Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?

Sekar Anindyah Lamase | Sherly Azizah
Pilihan Hidup Sendiri: Ketika Anak Muda Memutuskan Tidak Menikah, Salahkah?
Ilustrasi bahagia tanpa pasangan (pexels/ROMAN ODINTSOV)

Di tengah gempuran pertanyaan seperti "Kapan nikah?" atau "Mana calonnya?", semakin banyak anak muda yang memutuskan untuk tidak menikah. Fenomena ini menimbulkan berbagai respon di masyarakat, mulai dari rasa penasaran, kritik tajam, hingga pandangan bahwa keputusan ini adalah bentuk pemberontakan terhadap norma yang sudah mengakar. Tapi, apakah memilih untuk tidak menikah benar-benar soal melawan tradisi, atau hanya sebuah bentuk kesadaran akan kebebasan memilih?

Pilihan untuk tidak menikah sering kali diartikan oleh masyarakat konservatif sebagai tindakan egois atau "tidak normal". Ada anggapan bahwa menikah adalah salah satu tujuan hidup utama, terutama di budaya yang sangat menjunjung tinggi institusi keluarga. Bagi sebagian orang, pernikahan dianggap sebagai tonggak kesuksesan sosial. Namun dibalik itu, banyak anak muda yang merasa bahwa hidup tanpa menikah adalah cara mereka untuk tetap setia pada kebahagiaan dan prioritas mereka sendiri.

Faktor di balik keputusan ini sangat beragam. Salah satunya adalah pertimbangan karier. Banyak anak muda yang merasa bahwa pernikahan bisa menghambat perkembangan profesional mereka. Bagi mereka, kebebasan untuk mengejar mimpi tanpa harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk komitmen rumah tangga adalah hal yang lebih berarti. Selain itu, tidak sedikit yang merasa bahwa hubungan romantis sering kali menuntut lebih banyak dari yang bisa mereka berikan, baik dari segi emosi maupun materi.

Selain itu, ada juga yang khawatir tentang tantangan dalam pernikahan itu sendiri. Kisah perceraian, konflik rumah tangga, hingga tekanan finansial sering kali menjadi pengingat bahwa pernikahan bukanlah hal yang mudah. Anak muda masa kini cenderung lebih realistis—mereka tidak ingin menjalani pernikahan hanya karena tekanan sosial, tetapi karena benar-benar merasa siap. Dan ketika kesiapan itu tidak pernah datang, mereka merasa tidak ada salahnya untuk tetap hidup sendiri.

Fenomena ini juga dipengaruhi oleh perubahan pandangan terhadap kebahagiaan. Generasi muda semakin memahami bahwa kebahagiaan tidak harus selalu berasal dari pasangan atau keluarga. Banyak yang menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan, hobi, persahabatan, atau bahkan dalam kesendirian. Mereka menolak pandangan bahwa hidup tanpa pasangan berarti hidup yang kurang lengkap. Sebaliknya, mereka justru melihat ini sebagai kesempatan untuk lebih fokus pada pengembangan diri.

Namun, masyarakat sering kali melihat keputusan ini dengan kacamata penuh prasangka. Mereka yang memilih untuk tidak menikah sering dilabeli sebagai "takut komitmen", "terlalu mandiri", atau bahkan "tidak normal". Dalam budaya yang masih sangat menghargai peran tradisional, pilihan ini sering dianggap sebagai ancaman terhadap nilai-nilai keluarga. Orang tua terutama merasa cemas karena takut anak mereka kehilangan makna hidup atau tidak ada yang akan merawat mereka di hari tua.

Keputusan untuk menikah atau tidak menikah adalah pilihan pribadi yang harus dihormati. Tidak menikah bukan berarti seseorang melawan norma, melainkan mencoba menciptakan jalan hidup yang sesuai dengan kebutuhannya. Sebaliknya, menikah tanpa kesiapan hanya demi memenuhi ekspektasi masyarakat juga bukan keputusan yang bijak.

Di era yang semakin modern ini, mungkin sudah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap konsep "normal." Hidup yang bahagia dan bermakna tidak hanya bisa ditemukan dalam pernikahan, tetapi juga dalam pilihan-pilihan lain yang memberikan rasa puas dan damai. Lagi pula, siapa yang berhak menentukan apa yang terbaik untuk hidup seseorang selain dirinya sendiri?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak