Perempuan dan Era Digital, Musibah atau Berkah?

Candra Kartiko | Wahyu Tanoto
Perempuan dan Era Digital, Musibah atau Berkah?
Ilustrasi media sosial.[freepik.com/creativeart]

Setiap orang, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi yang tersebar di sosial media. Oleh karenanya tidak heran jika saat ini tidak sedikit yang menilai jika perempuan memiliki peran dan potensi yang besar terlibat memajukan bangsa Indonesia melalui transformasi digital.

Hadirnya revolusi industri 4.0 atau dalam istilah lain disebut sebagai era digitialisasi telah menjadikan perempuan terbiasa oleh menjamurnya produk digital. Terlebih, ketika pandemi Covid-19 datang 2 tahun lalu juga telah menggeser dan mengubah cara pandang dari manual ke digital.

Efeknya, hampir semua aktivitas dilakukan secara daring, misalnya: sekolah daring (via zoom meeting), bekerja daring, belajar daring, olahraga daring, rapat daring dan work from everywhere (WFE) serta aktivitas lainnya yang digelar secara daring.

Tantangan perempuan di era digital bukan hanya dihadapi pada masa pandemi Covid-19, namun sudah dimulai sejak sebelum pandemi. Kehadiran era digitalisasi menjadikan perempuan "kreatif" dalam segala hal.

Baca Juga: Siapkah Guru Melakukan Transformasi Digital?

Hemat saya, revolusi industri 4.0 merupakan momen bagi para perempuan untuk memanfaatkan industri digital. Keterlibatan perempuan di era digital dimaksudkan sebagai salah satu cara untuk meredam atau bahkan menghapus segala bentuk pelabelan negatif yang sering kali dialami oleh kaum perempuan. Mengingat, Berdasarkan Survei Indeks Literasi Digital Nasional 2021, sejumlah 56,6 persen pengguna internet di Indonesia adalah perempuan.

Artinya, dari angka tersebut persentase pengguna internet, perempuan ternyata lebih tinggi daripada laki-laki. Angka tersebut tampaknya dapat menjadi bukti bahwa perempuan telah mendapatkan akses ke teknologi dan sedang menjalani migrasi dan transformasi digital.

Dalam perbincangan transformasi pengetahuan, era digital dapat dimaknai sebagai jalan tol yang memungkinkan peran-peran perempuan di berbagai aspek meningkat secara drastis.

Namun, di sisi lain, sebagaimana diketahui jika era digital juga perlu dibarengi dengan keterampilan dan kemampuan mengelola, serta memiliki ketrampilan menyesuaikan diri terhadap teknologi informasi yang semakin dinamis perkembangannya.

Era digital juga bisa disebut sebagai keniscayaan, namun juga dihantui masalah baru yaitu kesenjangan keterampilan digital.  Bukan akses seseorang terhadap ponsel cerdas, komputer dan internet, namun memandang perempuan sebatas konsumen dan objek.

Berdasarkan laporan Status Literasi Digital Indonesia 2021 Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC), Indonesia memiliki skor indeks literasi digital rata-rata 3,49 poin pada tahun lalu.

Skor ini berada dalam skala 1-5, dengan demikian literasi digital masyarakat Indonesia secara umum berada di level "sedang". Adapun jika dilihat berdasarkan gender, literasi digital perempuan umumnya belum setara dengan laki-laki.

Baca Juga: Sering Disalahartikan, Ini Dia Makna Istilah "Cinta Pertama" yang Sebenarnya

Melansir katadata, skor literasi digital diukur melalui empat pilar indikator besar, yaitu Kecakapan Digital (Digital Skills), Etika Digital (Digital Ethics), Keamanan Digital (Digital Safety), dan Budaya Digital (Digital Culture). 

Laporan juga mencatat bahwa 55% responden laki-laki yang skor literasi digitalnya tinggi alias di atas rata-rata nasional. Sedangkan proporsi responden perempuan yang meraih skor di atas rata-rata baru 45%. Responden perempuan yang meraih skor literasi digital rendah, alias di bawah rata-rata, proporsinya juga lebih banyak ketimbang laki-laki.

Sebagai informasi tambahan, penilaian kemudian dilakukan dari hasil survei terhadap 10 ribu responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Kriteria responden berusia antara 13-70 tahun serta pernah mengakses internet dalam 3 bulan terakhir.

Saat ini, literasi digital menjadi tema semakin popular seiring dengan perkembangan pemanfaat teknologi informasi. Bahkan menjadi topik khusus dalam kajian-kajian. Literasi digital dapat digambarkan sebagai kemampuan individu dan kelompok untuk memahami teknologi digital dan menggunakannya untuk tindakan yang bermanfaat. 

Baca Juga: 90 Menit Pertandingan Sepak Bola dan Bangkitnya Rasa Nasionalisme

Artinya, siapapun yang dapat mengoperasikan komputer/laptop/smartphone dan menggunakan buku-buku terkait IT lainnya dapat dianggap sebagai literasi digital. Meminjam istilah Rahayu dalam Perempuan Dan Literasi Digital: Antara Problem Hambatan dan Arah Pemberdayaan (2021) bahkan menyebut jika literasi digital juga bermaksud mendekatkan jarak atau mengentaskan kesenjangan digital yang dialami perempuan. 

Literasi tidak hanya bersentuhan dengan keterampilan teknis dalam mengakses media digital, namun juga berkaitan dengan kompetensi kritis dalam mengevaluasi konten. Atau dalam istilah lain disebut sebagai "literasi substantif". Misalnya berkaitan dengan pengetahuan tentang keadilan dan kesetaraan gender, HKSR, feminisme, pemasaran, finansial, dan sebagainya, dipercaya meningkatkan kemampuan perempuan dalam menggunakan teknologi digital, juga meningkatkan kapasitas perempuan dalam memandu penggunaan teknologi.

Agar perempuan memiliki pemahaman literasi, tampaknya perempuan juga perlu proaktif sebagai subjek dalam program-program literasi digital. Karena, perempuan sangat dimungkinkan menjadi sumber daya informasi digital yang kuat, dan mampu “mewarnai” dunia digital dengan cara memproduksi konten berkualitas. 

Video yang mungkin Anda suka

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak