Menilik Program Peningkatan Kualitas Gizi Anak di Era Jokowi dan Prabowo

Hernawan | hanifati radhia
Menilik Program Peningkatan Kualitas Gizi Anak di Era Jokowi dan Prabowo
Ilustrasi anak makan bekalnya [Pexels/Katerina Holmes]

Kepada Yth. Presiden Republik Indonesia Periode 2019 – 2024

Joko Widodo (Jokowi),
di tempat,

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Perkenalkan, saya adalah seorang ibu rumah tangga di Jawa Timur. Sebelumnya, saya ingin mengapresiasi dengan mengucapkan terima kasih terhadap jasa besar, pengabdian dan kerja keras terhadap Bapak Presiden Joko Widodo selama kurang lebih 10 tahun ini. Pada kesempatan ini pula, saya juga ingin menyampaikan selamat bertugas dan mengemban amanah terhadap presiden terpilih Bapak Prabowo Subianto. Kita saksikan bersama, transisi pemerintahan tengah berjalan dan hari-hari menuju pemerintahan baru sudah di depan mata.

Seperti yang kita ketahui bersama Bapak Presiden, bahwa waktu 10 tahun bukan waktu yang singkat untuk memimpin dan membawa suatu bangsa menuju cita-cita dan tujuan. Saya yakin, cita-cita bangsa masih terus diupayakan, seperti misalnya mencapai Indonesia pada usianya 100 tahun atau di tahun 2045.

Pada bidang SDM (Sumber Daya Manusia) misalnya, tak semudah seperti membangun infrastruktur. Bapak Presiden tentu pernah mendengar informasi bahwa 41% anak usia sekolah di Indonesia pergi ke sekolah dengan perut kosong. Hal ini telah diungkapkan oleh Hashim Djojohadikusumo, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, dalam Dialog Nasional Program Makanan Bergizi. Lebih lanjut, berdasarkan data Kementerian Kesehatan, sebanyak 18 juta anak setiap harinya berangkat sekolah tanpa sarapan. Melewati kegiatan sekolah yang cukup lama dan berat dengan keadaan belum sarapan, tentunya berdampak pada performa dan kesehatan mereka.

Lantas, apa hal ini begitu mengkhawatirkan? Tentu saja jawabannya iya. Hal ini karena sarapan merupakan bahan energi pertama untuk kita beraktivitas, terutama anak-anak. Selain itu, kebutuhan seperti protein, karbohidrat untuk tubuh juga didapat dari sarapan (makanan bergizi). Energi yang cukup membantu untuk proses belajar dan konsentrasi.

Saya kira, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi program andalan kala kampanye Presiden terpilih Prabowo Subianto beserta wakilnya Gibran Rakabuming Raka, punya maksud dan tujuan kesana.

Selain itu, manfaat lainnya dari program tersebut seperti meringankan beban orang tua peserta didik, meningkatkan gizi anak, hingga menggerakkan ekonomi lokal dan harga pangan yang stabil. Menurut informasi beredar, sebesar Rp15.000/anak yang akan dialokasikan untuk program. Terbaru, DPR telah mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 dengan anggaran Program Makan Bergizi Gratis (MBG) sebesar Rp 71 triliun. Bukan jumlah yang sedikit tentunya.

Akan tetapi Bapak presiden, sebagai rakyat biasa, saya justru punya kekhawatiran terhadap program tersebut. Saya pun berusaha mencari tahu mengenai program makan di sekolah. Sebelum mendapatkan informasi tentang program serupa di luar negeri, ternyata saya terkesan.

Rupanya program milik presiden terpilih Bapak Prabowo tadi bukan sesuatu hal baru di Indonesia. Sebut saja program donasi dari pihak NGO, pihak swasta yang membuat penggalangan dana dan menyalurkannya dalam bentuk sarapan bergizi atau makanan bergizi yang diberikan pada anak-anak sekolah. Bahkan telah ada sejak kepemimpinan Bapak Presiden Jokowi, melalui Kemendikbud yang kala itu dijabat oleh Muhadjir Effendy sebagai Mendikbud-Ristek periode 2016-2019. 

Adapun program makan bersama di sekolah dasar (SD) tersebut bertajuk “Program Gizi Anak Sekolah (Progas)”. Progas ini dicetuskan pertama kali pada tahun 2015, dimulai tahun 2016 di empat kabupaten, yaitu di tiga kabupaten di NTT dan satu kabupaten di Banten. Selanjutnya, pada tahun 2017 penerapan Progas meluas di 11 kabupaten di lima provinsi, pada tahun 2018 bertambah menjadi 64 kabupaten di 20 provinsi. 
Berbeda dengan Progas, MBG akan diterapkan di seluruh Indonesia. 

Program Makan Bergizi Gratis dan Tantangan Ketahanan Pangan

Artinya, dari singkat uraian di atas, program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sesuatu yang baru bagi pemerintahan mendatang. Dengan transisi pemerintahan antara Bapak Presiden Jokowi dan Bapak Prabowo, komunikasi intensif, saya meyakini Anda telah berdiskusi terkait hal ini dan hal lainnya tentang keberlanjutan program Indonesia ke depan. Melihat kebutuhan harian untuk program ini tidak sedikit, misalnya pangan seperti beras, susu dan daging.

Tak pelak program ini akan berpotensi mengalami lonjakan impor pangan jika kebijakan salah arah. Contohnya di negara Brasil, anggaran makan siang gratis di sana mewajibkan 30 persen mengambil pasokan dari petani lokal. Bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana ketahanan pangan selama ini? Tak perlu melihat jauh, kebutuhan susu (yang juga menu dalam program MBG) di negeri kita ini saja masih sangat bergantung pada impor. Selama puluhan tahun Indonesia sangat bergantung pada susu impor.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) produksi susu sapi perah lokal hanya mampu mencukupi sekitar 20 persen. Dengan demikian sekitar 80 persen kebutuhan susu nasional harus dipenuhi oleh impor dari Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. Mirisnya lagi, Peternak lokal dibiarkan bersaing secara bebas dengan susu impor yang sebagian besar didominasi susu  kering atau skim bubuk.

Pertama, saya berharap program Makan Bergizi Gratis ini efektif dan tidak menghabiskan anggaran dengan sia-sia. Kedua, semoga ada dampak semacam “multiplier effect” yang dirasakan di wilayah. Misalnya pemerintah tak semata ketergantungan terhadap bahan-bahan pangan impor, namun mengandalkan bahan pangan dari petani dan hasil bumi setempat. Warga atau komunitas sekitar bisa dilibatkan dengan membuka lapangan pekerjaan. Misalnya, ada juru masak dari wali murid atau ibu-ibu rumah tangga sekitar sekolah.

Dengan demikian, guru dan tenaga pendidik tidak kerepotan soal urusan makanan. Dengan demikian, pemantauan juga dapat dilakukan bersama-sama.

Berikutnya, sesuai anggaran yang dialokasikan, menu makanan juga tak asal-asalan. Sekadar memenuhi atau mencukupi biaya yang tersedia. Tentu harus ada indikator dan terpenuhinya gizi, karena judul programnya "makan bergizi" bukan sekedar "makan siang".

Selain itu, perlu dipertimbangkan anak-anak yang memiliki alergi dan resikonya. Ini berkaitan dengan pernyataan sebelumnya, jika ada ahli gizi pemantaunya, maka bisa direkomendasikan mana yang sesuai dan tidaknya. Keempat, perlu diperhatikan limbah makanan yang dihasilkan dari program ini.

Sebagai seorang rakyat sekaligus ibu, saya berupaya melihat sisi positif program MBG bagi anak-anak di Indonesia, serta calon anak-anak yang masih di rahim ibu. Namun semua itu bergantung pada arah kebijakan dan implementasi di lapangan. 

Saya sampaikan apresiasi terimakasih kepada Bapak Presiden Jokowi telah mencetuskan program-program upaya peningkatan gizi anak sekolah (seperti Progas) dan kelak program yang akan datang (MBG) juga akan dilanjutkan oleh Bapak Presiden terpilih Prabowo. Serta akan menjadi program yang akan lebih baik lagi dari program sebelumnya. Semoga. 

Wassalammualaikum Wr.Wb.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak