Berbicara tentang Muhammad Hatta atau yang akrab disapa Bung Hatta, kita akan ingat pada perjuangannya memerdekakan negara Indonesia. Seorang proklamator yang lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902. Bersama sahabatnya, Bung Karno, ia memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dengan bersungguh-sungguh serta berdarah-darah. Tanpa beliau yang pada saat itu berdiri menemani Soekarno membacakan teks proklamasi, mungkin Indonesia belum tentu merdeka.
Rasa cinta dan pengorbanan beliau terhadap Indonesia tidak diragukan lagi dan ini membuat nama beliau tetap dikenang sepanjang masa. Mulai dari musisi sampai masyarakat pelosok negeri sampai saat ini masih mengenang beliau sebagai pahlawan negeri. Musisi legendaris, Iwan fals sampai membuat lagu khusus untuk dirinya yang berjudul “Bung Hatta.”
Setelah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden karena adanya konflik perbedaan terkait pandangan politik dengan sahabat perjuangannya, Soekarno, saat itulah mulai pecahnya Dwi Tunggal. Meski sudah tidak berada dalam koridor yang sama keduanya tetap menjalin persahabatan yang sudah lama mereka bangun. Jika melihat kondisi sekarang, ada baiknya kita belajar pada Bung Hatta dalam menyikapi perbedaan pandangan politik.
Ada pertanyaan yang dilontarkan kepadanya saat turun dari jabatannya, mau apa setelah mengundurkan diri? Dengan ringan Hatta menjawab, "Saya mau terjun ke masyarakat menjadi orang biasa."
Jawaban yang polos serta apa adanya, membuat sosok seperti Hatta sangat sulit ditemui pada pejabat dewasa ini yang cenderung menghabiskan waktunya di pemerintahan, melakukan pengabdiannya terhadap masyarakat (untuk tidak mengatakan haus kekuasaan). Meskipun sangat susah terjun ke masyarakat dengan titel orang biasa, ia tidak pernah putus asa. Acapkali ia mendapat kesulitan dan tulisannya banyak yang disensor. Tulisannya yang berjudul Demokrasi Kita, dilarang beredar.
Hal yang membuat kagum dari sosok Bung Hatta yaitu komitmen tentang kemerdekaannya. Hatta bersumpah tidak akan menikah jika Indonesia belum merdeka. Waktunya habis untuk memikirkan kemerdekaan, dan larut dalam perjuangan. Hatta baru menikah setelah setelah Indonesia merdeka yaitu pada 18 November 1945. Hatta waktu itu sudah berumur 43 tahun dengan menikahi gadis yang umurnya 24 tahun lebih muda darinya, Rahmi Rahim yang berusia 19 tahun.
Faktor selanjutnya yang membuat Hatta telat menikah selain komitmen memperjuangkan kemerdekaan, ia juga mempunyai kefokusan pada bidang ilmu pengetahuan dan Hatta juga merupakan seorang yang gemar membaca buku, sehingga dirinya tidak ada waktu untuk dekat dengan perempuan. Alkisah, teman-temannya di Belanda pernah menjebaknya dengan menyuruh gadis Polandia untuk kencan Bersama Hatta. Sewaktu-waktu gadis itu menggodanya, dan jebakan itu gagal, Hatta tidak sedikitpun tergoda.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan sudah tertancap sedari kecil. Hatta adalah seorang kutu buku, selama hidupnya ia tidak lepas dari buku. Dikutip dari bbc.com Putri tertua dari Bung Hatta, Meutia mengatakan, saat Ayahnya di asingkan ke Banda Neira lalu ke Boven Digul oleh Pemerintahan Belanda, Bung Hatta membawa buku sebanyak 16 peti. Kata-kata populer Hatta yang tidak asing bagi masyarakat yaitu “Aku rela dipenjara asalkan bersama buku, dengan buku aku bisa bebas”.
Hatta memang jatuh cinta terhadap buku, saking cintanya, saat ia menikahpun mas kawinnya adalah buku. Buku dari pemikiran dan tulisannya sendiri buku itu sampai sekarang masih beredar dan bisa dibaca, buku tersebut berjudul Alam Pemikiran Yunani (Anwar, 2012:74). Buku dimata Bung Hatta sangat berharga. Bahkan dalam Buku Biografi Bung Hatta karya Muhammad Muhibbuddin, teman-teman Bung Hatta sering melontarkan candaan tentang Hatta dan bukunya bahwa buku adalah “istri pertamanya” sedangkan Rahmi, istri sah Bung Hatta “istri keduanya”.
Inilah yang seharusnya kita tiru sebagai anak bangsa, perjuangan Hatta. Boleh jadi Hatta dulu berjuang tidak dengan senapan maupun senjata lainnya, Hatta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia dengan penanya yang sangat tajam. Melalui gagasannya ia bisa merobohkan dinding kekuasaan kolonialisme. Semua itu tidak luput dari buku-buku yang ia baca setiap harinya.
Jika dahulu sang Proklamator, Hatta berjuang demi Kemerdekaan Indonesia, setidaknya kita juga sebagai generasi penerus bangsa bisa berjuang, ya minimal untuk memerdekakan pikiran sendiri.