Selasa, 6 Desember 2022, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana menjadi UU. RUU yang sejak satu dekade lalu mendapat penolakan dari masyarakat kini sudah menjadi sebuah sistem baru yang harus dipatuhi dan dijalankan.
Pada rapat pengesahan yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra, terlihat berjalan lancar tanpa adanya penolakan dari seluruh anggota dewan. Sebenarnya ada fraksi yang memberikan interupsi, tapi tidak digubris.
Hingga akhirnya, aturan itu sudah benar-benar disepakati. Padahal sedihnya, ada banyak pasal yang meresahkan dan merenggut hak banyak pihak.
Baca Juga: Pentingnya Metode SQ3R dalam Pembelajaran Membaca
Beberapa Pasal Kontroversial dan Dampaknya
#TolakRKUHP #SemuaBisaKena dua tagar yang saat ini gencar tersebar di berbagai media sosial karena masyarakat merasa keberatan dan dibuat heran dengan aturan baru tersebut. Dirangkum dari akun instagram @kolektifa dan @jakartafeminist, berikut beberapa inti dari pasal yang buat geleng-geleng kepala.
1. Hak untuk Berpendapat (Pasal 240 dan 241)
Isi dari pasal tersebut yakni, mengkritik presiden dan kepala pemerintahan berpotensi dianggap sebagai penghinaan. Adapun beberapa bentuk tindakan yang berpotensi dipidana berdasarkan pemaparan tadi: kritik pemerintah bisa dipenjara menyiarkan berita yang dianggap bohong bisa dipenjara, bikin lirik kritik pemerintah bisa dipenjara, dan bikin meme kritik presiden bisa dipenjara.
Dampak bila pasal ini dijalankan adalah terbatasnya ruang gerak dan kebebasan berpendapat, serta berpotensi menciptakan sistem pemerintah anti kritik yang berimbas juga pada keterlambatannya kemajuan negara. Padahal dalam menjalankan tugasnya, pemerintah juga memerlukan suara rakyat dalam setiap perbaikan dan pembenahan segala hal demi pembangunan berkelanjutan.
Baca Juga: Menjadi Mahasiswa Akademisi atau Organisatoris, Kamu Pilih yang Mana?
2. Hak untuk Berunjuk Rasa (Pasal 256)
Pasal kontroversial ini berpotensi bahwa kegiatan konvoi supporter bisa dipenjara, bila berbuat kerusakan dan tanpa izin terlebih dahulu. Hampir sama dengan pasal 240 dan 241, dampak bila dijalankannya pasal 256 ini akan merenggut kebebasan berpendapat para aktivis dan jurnalis.
Orang-orang yang memberikan kontribusi dan aspirasinya lewat aksi nyata di lapangan bisa dipenjara. Orang-orang penuh rasa peduli dengan negaranya yang sedang tidak baik-baik saja lalu melakukan unjuk rasa bisa berpotensi masuk ke kriminalisasi.
Intinya, kurang keleluasaan bagi siapa saja yang ingin menyampaikan aspirasinya dengan turun ke jalan. Meskipun memang masih dibolehkan untuk unjuk rasa dengan pemberitahuan terlebih dahulu. Namun, pasal ini masih tuai banyak sorotan penolakan karena dinilai menunjukkan ketidakadilan.
3. Hak Korban Kekerasan Seksual Terancam (Pasal 411)
Tidak hanya dua pasal tadi, pada salah satu postingan akun instagram @jakartafeminist juga menginformasikan pasal yang paling menjadi sorotan dan berpotensi berbahaya yakni, pasal 411 tentang perzinaan. Dampak dari pasal ini adalah hak korban kekerasan seksual bisa terancam karena berpotensi memidana korban dengan tuduhan zina.
Lalu, potensi perkawinan anak juga semakin digeneralisasi karena ada pasal yang seolah memberikan kewenangan kepada orang tua untuk melaporkan anaknya bila diduga melakukan perzinaan.
Baca Juga: Sampai Kapan Birokrasi Indonesia Harus Berbelit dan Sering Mempersulit?
Upaya Pengawasan Masih Terus dijalankan
Melihat kenyataan pahit tersebut, ada sedikit kabar baik. KUHP ini masih berada pada masa transisi dan berada dalam pengawasan publik selama tiga tahun. Jadi, masih bisa dilakukan pembenahan dengan banyak cara jika masih saja menuai ketidaksepakatan dari masyarakat.
Hal tersebut dapat dibuktikan dari perhatian salah satu petinggi negara yang akan membantu pengawasan tersebut. Sejak beberapa waktu yang lalu, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly sudah memberikan perhatian dan tanggapan tentang KUHP.
Merangkum dari laman kemenkumham.go.id, Yasonna menilai pasal-pasal yang dianggap kontroversial bisa ditelaah lagi. Beliau mengimbau pihak-pihak yang tidak setuju dapat menyampaikan keluhan melalui mekanisme yang benar. Masyarakat pun diperbolehkan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“RUU KUHP tidak mungkin disetujui 100 persen. Kalau masih ada yang tidak setuju, dipersilakan melayangkan gugatan ke MK,” paparnya.
Dengan demikian, harapannya pasal ini masih bisa diperbaiki, dibenahi, dan dipertimbangkan lagi dari berbagai sisi. Sampai semua pihak bisa merasakan keadilan yang rata tanpa pandang kata “Siapa?”