya sebagai transformator ilmu pengetahuan dan pendidik, ternyata tidak mampu menjalankan peran itu secara optimal.

Banyak faktor yang memengaruhi, mulai dari rendahnya kemampuan menyerap teknologi pembelajaran, sampai minimnya pelatihan-pelatihan resmi khusus mengenai strategi pembelajaran daring dari otoritas terkait. Tak pelak, akar masalah ini beresultan kepada bertukar perannya tanggung jawab guru dengan para orang tua di rumah saat mengerjakan rangkaian instruksi tugas PJJ.

Konsekuensi sekaligus risiko menakutkan dari kondisi ini adalah apa yang disebut oleh para pakar pendidikan sebagai learning loss. Secara sederhana, learning-loss adalah hilangnya kesempatan belajar karena berkurangnya intensitas interaksi dengan guru saat proses pembelajaran yang mengakibatkan penurunan penguasaan kompetensi peserta didik (Kaffenberger, 2021).

Masih mengutip sumber yang sama, menurut Kaffenberger, dampak learning loss tidak akan berhenti sekalipun sekolah dibuka dan diadakan pembelajaran tatap muka. Apalagi jika tidak ada kebijakan terkait pemulihan kemampuan belajar terlebih dahulu. Berdasarkan penelitian yang dilakukannya, dampak learning loss secara global pada peserta didik sangat besar terjadi pada siswa yang sedang duduk di bangku Sekolah Dasar.

Dijelaskan bahwa siswa kelas 3 SD yang melewatkan waktu belajar 6 bulan berpotensi kemampuannya tertinggal 1,5 tahun. Selain itu, siswa kelas 1 SD yang tidak belajar dalam waktu 6 bulan akan mengalami ketertinggalan hingga 2,2 tahun. Learning loss, menurutnya,akan berdampak panjang sehingga menyebabkan masalah ekonomi dan sosial di masa depan.

Ibu Se-Indonesia: Pahlawan Sesungguhnya

Berkaca pada fenomena umum yang terjadi di negeri kita, dan mencoba fokus kepada realitas kelam proses PJJ, maka kita masih beruntung memiliki ibu-ibu yang masih mau belajar dan serius membimbing anak-anaknya di rumah saat tugas pelajaran sekolah datang setiap hari, mendarat di gadget setiap pagi.

Kita banyak membaca berita betapa di tengah kebingungan disebabkan kurang familiarnya para ibu dengan materi pelajaran anak-anaknya, masih ada dan bahkan masih banyak para ibu yang dengan kesungguhan hati dan pikiran untuk bersabar menghadapi potensi kemalasan anak-anaknya.

Ibu-ibu yang biasanya sibuk di dapur atau bahkan bekerja di sektor formal dan informal, di masa pandemi mau tidak mau mesti merelakan waktu luangnya untuk mendampingi dan (bahkan) menjalankan peran guru saat materi pembelajaran yang dikirim guru mesti dijelas-ulangkan kepada anaknya.

Pekerjaan Rumah, yang menuntut pemahaman optimal dalam ranah kognitif si anak, akhirnya juga menuntut usaha tambahan seorang ibu untuk menjelaskan video, modul, teks, rekaman audio, atau info-grafik yang dikirimkan secara daring oleh guru. Ruang kelas di sekolah berpindah ke ruang belajar atau kamar si anak, sementara dead-line mengejar tanpa ampun.

Untuk seluruh pengorbanan seorang ibu, yang tetap menjalankan aktivitas sebagai istri dan ibu bagi rumahnya, kemudian juga berperan sebagai guru de facto di rumah bagi anak(-anaknya), kita sampaikan penghargaan setinggi-tingginya. Tak pelak, merekalah pahlawan sejati di era pandemi ini.

Meski peran dan usaha mereka mungkin tidak akan pernah seideal peran dan sosok guru di sekolah, namun tidak ada salahnya kita percaya bahwa usaha itu pasti dijalankan sepenuh hati oleh para ibu.

Apalagi, rasanya tidak mungkin dan mustahil mereka tidak berusaha sebisa yang mereka mampu untuk menjelaskan, mendampingi, memotivasi, mengoreksi dan memberikan penguatan kepada anak didiknya di rumah yang juga adalah darah daging mereka sendiri.

Sementara dari segi penghargaan, mustahil mereka mengharapkan gaji atau pun bonus dari pihak mana pun. Kini terminologi ‘pahlawan tanpa jasa’ relevan dilekatkan kepada para ibu ini, tentunya para ibu yang sungguh-sungguh dan konsisten ‘berjuang’ untuk tetap menjaga semangat belajar anak-anaknya, yang jauh dari pencitraan apalagi usaha politis untuk menonjol di jagat media sosial. Perlu diingat, pekerjaan itu dijalani di tengah ancaman terpapar Covid-19 yang belum berhenti di negara kita.

Selamat hari Kemerdekaan ke 76 Republik Indonesia. Terima kasih perlu kita sampaikan kepada para ibu se-Indonesia yang menjalankan perannya sebagai guru sesungguhnya bagi para peserta didik, generasi milenial penerus bangsa.

Sungguh, sekali lagi, merekalah pahlawan sejati hari ini, mereka telah melakukan perbuatan baik, suci, adiluhung, sesuai dengan apa yang mereka bisa, demi menyelematkan agar bangsa ini tidak semakin terpuruk akibat pandemi virus Corona.

MOHAMMAD ISA GAUTAMA, Kolumnis dan pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Negeri Padang. Buku kumpulan kolomnya Politik tanpa Dialog (2020) dan Modernisme tanpa Pengaman (2020).

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak