Salam sejahtera saya ucapkan kepada Bapak Presiden Republik Indonesia Jokowi selaku pemimpin negara ini. Sebelumnya, izinkanlah saya memperkenalkan diri terlebih dahulu. Saya adalah seorang ibu rumah tangga di sebuah kota di Jawa Timur. Meskipun saya hanya seorang ibu rumah tangga, saya tetap memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan di ruang publik.
Dengan demikian, salah satu media saya untuk membagikan hasil-hasil renungan saya adalah media Yoursay. Bak gayung bersambut, Yoursay selalu memiliki event-event menarik untuk terus membagikan pendapat, gagasan serta pemikiran melalui tulisan. Seperti halnya pada event Surat untuk Presiden: Refleksi 10 Tahun dan Harapan Kepemimpinan Mendatang.
Sebagai seorang ibu rumah tangga, saya pun juga seorang rakyat yang ingin suara dan pendapat kami didengar. Seperti yang kita ketahui bersama, Bapak, hari-hari ini berembus kabar mengenai pendidikan kita yang semakin mengkhawatirkan. Bahkan, salah satu media ternama, membuat headline berita berjudul miris yakni: ”Dunia Pendidikan Jadi Rapor Merah 10 Tahun Pemerintahan Jokowi”.
Embusan kritik juga datang beberapa waktu belakangan. Salah satunya datang dari Bapak Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12. Bahkan, Bapak Jusuf Kalla secara terbuka dan tajam mengkritik Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. Ada beberapa poin yang disampaikan. Antara lain Menteri Pendidikan seharusnya berpengalaman di bidangnya, yakni pendidikan. Kemudian, menteri pendidikan sekarang tidak pernah datang ke daerah, hingga kebijakan kurikulum merdeka belajar yang ternyata bermasalah.
Bukan cuma itu, Bapak Jusuf Kalla menyebut, kurikulum merdeka tidak cocok diterapkan di Indonesia. Negara kita dinilai tidak bisa mencontek dari negeri seperti Finlandia maupun Swedia untuk urusan pendidikan. Kita lebih cocok melihat contoh pendidikan di negeri seperti India, Cina, Jepang atau Korea. Salah satunya adalah sistem ujian nasional yang memang juga dihapus sejak kepemimpinan Nadiem.
Selain membaca dan mendengar berita kritik tajam Bapak Jusuf Kalla tadi, saya juga melihat sekeliling. Sebagai misal melalui media sosial dan kanal berita lainnya. Ada juga berita menyedihkan seperti ”Viral siswa SMP belum bisa membaca”. Mendengar berita ini, jujur saja, saya agak ragu dan tidak percaya. Hari gini nggak bisa baca? Apa tidak salah? Sudah pegang handphone atau gawai, masa iya tidak bisa “membaca”. Pikir saya dalam hati.
Selanjutnya, ada berbagai eksperimen sosial yang dibagikan konten kreator di media sosial tentang siswa-siswi yang diberikan pertanyaan “sederhana” dan diminta untuk menjawab. Pertanyaannya seputar singkatan, nama daerah, negara. Bukan jenis pertanyaan teoritis. Saya kira, ini adalah bentuk pertanyaan mengenai pengetahuan umum. Namun, sayangnya lagi-lagi, menghasilkan gambaran keprihatinan.
Mereka hampir rata-rata tidak bisa menjawab pertanyaan konten kreator tersebut. Padahal, mereka hanya diminta menjawab pertanyaan seperti: apa kepanjangan MPR, DPD, apa ibukota dari provinsi Jawa Timur, hingga sebutkan nama negara-negara di Eropa. Di luar dugaan, dari sepuluh anak yang didatangi, tampak hanya satu atau dua yang bisa menjawab.
Bapak Presiden, barulah saya percaya bahwa pendidikan Indonesia tidak baik-baik saja, saat suatu hari ada seorang pasangan suami istri bersama anak lelakinya, sekitar usia sekolah dasar datang ke rumah dan mencari suami saya. Kebetulan, suami saya sedang tidak ada di rumah. Setelah kembali ke rumah, suami saya menceritakan kedatangan pasangan suami istri tersebut. Rupanya mereka adalah orang tua, tetangga kami di desa beda dusun. Lalu, kenapa mereka mencari kamu? Saya tanya. Menurut suami saya, mereka sedang mencari sekolah lanjutan (SMP) untuk anak mereka tadi. Dan, rupanya ada hal yang membuat saya kaget lagi. Suami saya mengatakan bahwa anak mereka tadi belum bisa membaca.
Mengapa bisa tak dapat membaca sedangkan masa sekolah dasar hampir tamat. Barulah kemudian suami bercerita, di sistem pendidikan sekarang, tidak ada yang namanya tinggal kelas. Saya terkejut lagi-lagi. Memang kebetulan, suami saya hanya mantan guru sekolah dasar, sebelum sekarang terjun di dunia pertanian. Tentu saja, tidak ada banyak yang bisa kami perbuat untuk mereka. Saya pun berusaha paham, rupanya, berita di luar sana bukan sekedar viral.
Bapak Presiden yang kami hormati, Bapak pastilah mengingat, program yang diusung terlebih di periode ke-dua pemerintahan bapak, untuk membangun SDM unggul, berdaya saing, produktif, terampil menatap Indonesia Emas 2045. Alangkah baiknya saya juga menyampaikan apresiasi terlebih dahulu, keberhasilan pemerintahan bapak dalam upaya dan komitmen berpihak pada masyarakat miskin dan rentan untuk mengakses pendidikan. Program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP) terbilang sukses dan telah berdampak bagi lebih dari 1 juta mahasiswa.
Namun kiranya, untuk implementasi dalam bidang pendidikan dalam hal ini Kurikulum Merdeka, baiknya di masa pemerintahan mendatang, yakni pemerintahan Bapak Prabowo Subianto, perlu dikaji ulang. Saya meyakini, Kurikulum Merdeka punya niat dan tujuan baik. Namun pada kenyataannya, apa yang terjadi di lapangan, tak semudah membalikkan telapak tangan. Inilah mungkin yang menjadi jawaban kritik dari Bapak Jusuf Kalla, seharusnya Menteri Nadiem sering datang turun lapangan, ke daerah-daerah.
Kurikulum Merdeka memiliki tujuan seperti pengembangan kompetensi siswa sesuai dengan minat, kebutuhan, fleksibilitas pembelajaran, evaluasi berfokus proses, hingga kemandirian siswa. Namun apakah sistem pendidikan luar negeri sungguh dapat diterapkan di Indonesia? Pasalnya, mengadopsi sistem pendidikan barat ke timur—Indonesia, tidak dapat serta merta. Utamanya, karena kita berada di konteks yang berbeda.
Masyarakat di barat, seperti di Amerika, punya karakter dalam pola asuh anak, misalnya sejak kecil sudah diajarkan mandiri, tidur sendiri padahal masih kecil dan lainnya. Mereka cenderung membebaskan anak-anak dan terlihat mandiri. Ini bisa kita lihat di tayangan media seperti film dan televisi. Sementara pola asuh di Indonesia, jika menggunakan contoh sama (meski ada banyak faktor) anak-anak masih tidur bersama orang tua, ketika masih balita hingga anak-anak pun terkadang masih mendapatkan sentuhan seperti digendong atau dimandikan. Bukan maksud untuk membandingkan sistem barat dan timur, namun kita bisa tarik sebuah analisa.
Dengan demikian, menurut hemat saya, dari analisa karakter dan pola asuh di barat dan timur, sekarang kita bisa membayangkan, apakah anak-anak Indonesia 100 persen bisa terpacu belajar sendiri atas kemauan sendiri tanpa ada yang namanya PR (Pekerjaan Rumah)? Atau, mereka tetap akan belajar meski besok tidak ada ulangan atau ujian? Jawabannya saya rasa belum tentu. Tetapi menurut saya, hal-hal seperti inilah melekat pada masyarakat kita.
Bapak Presiden yang saya banggakan, saya kira selama kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi, Bapak meluncurkan program-program kerja yang masih berkesinambungan dengan program kerja presiden sebelumnya. Saya pun meyakini, di masa pemerintahan Bapak Presiden Prabowo juga akan melakukan kesinambungan itu. Alhasil, program kerja untuk masyarakat tidak bergonta ganti dan terkesan berdiri sendiri. Begitu pula dengan program-program di bidang SDM, pendidikan.
Saya kira perlu ada kajian budaya untuk memastikan karakter masyarakat Indonesia dalam kaitannya implementasi kebijakan pendidikan. Harapannya, di masa pemerintahan mendatang, Kurikulum Merdeka jika dilanjutkan perlu dikaji ulang dan diimplementasikan sesuai dengan konteks budaya masyarakat Indonesia. Kemudian, barulah mempersiapkan sarana-prasarana pendukung baik dari segi fisik maupun sumber daya manusianya. Pendidikan tentulah harus mendapatkan perhatian secara seksama, lantaran ”mencerdaskan kehidupan bangsa” telah menjadi amanat UUD 1945.