Nama Ibu Kota Negara (IKN) merupakan bagian dari nama rupabumi yang di dalam penentuan pemberian namanya, harus memperhatikan prinsip penamaan unsur rupabumi. Penamaan IKN baru dengan Nusantara menimbulkan polemik hingga sejumlah pakar mengemukakan selisik mendalamnya terhadap nama Nusantara. Pro dan kontra terkait penamaan IKN dengan nama Nusantara relatif ramai beberapa waktu lalu dan kini mulai surut.
Saat ramainya pro kontra tersebut, saya sempat menilik akun Instagram Sekretariat Negara yang menjelaskan kronologi proses penamaan hingga alasan di balik dipilihnya Nusantara. Saya membaca salah satu tanggapan warganet yang cukup jeli dalam melihat permasalahan ke depan, dilengkapi dengan usulan solusinya. Warganet tersebut mengusulkan dan berharap agar penamaan wilayah di IKN Nusantara dapat menggunakan nama-nama pulau di Indonesia.
Saya pun teringat adanya data nama pulau yang disajikan pada Gazeter Republik Indonesia Tahun 2021. Gazeter tersebut berisi daftar nama rupabumi yang telah dibakukan oleh Badan Informasi Geospasial (dapat diakses di sinar.big.go.id). Jika melihat datanya, terdapat 17.000 nama pulau yang telah dibakukan by names by coordinates.
Nah, apabila Pemerintah akan mengadopsi usulan warganet tersebut, maka dapat menilik daftar nama pulau pada dokumen Gazeter tersebut. Sebagai informasi tambahan, penggunaan nama pulau sebagai nama untuk unsur rupabumi nonpulau bukanlah hal baru. Saya teringat adanya nama pulau-pulau di Indonesia sebagai nama jalan yang digunakan sejumlah kota di Belanda.
Sewaktu saya masih tinggal di Enschede, kota ujung Belanda yang berbatasan dengan Jerman, terdapat nama jalan seperti Javastraat, Balistraat, Lombokstraat, hingga Seramstraat. Selain nama pulau, Belanda juga menggunakan nama-nama kota di Indonesia sebagai nama jalan di wilayah mereka seperti Semarangstraat, Tegalstraat, dan nama lama Bogor yaitu Buitenzorg digunakan untuk nama jalan yang mengitari suatu lapangan menjadi Buitenzorgplein.
Berkaca pada adopsi nama rupabumi yang dilakukan Belanda tersebut, maka IKN Nusantara tentunya dapat mengadopsi nama-nama pulau maupun nama-nama kota di Indonesia sebagai nama rupabumi di wilayahnya nanti. Namun, siap-siap saja jika nanti terdapat komentar bahwa penamaannya kurang kreatif dan dapat menimbulkan kebingungan hingga ke arah konteks adanya penyempitan makna sebuah nama. Di sisi lain, sebagaimana kekhasan penamaan di Indonesia, maka dapat pula menggunakan nama pahlawan tertentu untuk nama-nama jalan utama dan sebagainya.
Ke semua hal tersebut jauh lebih baik ketimbang adanya pemikiran penggunaan nama orang atau tokoh yang masih hidup. Hal ini banyak terjadi di tahun 2021, baik untuk penamaan jalan, gedung pertemuan, hingga penamaan GOR dan bahkan terjadi pula untuk unsur alami yaitu penamaan bukit dan pantai. Misal, adanya nama Bukit Jokowi di Papua dan kita lihat pula ada di Mandalika, adanya nama Pantai Ma’ruf Amin di Kota Pariaman, kemudian sempat ada poling muncul usulan nama stadion WH-Andika.
Ada pula kejadian lain penamaan GOR yang diwujudkan yaitu GOR Sasana Emas Greisya-Apriyani yang diresmikan sebagai bagian apresiasi atas prestasi mereka di Olimpiade Tokyo 2020. Kemudian, kita dapat cermati pula GOR yang menjadi ajang olahraga PON XX Papua 2021 sebelumnya bernama GOR Papua Bangkit telah berganti nama menjadi GOR Lukas Enembe.
Contoh kasus lainnya adalah penggantian nama jalan tol japek dengan nama jalan MBZ. Alasan penggunaan namanya terkait hubungan diplomatik yaitu asas resiprokal atas penggunaan nama Presiden Joko Widodo sebagai nama jalan pada ruas jalan strategis di Uni Emirat Arab. Kemudian, pemerintah Indonesia membalas kebaikan dan sumbangsih investasi yang dilakukan oleh MBZ melalui penamaan jalan MBZ.
Sejumlah contoh penggunaan nama diri orang yang masih hidup di atas tentunya hal tersebut bertentangan dengan prinsip nama rupabumi yang ada di resolusi Kelompok Pakar PBB untuk Nama Geografis. Di Indonesia sendiri, terdapat 10 prinsip nama rupabumi yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
Kasus lain terkait penamaan rupabumi yaitu penggunaan nama orang yang sudah meninggal, tetapi belum masuk periode 5 tahun adalah penggunaan nama sekda Saefullah sebagai nama GOR dan terakhir digunakan juga sebagai nama jalan. Sempat pada tahun 2019, nama bandara Kertajati diusulkan ganti nama dengan nama BJ Habibie. Namun, hal tersebut belum terjadi mengingat belum memenuhi kriteria paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak beliau meninggal dunia.
Himbauan agar tidak menggunakan nama orang yang masih hidup dan dibolehkannya menggunakan nama orang setelah meninggal setelah masa tunggu merupakan salah satu ketentuan yang dirumuskan oleh Kelompok Pakar PBB tentang Nama Geografis. Nah, resolusi tersebut diadopsi oleh Indonesia pada Pasal 3 huruf g dari Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nama Rupabumi.
"Nama Rupabumi harus memenuhi prinsip sebagai berikut: ... g. menghindari penggunaan nama orang yang masih hidup dan dapat menggunakan nama orang yang sudah meninggal dunia paling singkat 5 (lima) tahun terhitung sejak yang bersangkutan meninggal dunia."
Lebih lanjut, kelompok pakar PBB untuk nama geografis meminta agar tiap negara anggota PBB mempunyai regulasi sebagai pedoman penyelenggaraan pembakuan hingga prinsip penamaan. Hal ini bagian dari upaya kejelasan acuan atau referensi terkait nama rupabumi sebagai bagian dari pelestarian bahasa lokal dan alat komunikasi antarbangsa. Indonesia kini telah mempunyai regulasi dalam bentuk Peraturan Pemerintah yang tampaknya perlu terus dikenalkan keberadaannya. Saking belum populernya, maka wajar kiranya jika masyarakat luas belum mengenal adanya prinsip nama rupabumi.
Satu hal lagi yang perlu dicermati bersama adalah pelibatan masyarakat dalam pemberian nama. Misalnya, kita dapat mulai mengumpulkan nama lokal wilayah setempat melalui selisik toponimi. Kolaborasi penelitian toponimi yang digawangi oleh Tim IKN bersama para pakar toponimi, sejarah, linguistik, geografi, budaya, dan keilmuan terkait lainnya perlu segera dilakukan.
Besar harapan, penamaan rupabumi di wilayah IKN Nusantara dapat mengandung kearifan lokal setempat atau dapat pula menggunakan nama yang merepresentasikan kekayaan sumber daya wilayah Indonesia sebagai Negara Kepulauan (baca: Nusantara) dan ber-Ibu Kota Negara Nusantara. Nama adalah sebuah identitas dan jati diri bangsa, dapat menjadi pesan untuk anak cucu kita, dan mengandung doa untuk menjaga persatuan dan kesatuan Nusantara.
*Aji Putra Perdana, Surveyor Pemetaan Muda di Badan Informasi Geospasial