Pesta demokrasi memang selalu menjadi bahan paling populer sebagai perbincangan hangat di lingkup para politikus dan ruang-ruang sosial masyarakat. Kita tahu pemilu 2024 tinggal hitung beberapa bulan lagi, dalam tahapan penyelenggaraan pemilu 2024 nantinya awal bulan Juli nanti akan diumumkannya Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu tahun 2024.
Terlebih dari itu, setiap gerakan para politikus selalu saja ada bahan yang bisa jadi momok untuk diviralkan di media sosial. Sebut saja soal Anies Baswedan yang menyindir Ganjar Pranowo untuk adu gagasan bukan dengan adu lari, tapi respons yang ditunjukkan Ganjar atas aksi tersebut justru dengan mengenakan baju kaos yang bertuliskan “kalau mau sehat olahraga.” Secara tidak langsung, hal itu bisa saja diasumsikan saling menyindir satu sama lain meskipun masih kategori rendah. Tak terlupakan juga yang jadi hangat pembicaraan di jagat media, soal Jokowi Widodo yang ingin cawe-cawe dalam pemilihan presiden 2024 nanti.
Isu yang berkembang sampai detik ini soal pemilu 2024 bisa dibilang masih terhitung kecil, saat berkaca pada pemilu-pemilu sebelumnya ternyata ada penyakit pemilu yang sulit terhindarkan, baik itu Pilpres, Pemilu, bahkan Pilkada sekalipun, penyakitnya itu tak kunjung juga sembuh. Di antara penyakit tersebut saat musim pemilu, ialah:
Memainkan isu sara atau politisasi
Penyakit memainkan isu sara, ras, dan agama tentu sangat membahayakan karena dapat memecah-belah persatuan. Jika isu ini dimainkan saat pemilu nanti bisa saja hanya memundurkan demokrasi, terjebak dalam politik praktis, dan tentu dapat meruntuhkan nilai-nilai pancasila.
Kita tahu saat isu sara atau agama ketika dimainkan tentu sangat sensitif, bisa saja terjadi intoleransi yang tidak sehat dan tentu merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Meski sudah jelas terangnya kalau isu sara dilarang untuk dimainkan saat pemilu tiba, tapi kok kondisi demikian masih saja ada orang yang justru curi-curi kesempatan untuk melakukannya, dan bahkan sampai-sampai membawa dalih agama sebagai pembenaran. Memainkan isu sara kadang dianggap biasa saja dan masih menjadi penyakit yang tak disadari.
Money politik jelas bukan rahasia lagi kalau sudah menjadi penyakit setiap perhelatan pesta demokrasi, bukan hanya pada Pilpres, bahkan pada pemilihan kepala desa sekalipun praktek money politik marak terjadi. Walau secara aturan kalau praktek money politik itu dilarang, tapi seakan itu hanyalah aturan di atas kertas sementara dalam realitasnya dianggap biasa saja.
Gak heran memang, banyak para calon legislatif maupun eksekutif, lebih mengutamakan modal (uang) ketimbang kualitas. Artinya, ada uang berarti ada kesempatan besar untuk bisa membeli suara rakyat dengan money politik. Seakan money politik itu bukan hal haram dalam pemilu, money politik sudah mendarah daging merasuki pikiran. Sehingga tidak heran, kalau pembicaraan di masyarakat banyak terdengar yang akan di gadang-gadang bisa lolos ketika ia memiliki banyak uang tanpa melihat sisi kualitasnya.
BACA JUGA: Kawal Toponimi di IKN: Pohon Hayat dan Harapan untuk Masa Depan
Munculnya hoaks
Di era media sosial hari ini, penyebaran berita hoaks sudah sangat gampang terjadi. Memang tidak aneh saat momen pemilu tiba, munculnya hoaks kerap kali terjadi. Entah dengan tujuan ingin menjatuhkan lawan politik, ataupun adanya keinginan meraih kekuasaan dan menjatuhkan pihak lawan demi meraih sebuah kemenangan. Meskipun dengan cara yang gak benar, hoaks bisa saja dimainkan jika memang ada kesempatan dan momen untuk dilakukan.
Ada saja yang tidak netral
Tidak netralnya KPU, Bawaslu, pihak kepolisian dan TNI, tentu dapat mencederai pesta demokrasi. Tidak netralnya penyelenggara pemilu kerap menjadi permasalahan, bukan hanya lembaga penyelenggara tapi semua pihak yang tidak diperbolehkan sebagai tim pendukung jelas tidak disarankan.
Namun faktanya, masih banyak lembaga pemerintah yang tidak netral, baik itu dari KPU/Bawaslu bahkan seorang presiden sekalipun juga tidak boleh ikut memberikan intimidasi dalam Pemilu maupun Pilpres jika dirinya masih menjabat sebagai presiden atau kepala negara maupun kepala pemerintahan.
Rumitnya sistem
Rumitnya sistem pemilu juga kerap menjadi penyakit saat musim pemilu tiba. Kita tahu saat ini di Mahkamah Konstitusi (MK) belum ada keputusan terkait sistem pemilu proporsional terbuka ataupun proporsional tertutup. Meski begitu, pada momen pemilu tiba, rumitnya sistem selalu saja menjadi bahan perbincangan. Kerap juga terjadi sistem yang mudah sekalipun justru dibuat-buat rumit, entah karena ada kepentingan yang terselubung, entahlah.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS