Tak dipungkiri bahwa kian hari kehidupan semakin serba instan. Berpergian, berbelanja bahkan soal makan-pun tinggal pesan via gawai. Perasaan ini yang mungkin saja membuat generasi kita mager untuk melakukan banyak hal dengan cara konvensional.
Eksesnya, cara kita bekerjapun akhirnya ingin dengan jalan yang santai dan mendapatkan uang secara cepat dan instan. Dan judi online adalah salah satu dampak negatif dari kompleksitas benang kusut ini semua. Mereka merasa bahwa judi merupakan cara yang singkat untuk mendapatkan penghasilan. Jadi ada pergeseran fungsi judi yang semula hanya sebatas kesenangan kemudian merubah jarum kompas menjadi profesi bahkan sumber utama pendapatan.
Tapi mereka seringkali lupa bahwa dunia perjudian adalah permainan yang harus siap kalah, bukan siap menang. Potensi kekalahan jauh lebih besar ketimbang kemenangan itu sendiri. Buktinya, banyak sekali kawan yang prustasi ketika kalah bermain judi lalu menyesal.
Dan salah satu tingkah yang pertama kali dilakukan oleh orang yang kalah ialah dengan menghapus riwayat pencarian yang mengarah ke situs judi online, kemudian memutuskan koneksi ke aplikasi pendukung seperti mobile banking. Namun hal itu hanya terjadi beberapa saat, hingga keesokan harinya ia kembali meng-install ulang dengan alasan rasa penasaran.
Maxwin syndrome merupakan terminologi pergaulan yang mengungkapkan perasaan yang tak sedikit pejudi rasakan ketika mengetahui bahwa ia mendapatkan banyak uang dari kemenangan. Kekagetan ini banyak dijumpai di sirkel tongkorongan perjudian. Karena merasa bingung mau diapakan uang sebanyak itu maka salah satu cara menghabiskannya ialah dengan jalan hura-hura (hedonisme) dan sebagian mereka sisihkan untuk deposit modal judi kemudian.
Ini telah menjadi sinyal ketakutan kita bersama bahwa jika siklus ini diabaikan sampai berdampak berkepanjangan maka cepat atau lambat bom waktu “kemaksiatan digital” siap untuk meledak dan menghancurkan masa depan generasi kita selanjutnya. Kita tidak ingin akan ada banyak korban yang terlarut dan dibuai oleh kesenangan palsu semacam ini. Kita tak ingin juga menjadi generasi yang tenggelam dalam lautan hutang, terjebak di atas meja perjudian dan berakhir dengan penyakit menular akibat seks bebas akibat prostitusi online.
Ini bukanlah spekulasi tak mendasar, tapi fakta dan data yang menunjungkan bahwa tak sedikit beragam kejahatan timbul karena diakibatkan oleh perjudian. Entah itu pencurian, penadahan, perampasan bahkan hingga pembunuhan. Betapa dahsyatnya dampak yang ditimbulkan dari perjudian. Bahkan dalam konteks “kemaksiatan digital”, judi online seringkali terkoneksi dengan beragam bentuk kejahatan. Oleh karena itu, Pemerintah sebagai pihak yang memiliki otoritas seharusnya berperan jauh lebih responsif dalam membenahi semua kekacauan ini.
Jika kita berbicara dalam konteks substansi hukum, aturan yang berlaku sudah cukup lengkap dalam mengatur persoalan judi online, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Namun yang menjadi benang kusut permasalahan bukan soal substansi hukum, melainkan aspek struktur dan budaya hukum.
Dengan cara apapun jika yang ditindak hanya para pemainnya saja maka jangan harap efektifitas penegakan hukum sebagaimana yang diharapkan dalam teori efektifitas hukum dari Prof. Soerjono Soekanto maupun Lawrence M. Friedman akan terlaksana. Semuanya hanya akan sia-sia dan tidak akan memberikan efek jera.
Jika Pemerintah memang ingin serius dalam menyelesaikan permasalahan ini, maka selesaikanlah dari hulu, bukan hanya hilir. Bongkar akar permasalahan yang menjadi sumber utama lingkaran setan digital ini berasal. Libatkan seluruh sektor pemangku kepentingan dan kelompok masyarakat yang akan terdampak serta ciptakan regulasi yang sehat dan berkeadilan agar masyarakat tak terinveksi wabah “kemaksiatan digital.”