Kasus Ernawati di Makassar, Bukti Lembaga Kepolisian Anti Kritik

Hayuning Ratri Hapsari | Calvin Vadero
Kasus Ernawati di Makassar, Bukti Lembaga Kepolisian Anti Kritik
Ilustrasi seseorang di dalam penjara (Pexels.com/RODNAEproductions)

Tertangkapnya Ernawati, istri anggota polisi di Kota Makassar, Sulawesi Selatan baru-baru ini atas dugaan ujaran kebencian melalui media sosial memicu kekhawatiran akan pembatasan kebebasan berekspresi dan kritik terhadap institusi kepolisian.

Postingan TikTok Ernawati menampilkan foto tiga anggota polisi yang sedang bertugas di Polres Sinjai dan mengaku bertanggung jawab atas kematian kakaknya, Kahar, yang ditangkap polisi karena kasus pencurian pada tahun 2019.

Sementara oknum polisi yang terlibat membantah tuduhan tersebut. Ernawati terus angkat bicara, hingga berujung pada penangkapannya di Jakarta.

Kasus ini menuai kritik di masyarakat, banyak yang melihatnya sebagai indikasi yang jelas bahwa institusi kepolisian anti-kritik. Fakta bahwa suami Ernawati adalah anggota polisi dan Ernawati adalah anggota organisasi Bhayangkari (kelompok istri anggota polisi), juga semakin menambah rumit kasus ini.

BACA JUGA: CEK FAKTA: Ini Video Siaran Langsung Ferdy Sambo Dieksekusi Mati di Nusakambangan, Benarkah?

Bukan kali pertama institusi kepolisian di Indonesia dituding anti kritik. Kasus Kanjuruhan hingga Kasus Ernawati di Makassar telah cukup menjadi bukti bagaimana lembaga ini sangat anti-kritik.

Pemerintah telah menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) untuk menekan kebebasan berekspresi dan membungkam kritik, termasuk jurnalis dan aktivis.

Undang-undang ini dikritik karena terlalu luas dan tidak jelas, yang memungkinkan pihak berwenang untuk menafsirkan dan menerapkannya secara sewenang-wenang, sehingga merusak aturan hukum dan hak asasi manusia.

Para pengkritik institusi kepolisian berpendapat bahwa institusi tersebut memiliki sejarah penggunaan kekuatan yang berlebihan dan terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, terutama terhadap komunitas yang terpinggirkan seperti masyarakat adat, minoritas agama, dan lain-lain.

Mereka juga berpendapat bahwa lembaga tersebut tidak memiliki akuntabilitas dan transparansi, karena banyak kasus kebrutalan polisi dan korupsi dibiarkan begitu saja.

Kasus Ernawati menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah ini dan memastikan bahwa institusi kepolisian haruslah akuntabel dan transparan. Pemerintah harus mereformasi UU ITE dan memastikan tidak digunakan untuk menekan kebebasan berekspresi dan mengkritik.

BACA JUGA: Meninjau UU ITE dengan Teori Gustav Radbruch: Langgar Tiga Nilai Hukum?

Institusi kepolisian juga harus mengutamakan perlindungan hak asasi manusia dan supremasi hukum, serta meminta pertanggungjawaban anggotanya atas pelanggaran yang mereka lakukan.

Selain itu, lembaga kepolisian harus menerima kritik dan menggunakannya sebagai kesempatan untuk meningkatkan kinerjanya dan membangun kepercayaan dengan masyarakat.

Polisi harus mampu membedakan antara kritik yang sah dan ujaran kebencian, dan memastikan bahwa setiap tindakan yang diambil terhadap individu proporsional dan sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional.

Oleh karena itu, kasus Ernawati merupakan indikasi yang jelas bahwa institusi kepolisian anti-kritik, dan menyoroti kebutuhan mendesak untuk mereformasi UU ITE dan menangani masalah kebrutalan polisi dan pelanggaran HAM.

Sudah saatnya institusi kepolisian mengedepankan hak asasi manusia, akuntabilitas, dan transparansi, serta berupaya membangun kepercayaan dengan masyarakat yang dilayaninya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak