Masyarakat Indonesia masih kental dengan budaya "menutup aib" ketika terjadi kasus kehamilan di luar nikah. Solusi yang kerap ditempuh adalah menikahkan kedua belah pihak, tak peduli usia mereka masih belia atau belum memiliki kesiapan mental dan finansial.
Pernikahan ini dianggap sebagai satu-satunya bentuk pertanggungjawaban yang bisa diterima secara sosial dan agama. Namun, benarkah pernikahan adalah solusi terbaik?
Banyak kasus menunjukkan bahwa pernikahan dini akibat kehamilan justru menciptakan lingkaran masalah baru. Pasangan muda yang belum mapan secara ekonomi akhirnya bergantung pada orang tua.
Ketidakmatangan emosional sering berujung pada konflik rumah tangga. Terparah, anak yang lahir malah harus tumbuh dalam lingkungan yang tidak kondusif.
Psikolog Klinis Anak dan Remaja, Reti Oktania, M.Psi., menyatakan bahwa alasan anak usia remaja tidak dianjurkan menikah karena di usia tersebut mereka sedang menjalani tugas penting, yaitu mengembangkan konsep diri yang positif. Hal ini disampaikan dalam wawancaranya pada Selasa (9/10/2024), seperti ditulis oleh Antara.
Artinya, remaja sebenarnya sedang berada dalam masa untuk mencari jati diri dan mempersiapkan masa depan. Jika dipaksa menikah, perkembangan ini bisa terhambat, bahkan berantakan.
Sudah saatnya kita mendefinisikan ulang makna "tanggung jawab" dalam konteks ini. Tanggung jawab sejati seharusnya lebih dari sekadar status pernikahan, yang mencakup kesiapan mental, emosional, dan finansial untuk membesarkan seorang anak.
Seorang ayah yang bertanggung jawab adalah dia yang mampu menjamin kesejahteraan anaknya, memberikan pendidikan yang layak, dan hadir secara emosional dalam tumbuh kembang sang anak.
Tekanan sosial untuk menikah sering mengabaikan dampak jangka panjang terhadap semua pihak yang terlibat. Remaja yang dipaksa menikah kehilangan kesempatan pendidikan dan pengembangan diri.
Mereka yang belum siap menjadi orang tua bisa mengalami depresi atau frustrasi yang berujung pada penelantaran anak. Pernikahan dini juga meningkatkan risiko perceraian, yang nantinya menciptakan stigma baru di masyarakat.
Kita perlu membangun sistem dukungan sosial yang lebih komprehensif untuk menangani kasus kehamilan di luar nikah. Ini termasuk pendampingan psikologis, dukungan ekonomi, dan program pendidikan bagi calon orang tua muda.
Yang tak kalah penting adalah mengedukasi masyarakat bahwa nilai seseorang tidak ditentukan oleh status pernikahannya, melainkan oleh bagaimana ia memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua.
Mengubah paradigma yang telah mengakar memang tidak mudah. Namun, demi masa depan generasi mendatang, sudah waktunya kita memisahkan konsep "tanggung jawab" dari "keharusan menikah".
Fokus utama seharusnya adalah menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak yang akan lahir, bukan sekadar memenuhi tuntutan sosial yang bisa jadi kontraproduktif dalam jangka panjang.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.