Jika bicara mengenai pengalaman-pengalaman di sekolah, pasti sebagian besar akan menceritakan satu perilaku ini, membolos.
Jika ditanya mengapa, dalihnya adalah jenuh dengan pelajaran dan suasana di kelas, ada kegiatan yang lebih menarik di luar sekolah, atau alasan lain yang sebenarnya belum bisa dibenarkan untuk membela perilaku ini.
Di balik setiap siswa yang memilih untuk tidak masuk kelas, tersimpan kisah dan alasan yang beragam, mulai dari tekanan akademik yang berlebihan hingga masalah keluarga yang kompleks.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa seorang siswa yang cerdas dan berpotensi besar memilih untuk menyia-nyiakan waktu sekolahnya dengan membolos?
Apakah sistem pendidikan kita telah gagal dalam memberikan pengalaman belajar yang bermakna? Atau, apakah ada faktor lain yang lebih kuat yang mendorong mereka untuk mengambil jalan pintas ini?
Sering kali, membolos dipandang sebagai tindakan indisipliner yang harus dihindari. Namun, benarkah demikian? Apakah tidak ada kemungkinan bahwa di balik tindakan ini tersimpan pesan yang lebih dalam?
Mungkinkah membolos adalah cara siswa untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap sistem pendidikan yang dianggap tidak relevan atau terlalu menekan? Atau, bisa jadi ini adalah bentuk pemberontakan yang wajar bagi remaja yang sedang mencari jati diri?
Dalam sejarah, banyak tokoh besar yang pernah melakukan tindakan yang dianggap melanggar norma pada masanya. Apakah kita bisa menarik paralel antara tindakan mereka dengan perilaku membolos saat ini?
Mungkinkah ada beberapa siswa yang, seperti para pemikir revolusioner, sedang mencari cara untuk mengubah dunia dengan cara mereka sendiri? Atau, apakah membolos hanyalah bentuk pelarian yang tidak produktif?
Kurikulum yang dianggap terlalu teoritis dan jauh dari realitas kehidupan sehari-hari sering kali membuat siswa merasa bosan dan kehilangan motivasi.
Materi pelajaran yang tidak terhubung dengan pengalaman pribadi atau masalah sosial yang aktual membuat siswa sulit melihat relevansi antara apa yang mereka pelajari di sekolah dengan kehidupan mereka di luar sekolah. Akibatnya, mereka merasa bahwa sekolah adalah tempat yang membosankan dan tidak berguna.
Misalnya, seorang siswa yang bercita-cita menjadi seorang pengusaha mungkin merasa frustrasi karena kurikulum sekolah lebih fokus pada teori ekonomi yang abstrak daripada memberikan kesempatan untuk belajar tentang manajemen bisnis secara praktis.
Tuntutan akademik yang tinggi, seperti banyaknya tugas, ujian yang sering, dan ekspektasi orang tua yang tinggi, dapat memberikan tekanan yang sangat besar pada siswa. Tekanan ini dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan bahkan depresi.
Untuk menghindari tekanan tersebut, beberapa siswa memilih untuk menghindari sekolah dan semua tuntutan akademik yang menyertainya.
Seorang siswa yang sering menjadi korban perundungan mungkin merasa takut untuk pergi ke sekolah karena khawatir akan mengalami kekerasan fisik atau verbal.
Lingkungan belajar yang tidak kondusif, seperti adanya perundungan, diskriminasi, atau guru yang tidak peduli, dapat membuat siswa merasa tidak aman dan tidak nyaman di sekolah. Akibatnya, mereka cenderung menghindari sekolah karena takut mengalami perlakuan buruk atau merasa tidak diterima.
Ilustrasi lain, seorang remaja yang ingin diterima dalam suatu kelompok geng mungkin akan diajak untuk membolos bersama-sama. Meskipun dalam hati ia merasa tidak nyaman dengan tindakan tersebut, ia tetap melakukannya agar tidak dianggap berbeda oleh teman-temannya.
Tekanan dari teman sebaya memiliki pengaruh yang sangat besar pada perilaku remaja. Remaja sering kali merasa perlu untuk diterima dan diakui oleh kelompok teman sebaya mereka.
Jika kelompok teman sebaya tersebut menganggap membolos sebagai sesuatu yang keren atau menarik, maka remaja cenderung ikut-ikutan untuk melakukan hal yang sama.
Faktor lain yang turut memengaruhi perilaku ini adalah standar media sosial. Citra kesuksesan yang digambarkan di media sosial dan budaya populer sering kali tidak realistis dan dapat membuat remaja merasa tidak puas dengan kehidupan mereka.
Mereka melihat teman-teman mereka di media sosial yang tampak bahagia dan sukses, sementara mereka sendiri merasa terjebak dalam rutinitas sekolah yang membosankan. Akibatnya, mereka mungkin merasa terdorong untuk mencari pengalaman yang lebih menarik dan menantang, seperti membolos.
Contohnya, seorang remaja yang sering melihat teman-temannya di media sosial mengunggah foto-foto saat berlibur atau melakukan aktivitas yang menyenangkan mungkin merasa iri dan ingin merasakan hal yang sama.
Ia kemudian memilih untuk membolos agar memiliki waktu yang lebih bebas untuk melakukan hal-hal yang dianggapnya lebih menyenangkan.
Perilaku ini sering kali dipandang sebagai tindakan indisipliner yang semata-mata dilakukan karena malas atau ingin bersenang-senang.
Bagi banyak remaja, membolos adalah sebuah pernyataan, sebuah bentuk pemberontakan terhadap sistem yang mereka anggap terlalu kaku dan tidak relevan.
Ini adalah cara mereka untuk mengekspresikan ketidakpuasan terhadap tuntutan akademik yang tinggi, kurikulum yang membosankan, dan aturan-aturan yang dianggap membatasi kebebasan mereka.
Dalam konteks yang lebih luas, membolos bisa dilihat sebagai upaya remaja untuk mencari identitas diri mereka sendiri dan menolak label-label yang diberikan oleh masyarakat dewasa.
Lingkungan keluarga merupakan fondasi utama pembentukan karakter individu, termasuk siswa.
Dukungan penuh dari orang tua, seperti perhatian terhadap kehidupan sekolah anak, keterlibatan dalam kegiatan belajar, dan komunikasi yang terbuka, dapat menjadi benteng yang kuat bagi siswa untuk menghadapi tekanan dan godaan untuk membolos.
Sebaliknya, kurangnya perhatian atau dukungan dari orang tua, seperti ketidakhadiran orang tua dalam rapat orang tua atau kurangnya komunikasi yang efektif, dapat membuat siswa merasa tidak diperhatikan dan terdorong untuk mencari perhatian di tempat lain, termasuk dengan cara membolos.
Lingkungan sekitar, baik itu teman sebaya, komunitas, atau lingkungan masyarakat secara umum, juga memiliki peran yang signifikan dalam membentuk perilaku siswa. Teman sebaya yang sering membolos dapat menjadi pengaruh negatif bagi siswa yang rentan.
Begitu pula, lingkungan masyarakat yang kurang kondusif, seperti tingkat kriminalitas yang tinggi atau minimnya fasilitas umum, dapat membuat siswa merasa tidak aman dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu di luar sekolah.
Selain perbaikan sistem, pendekatan individual juga sangat penting. Sekolah dapat mengadakan program konseling untuk siswa yang bermasalah, baik yang terkait dengan akademik maupun sosial.
Keluarga juga perlu berperan aktif dalam memberikan dukungan emosional dan motivasi kepada anak. Komunikasi yang terbuka dan saling percaya antara orang tua dan anak sangat penting untuk mencegah dan mengatasi masalah membolos.
Solusi yang paling efektif adalah kombinasi antara perbaikan sistem pendidikan dan pendekatan individual. Sekolah perlu bekerja sama dengan orang tua, komunitas, dan lembaga terkait untuk menciptakan lingkungan yang mendukung bagi semua siswa.
Program-program pencegahan, deteksi dini, dan intervensi dini perlu dilakukan secara terintegrasi untuk mencegah siswa membolos dan membantu mereka yang sudah telanjur membolos untuk kembali ke sekolah.
Perilaku membolos bukanlah masalah sederhana yang dapat diselesaikan dengan satu solusi. Ini adalah masalah kompleks yang memerlukan pendekatan komprehensif dari berbagai pihak, mulai dari sekolah, keluarga, hingga masyarakat.
Mari kita bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi semua siswa, sehingga mereka dapat belajar dengan senang dan mencapai potensi terbaik mereka.
Setiap individu memiliki peran dalam mewujudkan perubahan ini. Mulai dari diri kita sendiri, kita dapat berkontribusi dengan cara yang sederhana, seperti memberikan dukungan kepada siswa yang membutuhkan, atau terlibat dalam kegiatan yang mendukung pendidikan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS