Kabinet Zaken, Istilah Baru Cawe-Cawe?

Rendy Adrikni Sadikin | Adinda Rabiki Mardiah
Kabinet Zaken, Istilah Baru Cawe-Cawe?
Ilustrasi politikus.(Pixabay)

Pembagian kabinet selalu menjadi hal yang sangat menarik untuk diikuti setelah kontestasi pemilihan presiden. Prabowo Subianto selaku presiden terpilih menyatakan akan membuat proporsi kabinet zaken, komposisi kabinet yang diisi oleh para profesional. Pemerintahan yang diisi oleh profesional ini harapannya akan dapat berjalan secara efektif dan efisien dan bukan sebagai bagian dari politik balas budi. Namun, pascapengesahan revisi Undang-Undang 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara, harapan itu sepertinya sedikit menguap.

Politik Balas Budi

Perpolitikan Indonesia nampaknya telah karib dengan istilah politik balas budi. Iklim politik Indonesia yang multipartai dapat memengaruhi proporsi check and balances. Maklum,  hal ini dapat berpengaruh terhadap posisi mayoritas dan minoritas di pemerintahan. Koalisi Indonesia Maju alias KIM sebagai koalisi pemenang pilpres tampaknya khawatir dengan suara di luar parlemen. Alhasil, KIM Plus yang gemuk partai dapat tercipta.

Gemuknya koalisi menyalakan sirene peringatan apakah politik Indonesia ini akan berubah menjadi politik transaksional give and give. Iklim politik Indonesia saat ini sepertinya telah berubah menjadi “saya mendukung kamu, kamu beri saya jatah kursi”. Budaya minta jatah ini menjadi faktor yang membuat pembentukan kabinet zaken sulit untuk terealisasi. Wacana kabinet zaken tersebut bahkan dianggap sebagai gimmick politik belaka.

Pembentukan kabinet zaken akan menemui tantangan akibat adanya politik balas budi ini, bakal sulit untuk menolak permintaan elite partai politik terkait jabatan. Apabila kabinet ini dapat terealisasi pun dapat memicu masalah baru yakni, apakah kabinet tersebut dapat berjalan secara efektif apabila mengabaikan kepentingan partai politik. Apalagi realitas politik di Indonesia kini sangat dipengaruhi partai politik.

Hal ini tentunya menjadi sulit apabila membayangkan kinerja pemerintahan yang tidak mengindahkan kebutuhan partai politik. Apalagi, KIM Plus merupakan koalisi yang teramat gemuk. Tentunya, hal ini menjadi tantangan tersendiri untuk dapat menjalankan kabinet zaken tanpa memedulikan kepentingan partai politik.

Kabinet Zaken = Kabinet Kue?

Pengesahan rancangan undang-undang (RUU) yang mengubah beberapa ketentuan Pasal dalam Undang-Undang No. 39 tahun 2008 tentang Kementerian Negara tak pelak memantik polemik. Alasannya, Presiden jadi memiliki hak pregroratif dalam menentukan kementerian yang akan dibentuk dengan jumlah yang tidak dibatasi.

Pasal 15 telah mengalami perubahan dengan adanya perubahan jumlah kementerian yang dibentuk ditetapkan oleh presiden sesuai dengan kebutuhan penyelenggara negara dengan mempertimbangkan efisiensi dan efektivitas penyelenggara negara.

Tidak terdapatnya pembatasan mengakibatkan jabatan kementerian ini menjadi rawan untuk dijadikan ajang bagi-bagi kekuasaan apalagi, koalisi KIM Plus merupakan koalisi yang gemuk. Banyak pula partai politik di dalamnya. Alhasil, diperlukan sebuah ‘loyang kue’ yang cukup besar agar setiap pihak dapat terbagi.

Apabila pada akhirnya, pengumuman kabinet pemerintahan mendatang wacana kabinet zaken tersebut pada akhirnya hanyalah sebagai perubahan istilah semata dari istilah cawe- cawe menjadi istilah zaken.

Akan menjadi sebuah tantangan besar yang dihadapi oleh presiden terpilih dalam menyeimbangkan proporsisi antara teknokrat dengan politikus. Tidak dapat dipungkiri apabila, komposisi seimbang antara teknokrat dengan birokrat tidak dapat terbentuk akan menyebabkan jatuhnya pemerintahan ke tangan oligarki yang semakin melanggengkan nepotisme serta dinasti politik di Indonesia.

Apa itu Kabinet Zaken?

Kabinet zaken merupakan kabinet pemerintahan yang terdiri dari para ahli yang memiliki keahlian pada bidang tertentu. Para ahli dalam kabinet zaken dipilih tanpa mempertimbangkan keterlibatan politis mereka.

Disebutkan bahwa para ahli dari kabinet zaken biasanya tidak terikat parpol. Walau begitu, ada juga ahli dalam kabinet yang merupakan anggota parpol. Namun perlu ditegaskan bahwa mereka mendapat posisi sebagai menteri karena keahlian yang dimiliki

Kabinet zaken atau kabinet ahli  ini dibentuk tanpa campur tangan DPR karena bertanggung jawab langsung pada presiden. Para ahli dalam kabinet zaken ini bertugas menyelenggarakan konsitusi dalam pemerintah.

Sejarah Kabinet Zaken

Sejarah kemunculan kabinet zaken di Indonesia terjadi dalam Kabinet Natsir yang dibentuk pada 6 September 1960. Kabinet Natsir disebut sebagai kabinet zaken karena posisi menteri diisi oleh orang-orang profesional dan ahli, di antaranya ahli ekonomi dan keuangan terkemuka.  

Ketika itu dipilih Sjafruddin Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan dan Soemitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian. Selain itu Natsir yang merupakan kader Partai Masyumi tidak mengikutsertakan PNI dalam kabinetnya. Padahal kursi PNI di parlemen adalah kedua terbesar setelah Masyumi.

Natsir lebih memilih kerja sama dengan partai-partai kecil seperti PSI, PSII, PIR, Parindra, Partai Katolik, dan Fraksi Demokrasi. Hal itu juga berkat permintaan Sukarno sebagai kepala negara. 

Meski begitu, Kabinet Natsir hanya berumur singkat. Natsir mengembalikan mandatnya sebagai perdana menteri pada Soekarno setahun kemudian tepatnya pada 21 Maret 1951.

Kader PNI Wilopo juga pernah berupaya membentuk kabinet zaken dengan mengajak PSI, PSII, Parkindo, Parindra, Masyumi, Partai Katolik, dan Partai Buruh untuk berkoalisi. Namun nasib zaken Kabinet Wilopo sama dengan Kabinet Natsir yang hanya berusia satu tahun.

Namun Wilopo dan Natsir menghadapi permasalahan yang sama dalam kabinet zaken yakni mereka kehilangan dukungan mayoritas di parlemen. Partai-partai yang mulanya berkoalisi, menarik para menteri mereka. Dengan demikian Natsir dan Wilopo jadi mudah dilengserkan karena tidak punya dukungan kuat di parlemen.

Natsir dan Wilopo memang mengangkat menteri yang ahli di bidangnya. Namun bagaimanapun juga, menteri-menteri itu berasal dari parpol. Para menteri akan tunduk pada keputusan parpol masing-masing jika ingin keluar dari kabinet.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak