Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas

Hikmawan Firdaus | Sabit Dyuta
Mengemis Digital di TikTok: Ketika Harga Diri Menjadi Komoditas
ilustrasi para pengemis digital di TikTok (TikTok/Tangkapan Layar)

Akhir-akhir ini, platform media sosial TikTok diramaikan dengan tren yang memprihatinkan, yang mungkin bisa kita sebut dengan istilah "mengemis digital."

Ini merupakan tren yang melibatkan berbagai kalangan, dari pengangguran, petani, hingga ibu rumah tangga, yang rela melakukan hal-hal absurd untuk mendapatkan "donasi" dari penonton.

Namun, apakah ini sekadar bentuk hiburan yang berkembang di dunia maya, atau justru mencerminkan penurunan moral masyarakat?

Salah satu contoh yang sempat viral setahun lalu adalah tren "mandi lumpur" di live TikTok. Para pengguna, tanpa ragu, mengunggah video mereka dengan mengguyur air lumpur ke badannya, seolah-olah ini adalah suatu bentuk hiburan yang layak ditonton dan didanai. 

Dan baru-baru ini, muncul lagi tren "goyang sadbor," di mana ini dipopulerkan oleh seorang pria bersama teman-temannya, yang berjoget ria dengan gerakan menyerupai ayam yang sedang mematuk.

Anehnya, masyarakat justru antusias memberikan donasi kepada mereka, seakan-akan tindakan ini adalah sesuatu yang lucu dan pantas diapresiasi.

Apa yang mereka lakukan jelas mencerminkan degradasi moral dan kreativitas yang terdegradasi. Banyak orang yang sebelumnya bekerja sebagai petani, kuli bangunan, atau ibu rumah tangga, kini beralih profesi menjadi penghibur digital demi mendapatkan uang dengan cara yang lebih mudah.

Mereka rela mempertaruhkan martabat dan harga diri demi meraup donasi hingga ratusan ribu rupiah sehari, hanya dengan berjoget atau melakukan hal-hal konyol. Ini jelas menunjukkan lunturnya etos kerja dan preferensi mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang.

Sayangnya, tren ini tak hanya merusak kreativitas masyarakat, tapi juga menciptakan distorsi nilai-nilai di tengah masyarakat. Banyak orang yang menganggap bahwa melakukan hal-hal memalukan demi mendapatkan donasi adalah sesuatu yang "lucu" dan "menghibur."

Padahal, kalau dibiarkan, tren ini dapat membawa dampak buruk, terutama bagi generasi muda yang rentan terpengaruh. Mereka bisa kehilangan motivasi untuk bekerja keras dan membangun masa depan yang lebih baik, karena tergiur dengan kemudahan mendapatkan uang melalui mengemis digital.

Kemungkinan, untuk menghadapi tren ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak, yaitu pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat itu sendiri.

Pemerintah bisa membuat regulasi yang lebih ketat untuk mencegah praktik mengemis digital, hingga membuka lapangan pekerjaan untuk semua kalangan masyarakat. Sementara platform media sosial perlu memperketat pengawasan terhadap konten yang merusak moral.

Yang terpenting, masyarakat harus kembali menanamkan nilai-nilai positif, seperti etos kerja, kreativitas, dan rasa hormat terhadap diri sendiri.

Media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk tujuan yang lebih konstruktif, sehingga tren "mengemis digital" di era media sosial ini dapat dihentikan dan digantikan dengan aktivitas-aktivitas yang lebih bermanfaat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak