Indonesia sebagai negara dengan keanekaragaman hayati dan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, menghadapi rentetan tantangan serius dalam upaya perlindungan lingkungan khususnya mengenai mengekalnya praktik kriminalisasi terhadap para aktivis lingkungan. Sejumlah aktivis yang berjuang melawan perusakan lingkungan, deforestasi, dan pencemaran kerap menghadapi sejumlah ancaman, intimidasi hingga penindakan secara hukum.
Setelah hampir 15 tahun sejak diterbitkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih belum terlihat menampakan ketajiannya dalam memproteksi nasib dan masa depan lingkungan dihadapan kebijakan pemerintah yang bersifat destruktif dan eksploitatif.
Sejak terpilih kembali sebagai Presiden Republik Indonesia untuk periode kedua pada tahun 2019 lalu, pemerintahan Joko Widodo terus menghadapi berbagai persoalan dan pekerjaan rumah yang kompleks terkait isu lingkungan, sumber daya alam dan hak asasi manusia. Ketergantungan ekonomi pada industri ekstraktif dan ekspor komoditas primer dianggap sebagai salah satu faktor yang mempercepat kerusakan lingkungan dan krisis iklim (Greenpeace, 2021).
Ini terlihat dari sejumlah data yang menunjukan setidaknya terdapat 1.054 orang, terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, dan 11 anak-anak, yang diduga mengalami kriminalisasi akibat perjuangan mereka untuk lingkungan selama dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo (WALHI, 2024).
Memperkuat data tersebut, menurut catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), sepanjang tahun 2020 telah terjadi 8 kasus kriminalisasi terkait tambang yang melibatkan 69 orang. Laporan ELSAM tentang situasi pembela HAM lingkungan tahun 2019 juga mengingatkan bahwa tahun-tahun mendatang berpotensi penuh resiko bagi pembela HAM lingkungan. Ini terutama disebabkan oleh upaya pemerintah Indonesia untuk mempercepat arus modal dan investasi di daerah-daerah pedesaan melalui perubahan kebijakan dan hukum (ELSAM, 2019:38).
Meskipun bertentangan dengan undang-undang, upaya kriminalisasi semacam ini masih kerap terjadi. Karena itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dianggap perlu segera mengeluarkan regulasi pelengkap dan penyempurna yang dapat memproteksi para ahli dan aktivis lingkungan dari segala bentuk perbuatan yang membahayakan dirinya maupun orang sekitarnya.
Menanggapi desakan tersebut Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 10 Tahun 2024 yang secara garis besar berupaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap para pejuang lingkungan hidup secara lebih detail. Dalam regulasi tersebut, individu maupun kelompok yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang lestari mendapatkan jaminan hukum dari ancaman tuntutan pidana dan gugatan perdata. Kebijakan ini diambil sebagai langkah nyata untuk mendukung para aktivis, organisasi lingkungan, akademisi serta masyarakat adat yang kerap terlibat dalam advokasi lingkungan.
Menagih Hak Imunitas Pejuang Lingkungan
Jauh sebelum peraturan menteri a quo diterbitkan, landasan payung hukum terkait perlindungan terhadap semua pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sudah diatur cukup lengkap dalam sejumlah peraturan perundang-undangan. Namun, penerapannya di lapangan seringkali jauh dari harapan. Para pejuang lingkungan yang berupaya menangani kasus-kasus terkait pencemaran dan kerusakan lingkungan seringkali menghadapi ancaman serius seperti upaya gugatan Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) dari sejumlah pihak yang merasa terganggu.
Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP) merupakan jenis gugatan atau laporan yang dilayangkan oleh pihak-pihak kuat seperti perusahaan besar, pejabat, atau pelaku bisnis terkemuka dengan tujuan untuk menghentikan dan menggagalkan partisipasi publik dari individu atau organisasi non-pemerintah. Aktivis lingkungan hidup seringkali menjadi sasaran dari praktik SLAPP ini.
Di Indonesia, terdapat aturan yang mengatur secara yuridis-normatif tentang Anti-SLPP yang telah diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lebih lanjut, pengaturan mengenai Anti-SLAPP juga diatur dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 36/KMA/SK/II/2013 yang berisi Pedoman Penanganan Perkara Lingkungan Hidup. Selain itu, partisipasi masyarakat juga dijamin oleh Pasal 28E Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia serta regulasi terbaru yang telah diterbitkan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 beberapa waktu lalu.
Meski sejumlah payung hukum tersebut dirasa cukup lengkap dan dapat diimplementasikan secara efektif, pada tataran praktiknya pengaplikasian regulasi Anti-SLAPP di Indonesia masih belum sesuai dengan standar yang diharapkan, sehingga kasus SLAPP terhadap aktivis lingkungan masih sering terjadi. Ketentuan aturan terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup masih menuai sejumlah penafsiran yang berbeda-beda, akibat kurangnya aturan pelaksana yang membuat perlindungan hukum bagi para pejuang lingkungan hidup masih kurang efektif.
Tidak sedikit aktivis yang berjuang untuk kelestarian lingkungan justru menghadapi kriminalisasi dan pelanggaran HAM dalam perjuangan mereka. Oleh karena itu, penting untuk memperjelas kriteria dalam Pasal 66 UU PPLH agar masyarakat yang aktif dalam advokasi lingkungan mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.
Banyaknya kasus kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan hidup memperlihatkan bahwa partisipasi publik semakin terdesak. Ini dapat terlihat dari beragam upaya pemerintah dan pihak swasta yang berusaha menghalangi perlawanan publik, termasuk melalui substansi hukum dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 yang berpotensi mengurangi perlindungan hukum dan hak asasi manusia.
Menyikapi krisisnya kondisi perlindungan terhadap para pejuang lingkungan, terdapat sejumlah permasalahan mengapa ketentuan Pasal 66 UU PPLH belum berjalan efektif. Ada ketidakjelasan dalam beberapa aspek penting, seperti definisi, daya jangkauan, kriteria, dan cara penerapan Anti-SLAPP dalam sistem hukum kita. Hingga saat ini, belum ada regulasi pelaksana yang jelas untuk ketentuan Pasal 66 UU PPLH.
Selain itu, dari segi struktur dan budaya hukum, tak sedikit aparat penegak hukum yang belum memahami secara komprehensif isu lingkungan dan hak imunitas bagi para pejuang lingkungan. Bahkan setingkat kementerian dan lembaga terkait pun belum punya mekanisme koordinasi yang jelas mengenai Anti-SLAPP, sehingga semuanya masih terkesan terpisah-pisah.
Menanti Pembenahan, Melindungi Pejuang Lingkungan
Melihat kenyataan yang ada, perlindungan hukum bagi pejuang hak lingkungan hidup menjadi isu krusial dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia. Penting untuk mengarahkan pengaturan hukum di bidang lingkungan hidup menuju perkembangan hukum yang berorientasi pada kepentingan lingkungan. Ini termasuk memperhatikan perilaku subjek hukum lingkungan seperti aktivis lingkungan hidup.
Pemerintah maupun pihak swasta harus memahami bahwa kerusakan lingkungan adalah masalah bersama, bukan hanya urusan aktivis semata. Aktivis lingkungan bukanlah musuh atau penjahat yang harus ditangkap bahkan diadili dengan dalih pencemaran nama baik, penghasutan atau bahkan dituduh menyebarkan berita bohong (hoax) dan dijerat dengan UU ITE. Mereka seharusnya dilindungi oleh negara dan memastikan bahwa hak berpendapat dan berserikat harus menjadi prioritas negara, bukan membudayakan siklus penindasan terhadap mereka yang berjuang untuk kebaikan bersama.
Oleh karena itu, penting untuk menyempurnakan kekosongan dalam regulasi yang tersedia guna memproteksi para pejuang lingkungan dari upaya-upaya kriminalisasi. Bagaimanapun, Perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan hidup harus menjadi urgensitas dan fokus pemerintah karena berkaitan dengan komitmen bangsa Indonesia dalam melindungi dan menghormati hak asasi manusia bagi mereka yang berjuang mempertahankan lingkungan dari ambisi dan arogansi pengrusakan.