Masalah geng motor di Tasikmalaya bukanlah isu musiman. Ini merupakan fenomena akut yang perlu segera diselesaikan hingga ke akar masalah. Oleh sebab itu, kasus ini tidak boleh sampai diendapkan atau bahkan dibiarkan hingga memudar ditelan zaman.
Masyarakat masih menunggu langkah progresif apa yang akan diambil baik oleh Pemerintah Daerah maupun aparat penegak hukum (kepolisian) dalam menyikapi peristiwa ini selain dengan menindak para pelaku yang terlibat dalam kasus yang menewaskan seorang remaja beberapa waktu lalu.
Umumnya karakteristik perilaku dan kejahatan yang dilakukan oleh geng motor kerap didominasi oleh sekelompok anak muda atau remaja. Selama masa ini, remaja rentan mengalami krisis yang dapat memicu mereka untuk berperilaku menyimpang. Dalam kondisi ekstrim, perilaku tersebut dapat menjadi gangguan bahkan bersifat destruktif salah satunya terlibat geng motor.
Sebagian besar geng motor awalnya adalah kelompok yang berkumpul untuk mencari pengalaman baru dan menyalurkan semangat mereka. Dari kegiatan yang semula netral dan menyenangkan, perilaku mereka perlahan berubah menjadi semakin liar dan tak terkendali. Akhirnya, aksi-aksi mereka bertransformasi menjadi tindakan kekerasan dan kriminal.
Selain melakukan konvoi, mereka juga kerap berkendara secara ugal-ugalan di jalan, sesekali menggunakan berbagai atribut dan identitas kelompok, serta mengeluarkan suara knalpot bising, yang jelas mengganggu pengguna jalan lainnya. Para pelaku tidak hanya menciptakan keributan dan menyebarkan ketakutan, tetapi juga merampas harta benda dan bahkan tega menghilangkan nyawa orang lain.
Membongkar Akar Masalah
Sosiolog Modern, Emile Durkheim, mengatakan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang umum. Artinya, kejahatan akan selalu ada dalam masyarakat sebagai produk dari interaksi sosial yang berseberangan.
Selain karena faktor internal pribadi pelaku, tingkat pengangguran tinggi, pengaruh lingkungan yang negatif serta rendahnya pemahaman dan pengabaian terhadap norma merupakan sejumlah indikator yang mempengaruhi tingkat kejahatan terjadi.
Oleh karena itu, dalam menanggapi tindakan pelanggaran hukum oleh geng motor, terdapat relevansi yang kuat antara lemahnya ikatan individu dengan lingkungan keluarga, pendidikan serta perilaku melanggar hukum yang ditunjukan oleh remaja anggota geng motor.
Ketika seseorang berada dalam kondisi ketidakmampuan untuk mengendalikan diri, ditambah dengan lingkungan sosial yang tidak efektif dalam mengawasi, potensi perilaku menyimpang cenderung mudah muncul.
Dalam teori kontrol sosial, penyimpangan perilaku yang melanggar hukum dapat terjadi salah satunya akibat dorongan untuk memenuhi keinginan individu yang muncul dari ketidakmampuan mereka mengendalikan diri serta kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan norma yang ada di masyarakat, termasuk norma dalam keluarga, lingkungan pendidikan dan kelompok sosial tempat mereka berada.
Menanti Terbitnya Perda
Menjelang kontestasi Pemilihan Walikota dan Wakil Wali Kota (Pilwalkot) 2024 mendatang, Tasikmalaya masih menghadapi sejumlah tantangan dan segudang pekerjaan rumah yang belum usai.
Selain isu pemerataan pembangunan, pengelolaan sampah, kemiskinan dan lapangan kerja, masalah kriminalitas yang melibatkan kelompok geng bermotor menjadi isu serius yang perlu mendapatkan atensi khusus dari para pemangku kebijakan saat ini.
Sebagai konsekuensi dari prinsip otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan kewenangan secara atribusi untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 236 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Oleh sebab itu, menyikapi situasi darurat terkait maraknya geng motor yang terjadi saat ini, seharusnya menjadi sinyal bagi Pemerintah Daerah dan DPRD untuk menyelesaikan masalah ini melalui berbagai pendekatan, salah satunya dengan membentuk produk hukum berupa Peraturan Daerah.
Mengapa langkah menerbitkan Perda itu penting dan bukankah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah lama mengatur menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku dari kelompok geng motor?
Berbeda dari produk hukum di atasnya, Perda mempunyai karakteristik khusus yang seragam dengan tempat atau wilayah berlakunya. Sifat otentiknya itulah yang diharapkan dari Perda guna mengakomodasi semua kepentingan tanpa mengesampingkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
Perda harus di-desain berdasarkan prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Tidak boleh mengesampingkan prinsip dengan alasan kedaruratan. Libatkan semua pihak termasuk akademisi dan ahli yang relevan dengan masalah yang sedang terjadi.
Namun apakah dengan pemberlakuan Perda saja dapat dipastikan memberikan dampak yang signifikan dalam menekan tingkat kriminalitas yang ditimbulkan oleh geng motor? Belum tentu.
Mengapa demikian, merujuk pada teori efektivitas hukum dari Lawrence M. Friedman, untuk dapat memastikan sejauh mana suatu sistem hukum dapat berlaku secara efektif dan implementatif, maka setidaknya ia harus lebih dahulu memenuhi ketiga unsur, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Ketiganya tidak boleh saling terfragmentasi, tetapi harus saling berkaitan satu dengan lainnya. Jadi, meskipun Perda telah dirancang sebaik mungkin, jika tidak didorong dengan pembenahan struktur dan budaya hukum pendukung, maka tujuan yang diharapkan oleh Perda tersebut tidak dapat dengan mudah diimplementasikan.
Membangun Peran Kolaborasi
Sebagai upaya meningkatkan efektivitas hukum dalam menanggulangi tindak kejahatan yang dilakukan oleh kelompok geng motor, maka perlu untuk mempersiapkan struktur dan budaya hukum yang sesuai dengan apa yang digariskan oleh substansi hukum baik itu Perda maupun produk hukum lainnya.
Secara yuridis, tindakan yang dilakukan oleh kelompok geng motor sudah termasuk dalam ranah hukum pidana, sehingga perbuatan para pelaku tidak hanya dianggap sebagai pelanggaran, tetapi juga dikategorikan sebagai kejahatan. Oleh karena itu, sangat penting bagi aparat penegak hukum untuk melakukan sejumlah langkah dan strategi yang efektif dan rasional dalam menekan kasus serupa terjadi kembali di Tasikmalaya.
Menyikapi situasi yang tengah terjadi, para ahli berpendapat bahwa motivasi remaja dalam melakukan pelanggaran hukum sangat berbeda dibandingkan dengan orang dewasa, sehingga pendekatan yang dilakukan pun harus berbeda dan bersifat khusus.
Terkait dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh geng motor, penting untuk memperhatikan kelemahan penerapan sanksi pidana serta aspek perlindungan generasi muda. Oleh karena itu, sarana non-penal perlu dipertimbangkan dengan cermat.
Maraknya kejadian tindak kejahatan yang dimotori oleh perilaku kenakalan remaja yang tergabung ke dalam sebuah geng motor merupakan masalah serius, dan bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab sepihak dari kepolisian sebagai aparat penegak hukum.
Meskipun institusi bhayangkara tersebut diberikan tugas oleh konstitusi untuk menciptakan ketertiban, rasa aman dan kondusifitas di lingkungan masyarakat, namun setiap orang baik sebagai individu maupun kelompok mempunyai andil yang sama dalam memutus mata rantai siklus kekerasan yang dilakukan oleh geng motor.
Karena kejahatan yang dilakukan oleh geng motor seringkali melibatkan remaja, maka penting bagi kita untuk berperan aktif dalam menyelesaikan masalah ini, mulai dari lingkungan terdekat, seperti keluarga. Penting bagi orang tua untuk menjalin komunikasi yang baik dan memperhatikan tingkah laku anak, termasuk mengetahui di mana mereka bergaul, dengan siapa, dan kegiatan apa yang mereka lakukan.
Selain itu, peran pengawasan dari lingkungan masyarakat RT/RW serta sekolah sangatlah penting. Masyarakat dan sekolah perlu proaktif dalam memberikan edukasi serta mendorong siswa untuk menyalurkan energi mereka ke aktivitas positif, seperti olahraga, musik atau kegiatan akademik lainnya.
Apabila lingkungan terdekat sudah terkelola dengan baik, langkah selanjutnya bagi aparat penegak hukum adalah dengan memperkuat pengawasan dan penindakan. Ini bisa dilakukan baik melalui patroli rutin maupun razia gabungan bersama TNI dan Satpol PP di sejumlah lokasi yang berpotensi menjadi tempat berkumpul dan beraksinya geng motor, terutama pada malam akhir pekan.
Sebagai tambahan, beberapa ruas jalan di Tasikmalaya masih tergolong gelap dan minim pencahayaan, yang jelas membahayakan para pengendara yang melintas. Oleh karena itu, pemerintah perlu menambah tiang-tiang lampu penerangan dan memasang kamera pengawas (CCTV) di sejumlah titik strategis yang potensial di Tasikmalaya sebagai langkah pencegahan yang maksimal.