Perbicangan mengenai Hak Kesehatan Reproduksi (HKSR) saat ini sudah tidak perlu dianggap sebagai hal tabu. Mengingat, HKSR merupakan hak setiap individu, termasuk anak-anak.
Hak ini menjamin setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait Kesehatan fisik, psikis, sosial dan seksual tanpa khawatir adanya diskriminasi, paksaan, dan kekerasan.
Bahkan dalam tataran normatif, HKSR juga dianggap kurang familiar atau tidak sewajarnya untuk didiseminasikan.
Padahal, setiap orang perlu menyadari bahwa isu seksualitas merupakan pengalaman tiap individu sehingga setiap individu berhak tahu dan paham pilihan-pilihan terbaik bagi tubuh mereka.
BACA JUGA: 3 Tahap Pendidikan Seks yang Wajib Diberikan pada Anak Sedini Mungkin, Bukan Hal Tabu!
HKSR adalah isu yang cukup menyedot perhatian publik di Indonesia, karena, sering kali dikaitkan langsung dengan istilah LGBT. Akibatnya, HKSR dicap tabu untuk sekadar diperbincangkan di ruang privat.
Nahasnya, di kalangan usia anak, HKSR juga cenderung diabaikan karena terdapat kesalahpahaman bahwa anak-anak “haram” hukumnya menjadi makhluk seksual, kecuali pada kelompok tertentu, misalnya mereka yang sudah menikah atau di atas usia tertentu.
Padahal, merujuk pada World Health Organization (WHO) telah menyebutkan jika orang yang memiliki rentang usia 10-19 tahun termasuk kategori remaja.
Sementara itu, dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2014, remaja adalah penduduk yang memiliki rentang usia 10-18 tahun.
Sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bahkan mendefinisikan remaja sebagai penduduk yang berusia 10-24 tahun.
Hemat penulis, pengarusutamaan isu HKSR merupakan bentuk perlawanan terhadap pelabelan negatif yang sementara ini disempitkan maknanya menjadi sekadar “aktivitas seksual” semata, dan ketika dibicarakan dianggap saru (tidak pantas) karena mengandung unsur-unsur sensitif.
Atau bahkan masih ada yang memiliki anggapan jika anak-anak tidak perlu dikenalkan dengan HKSR karena ketika dewasa akan tahu dengan sendirinya.
Lalu apa yang bisa diajarkan kepada anak-anak tentang isu HKSR? Simak ulasannya di bawah ini.
1. Dimulai dengan hal sederhana
Mengenalkan HKSR pada usia anak bisa dimulai dengan hal-hal sederhana, misalnya dengan mengenalkan nama dan fungsi organ reproduksi yang melekat pada tubuhnya. Dengan begitu, anak akan belajar memahami apa itu organ, belajar menghormati tubuhnya sendiri.
Harapannya agar anak mampu menjaganya dari tangan-tangan jahil. Hal ini juga berarti mendidik agar terhindar dari segala bentuk kekerasan.
2. Mengajarkan batasan dan privasi
Ketika anak-anak sudah diajarkan Batasan dan privasi mereka akan memahami area-area tertentu yang dilarang disentuh orang lain, atau dalam istilah lain disebut sebagai sentuhan aman-dan-sentuhan tidak aman.
Sebagaimana yang diketahui, setidaknya ada 4 daerah dilarang hukumnya disentuh oleh orang lain yaitu: Mulut, Dada, Kemaluan, dan Pantat.
Namun ada pengecualian jika sedang berobat, boleh disentuh oleh dokter dengan syarat wajib ditemani oleh orang tuanya atau orang yang dipercaya.
BACA JUGA: Catat! Ini Deretan Risiko Pernikahan Dini
3. Jawablah dengan jujur jika anak bertanya
Sering kali ketika ada anak yang bertanya “Ayah/Bunda kenapa aku disebut laki-laki?” orang tuanya menjawab “Sudah takdir nak”.
Padahal ketika anak bertanya hemat saya merupakan kesempatan emas mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
Misalnya dengan memberi jawaban: “Karena adik punya penis makanya disebut laki-laki”, sebaliknya bagi anak perempuan juga begitu.
Sebagai orang dewasa dan cukup umur sudah hendaknya mengingat satu hal bahwa anak-anak memiliki segudang pertanyaan yang musti dijawab dengan sebenar-benarnya.
Bayangkan, jika Anda menjawab pertanyaan anak dengan berbohong, kemungkinan besar akan menirunya di masa mendatang.
Anak-anak belajar berbohong dari orang tuanya, namun, terkadang tidak menyadarinya.
4. Mendidiknya agar asertif
Jika anak-anak banyak bertanya, orang tua mestinya menyambut dengan suka cita, berarti anak sudah berani berterus terang atau berani bicara (asertif).
Anak-anak yang sudah terbiasa dengan pola asuh terbuka biasanya ketika dewasa memiliki kepekaan dan mampu menghargai perbedaan pendapat.
Perlu disadari bahwa edukasi HKSR yang komprehensif (menyeluruh) merupakan seperangkat pengetahuan, yang didalamnya juga mengajarkan life skills (sikap asertif, sikap sosial dengan teman, keluarga dan lingkungan sekitar) dan pengetahuan mengenai keadialan dan kesetaraan.
Tujuannya, untuk mempersiapkan anak, dan kaum muda agar memiliki kemampuan dan keterampilan membuat keputusan dengan tepat bertanggung jawab terkait dengan kehidupannya demi mencegah perilaku berisiko.
Sebagai catatan akhir, penulis ingin mengajak kepada diri sendiri dan para pembaca agar memahami satu hal bahwa perkawinan anak juga menjadi permasalahan yang dibahas dalam pendidikan HKSR.
UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 juga telah meneguhkan bahwa pentingnya upaya pemerintah dan masyarakat untuk memenuhi akses informasi dan edukasi terkait akses layanan dan pengetahuan yang menyeluruh mengenai HKSR, termasuk menjangkau ke dalam pengasuhan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS