Pilkada Serentak 2024: Banyaknya Kotak Kosong, Indikator Kemunduran Demokrasi?

Hayuning Ratri Hapsari | Adinda Rabiki Mardiah
Pilkada Serentak 2024: Banyaknya Kotak Kosong, Indikator Kemunduran Demokrasi?
Ilustrasi calon tunggal kepada daerah melawan kotak kosong di Pilkada Serentak 2024. [Suara.com/Ema]

Pilkada serentak yang akan diadakan pada 27 November 2024 menuai sorotan. Sebagai imbas dari diadakannya Pilkada serentak, beberapa daerah yang seharusnya sudah melalukan pemilihan daerah akhirnya mengalami penundaan dan dipimpin oleh penanggung jawab yang pemilihannya dilakukan dengan cara ditunjuk oleh Pemerintah Pusat.

Pelaksanaan pilkada serentak ini diatur dalam Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 yang menyebutkan bahwa pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota di seluruh wilayah Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.

KPU sendiri berkeyakinan bahwa Pemilu yang diadakan serentak dengan Pilkada akan menghasilkan pemerintahan yang stabil.

Adalah benar bahwa hukum sering kali berjalan tidak sesuai dengan kenyataan. Pilkada serentak 2024 menghadapi permasalahan berupa banyaknya kotak kosong.

Fenomena kotak kosong ini merupakan indikator dari kemunduran demokrasi karena kondisi ini dapat dikatakan merupakan kondisi yang tidak ideal.

Keberadaan kotak kosong juga berimplikasi pada hilangnya adu gagasan antarcalon berakibat pada masyarakat yang tidak dapat memilih calon yang lain. Hal ini karena rasio kemenangan melawan kotak kosong sangat besar apabila dibandingkan melawan calon dari partai politik lain.

Salah satu faktor dari adanya kotak kosong ini adalah gemuknya koalisi yang dibuat, sehingga partai politik tidak dapat memenuhi treshold yang ditentukan.

Putusan MK Nomor:60/PPU-XXII/2024 tentang penurunan ambang batas pencalonan kepala daerah tidak serta merta menurunkan jumlah kotak kosong.

Dilansir dari Silon KPU, terdapat 41 daerah yang memiliki calon tunggal, mayoritas calon tunggal berada di pemilihan tingkat bupati/walikota sebanyak 35 daerah. Tingginya angka kotak kosong bahkan setelah Putusan MK yang telah menurunkan batas ambang menurut penulis disebabkan oleh berbagai faktor yakni:

Gemuknya Koalisi

Fenomena kotak kosong salah satunya dapat disebabkan munculnya koalisi dengan banyak partai politik di dalamnya. Koalisi ini pada akhirnya akan mengusung satu pasangan calon yang menyebabkan tersisa satu-dua partai yang apabila mereka bergabung pun tidak dapat memenuhi ambang batas pencalonan.

Kendati ambang batas tersebut telah diturunkan sayangnya partai politik belum mampu untuk mengusung calonnya. Gemuknya koalisi ini pun dapat dipengaruhi oleh peta politik nasional saat ini yang dikuasai oleh KIM Plus.

Kondisi perpolitikan nasional tampaknya memengaruhi kondisi politik daerah. Hal ini dikarenakan partai di daerah yang tergabung dalam koalisi KIM Plus pasti mengikuti saja apalagi ongkos politik di Indonesia dapat dikatakan cukup mahal.

Biaya mahal ini menyebabkan partai politik lebih memilih untuk mendukung petahana dengan kemungkinan menang cukup besar dibandingkan harus mengusung kadernya sendiri. Realitas politik saat ini lah yang menyebabkan hadirnya kartel politik.

Pemikiran partai politik yang pragmatis menjadi penyebab mengapa kartel politk dapat tercipta. Dalam kartel politik, semua partai politik mengincar keuntungan semata meskipun harus bertolak belakang dengan corak dan ideologi partai. Munculnya kartel politik ini mengakibatkan lemahnnya atau bahkan hilangnya persaingan dalam politik.

Kurangnya Kaderisasi

Sistem pengkaderan partai politik mesti mengalami perbaikan. Sebagaimana yang penulis ungkapkan sebelumnya, partai politik saat ini hanya mengicar kemenangan sehingga, tak jarang partai politik mengorbitkan public figure yang telah lama dikenal dibandingkan dengan kader partainya.

Buruknya kaderisasi tersebut sayangnya selalu dibiarkan sehingga berdampak pada buruknya kondisi demokrasi kita saat ini.

Tidak hanya berhadapan dengan calon tunggal, dalam memilih kepala daerah, masyarakat dihadapkan dengan mantan narapidana korupsi yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

Secara hukum, memang tidak ada hal yang dilanggar akan tetapi, secara etika hal ini tidak dapat diterima apalagi korupsi merupakan tindak pidana yang merugikan khalayak ramai.

Kaderisasi partai berpengaruh terhadap pencalonan koruptor. Hal ini dikarenakan, saat akan melenggang ke kontestasi pemilu maka, mereka mesti mendapatkan surat rekomendasi yang didapatkan dari partai politik.

Tingginya elektabilitas mantan napi koruptor turut memengaruhi pencalonan napi eks koruptor ini. Hal tersebut kian diperparah dengan fakta bahwa masih banyak masyarakat yang memilih berdasarkan siapa yang paling besar dalam memberikan amplop dan tidak peduli pada rekam jejak calon.

Gemuknya koalisi, biaya kampanye yang tidak murah, kurangnya kaderisasi partai politik, serta masyarakat yang belum melek politik menjadi faktor penyebab banyaknya kotak kosong dalam Pilkada 2024 saat ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak